Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Mungkin Ini Skenario Jokowi Pilih Kapolri

14 Januari 2015   23:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:08 1379 14
[caption id="" align="alignnone" width="780" caption="Komisaris Jenderal Budi Gunawan (sumber: kompas.com)"][/caption] PRESIDEN Joko Widodo nyaris tak memiliki kekuatan politik. Dia memang diusung oleh PDIP, namun bukan elite dan tak memiliki faksi pendukung di parpol berlogo banteng moncong putih itu. Ingat, ketika akan dicalonkan sebagai calon presiden, sempat muncul sinyalemen adanya penolakan dari sebuah faksi di tubuh PDIP. Masih berlanjut adanya kecurigaan dukungan setengah hati saat Jokowi telah ditetapkan sebagai Capres PDIP. Jokowi akhirnya memenangi Pilpres dan itu lebih karena dukungan dan kerja keras para relawan yang sebagian besar tak terikat dengan Parpol manapun. Lemahnya posisi politik Jokowi membuat dirinya harus cerdik ketika berhadapan dengan para elite dan politisi kawakan bin berpengaruh di tubuh parpol-parpol pendukung pemerintah maupun kubu lawan. Demikian pula saat memilih Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri untuk diusulkan kepada DPR. Perhatikan baik-baik, nyaris tanpa penolakan dari para politisi Senayan, baik dari KIH maupun KMP, terhadap BG. DPR justru ngotot melaksanakan fit and proper test terhadap BG kendati yang bersangkutan telah berstatus tersangka dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan, akhirnya DPR secara bulat atau aklamasi menyetujui BG sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Karena tak punya kekuatan, maka langkah satu-satunya yang bisa ditempuh Jokowi adalah “melawan tanpa melawan”, seperti teknik bela diri Jepang Jujitsu atau di Brasil dikenal dengan Brazilian Jiu jitsu (BJJ). Seseorang yang menguasai teknik BJJ tidak menyerang secara frontal, namun mampu melumpuhkan lawan yang lebih besar dan lebih kuat tanpa perlu mengeluarkan tenaga besar. Prinsip bela diri ini adalah melakukan gerakan tipuan sehingga lawan justru takluk oleh kekuatannya sendiri. Nah, dalam kasus BG, terlalu mustahil bila Jokowi tidak mengetahui rekam jejak yang bersangkutan. Apalagi telah menjadi konsumsi publik karena sudah sering diberitakan oleh berbagai media massa, terutama isu “rekening gendut” yang telah bergulir sejak 2010. Majalah Tempo edisi 4 Juli 2010 pernah mengulas isu ini panjang lebar berdasar data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tempo membeberkan nama-nama lima petinggi Polri, yang melakukan transaksi bernilai wah melampaui gaji bulanan mereka. Malah nama BG berada di urutan pertama. Benturkan dengan publik Siapa lawan Jokowi dalam isu calon Kapolri? Tak lain adalah para pihak yang paling diuntungkan manakala BG menduduki posisi tertinggi di korps baju cokelat itu. Bisa jadi Jokowi memang sengaja tak meminta pertimbangan KPK dan PPATK, sehingga otomatis memicu pro-kontra di masyarakat. KPK dan PPATK pun dipastikan bereaksi keras, apalagi nama yang diusulkan pernah disebut sebagai pemilik rekening gendut, sesuai laporan PPATK tahun 2010. Tak hanya itu, dipastikan Jokowi menjadi “bulan-bulanan’ opini para aktivis dan publik yang menganggap dirinya melawan keinginan publik agar Polri dipimpin orang bersih. Sampai-sampai muncul petisi di situs change.org menolak pencalonan BG. Di sini posisi Jokowi sangat lemah dan tidak diuntungkan, apalagi BG sebagai mantan ajudan Megawati semasa menjabat Presiden RI, disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Ketum PDIP itu. Makanya saat ditanya wartawan apakah alasannya menunjuk BG karena adanya unsur kedekatan tersebut, Jokowi dengan enteng menjawab: “masak pilih yang jauh...” Pertanyaannya; dekat dengan siapa? Di sini dia membiarkan kekuatan pihak yang menghendaki BG jadi Kapolri berbenturan dengan kekuatan publik, kalangan kampus, LSM, KPK, dan PPATK. Tiba-tiba, Ketua KPK Abraham Samad mengumumkan status tersangka terhadap Komjen BG. Dia diduga melanggar Pasal 12a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jokowi akhirnya memenangkan “pertarungan” tanpa perlu melawan mereka. Meskipun DPR secara aklamasi menyetujui BG sebagai Kapolri, Jokowi pasti membatalkannya kemudian mengusulkan nama baru dengan alasan status hukum BG dan reaksi penolakan publik. Para politisi dan anggota DPR juga tak bisa ngotot, malahan merasa malu bila mendesak Jokowi harus mengangkat BG sebagai Kapolri. Sekarang Jokowi sudah bisa memilih sendiri calon yang dia kehendaki karena sudah berbalik dari posisi lemah dan kurang menguntungkan ke posisi menguntungkan dengan status tersangka (edited) yang disandang BG. Menjadi sangat aneh bin ajaib bila Jokowi ngotot memilih seorang Kapolri berstatus tersangka kasus korupsi. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun