[caption id="attachment_303572" align="alignleft" width="300" caption="Sumber:tribunnews.com"][/caption]
DINDA yang ketus, setidaknya melalui statusnya di media sosial. Dinda enggan memberi tempat duduknya pada seorang ibu hamil yang dianggapnya pemalas. Kekesalannya pada si ibu hamil bahkan "meluas" dengan 'menyuruh' si ibu hamil berhenti kerja saja! "dasar pemalas. resign aja dari kantor biar bisa leha-leha di rumah," tulis Dinda.
Karena sikap ketus yang dituangkan ke media sosial, Dinda pun menuai kecaman dari berbagai pelosok dunia, baik melalui medsos, maupun melalui kolom komentar di situs-situs berita.
Dalam pembelaannya, Dinda tetap tak mau disalahkan atas sikapnya. Dia tetap merasa benar karena kondisinya pun tak lebih baik dari si ibu hamil. "emg lw smuaa pada ngertiii kaki gw pincang2 gara2 geser tulangnya.. gak kan.. makanyaa gw bela2in berangkat jam 5 pagi buat dapet tmpat duduk..eh tiba2 ada ibu2 hamil baru masuk kereta jam 7 pagi.. gw udh lari2an jam 5 pagi jgn pada maunya cuma dingertiin doag para ibu.. emg gw belum hamil tapi kaki gw sakit aja gw ngerti ga mau nyusain org ko.. pliss sama2 dong kita saling ngerti jgn cuma maunyua enaknyaa doang yaa ibu2..," tulis Dinda dalam pembelaannya. '
Sikap Dinda mungkin cuma potongan kecil dari sebuah potret yang lebih besar. Status Dinda yang ingin mengungkapkan kekesalannya pada seorang ibu hamil di angkutan umum (kereta api), bukan tak mungkin juga menjadi "status" serupa dalam hati banyak orang, mungkin di antara kita juga pernah seperti itu (?).
Kita kesal pada orang cacat karena kita terpaksa harus memberinya tempat duduk. Kita kesal pada kakek/nenek peyot karena kita terpaksa harus mengutamakan mereka ketika berada di area publik. Atau sama seperti Dinda, kita benci pada ibu hamil karena "mentang-mentang hamil maunya dingertiin terus."
Lantas, mengapa saya berterima kasih pada Dinda dengan sikap ketusnya itu? Karena Dinda membangunkan kesadaran banyak orang soal pentingnya empati terhadap sesama, terutama pada ibu hamil maupun mereka yang memiliki cacat fisik maupun tua-renta. Banyaknya kecaman, bagi saya, sekaligus mengarah kepada "kita-kita" yang mungkin pernah menaikkan "status" serupa "Dinda" dalam hati kita. Dinda menjadi pengingat agar ke depan kita tidak seperti itu lagi. Siapa tahu, justru karena sikap ketus Dinda itu malah membuat banyak orang sadar dan lebih berempati pada sesamanya. (*)
NB: Di samping kiri/kanan, depan/belakang Dinda, masih ada tempat duduk yang diduduki orang lain juga, kan? Atau di atas KRL itu cuma ada Dinda sama ibu hamil itu doang? Mudah2an yang di samping Dinda mau memberikan tempat duduknya kepada si ibu hamil. Jika tidak juga.... hmmm... apa bedanya dia dengan si Dinda?