Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Hoegeng, Polisi dari Negeri Dongeng dan Taufiq dari Bekas Kandang Sapi

18 Januari 2015   01:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 98 0
[caption id="" align="alignnone" width="624" caption="Jenderal Hoegeng (sumber:kompas.com)"][/caption] ALKISAH, di sebuah negeri nun jauh di ujung dunia, terdapatlah seorang kepala polisi bernama Jenderal Hoegeng Imam Santoso (1921-2004). Dia bukan sembarang jenderal. Jiwanya sakti mandraguna, kebal suap, dan tak bisa dijadikan kacung pebisnis ilegal. Kiriman hadiah mewah dan mahal pasti terpental keluar dari rumahnya. Tak mempan dirayu pengusaha “hitam” tapi cantik manis mempesona dan kaya raya. Singkatnya, Hoegeng tak tergoda hidup dalam gelimang harta dan gemerlap duniawi.  Sikap dan tindak-tanduk mantan Kapolri ini seperti datang dari negeri dongeng. Mana ada polisi berpangkat jenderal, jabatan tinggi menjulang, pernah jadi menteri, tapi hidup melarat sampai akhir hayatnya. Banyak kisah tentang si jenderal polisi dari ‘negeri dongeng’ itu. Kisahnya bertebaran di dunia maya dalam berbagai versi. Ketik saja namanya di Google, Anda akan menemukan setidaknya 20.900 hasil pencarian tentang sosok polisi ajaib itu.  Saking “ajaibnya” manusia ini, Presiden Soeharto harus memberhentikannya dari jabatan Kapolri sekaligus dipensiunkan di usia cukup muda, 49 tahun, pada 2 Oktober 1971. Hoegeng adalah Kapolri ke-5 yang menjabat antara periode 1968-1971. Posisi Hoegeng digantikan oleh Jenderal Polisi Moh Hasan. Hoegeng melanjutkan hidupnya sebagai pelukis dan penyanyi.

Masih menerima hak pensiun Rp 10.000 per bulan, itu pun jenderal purnawirawan ini hanya menerima Rp 7.500 per bulan, karena dipotong Rp 2.500 oleh negara. Baru pada tahun 2001 pemerintah menaikkan gaji pensiunnya menjadi Rp 1.170.000 per bulan. Hoegeng, pria keturunan priyayi kelahiran Pekalongan, Jateng, 14 Oktober 1921, meninggal dalam kesederhanaan pada 14 Juli 2004 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Untuk menyenangkan hati istrinya pun, pejabat tinggi negara ini tak mampu. Hoegeng sudah tiga kali menginjakkan kakinya di Amerika Serikat dalam rangka tugas. Sekali waktu, Meri, istrinya, pernah meminta kepada Hoegeng, “Sebelum menutup mata saya, saya ingin melihat Hawaii.” Mestinya bukan masalah sulit bagi seorang jenderal. Tapi  Hoegeng tak mau mengajak sang istri. Alasannya jelas, dalam urusan dinas keluarga tidak boleh ikut.

Setelah Hoegeng meninggal, dua kali putranya ingin mengajak sang ibu berkunjung ke Hawaii, tetapi dua kali pula ditolak oleh Kedutaan AS. Rupanya dirinya dicekal ke luar negeri oleh pemerintahan Soeharto. Dan, akhirnya Meri bisa juga ke Hawaii setelah kali ketiga upaya putranya, Didit, berhasil memperoleh visa bagi ibunya.

Bila beberapa hari belakangan kita mendengar kisah heboh seorang polisi miskin hidup di bekas kandang sapi, tidak demikian dengan Hoegeng. Lelaki ini bukan terlahir dari keluarga miskin melarat. Dia justru berasal dari keluarga kalangan priyayi, kaum elite di zamannya. Ayahnya, Soekarjo Kario Hatmojo adalah seorang amtenaar, pegawai pemerintah di zaman kolonial Hindia Belanda. Soekarjo menjabat Kepala Kejaksaan Keresidenan Pekalongan. Ibunya, Oemi Kalsoem, konon juga berasal dari keluarga terpandang di Pemalang, masih berkerabat dengan pahlawan nasional R.A.Kartini. Oemi menjalankan perannya dengan sangat baik sebagai seorang ibu rumah tangga yang selalu menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada Hoegeng.

Nilai-nilai yang ditanamkan Oemi tetap kuat di hati sang putra kendati diberhentikan dari jabatan Kapolri, diduga gara-gara membongkar kasus penyelundupan mobil-mobil mewah oleh kalangan yang dekat dengan penguasa Orde Baru. “Dia datang masuk rumah, dia menghadap ibunya. Lalu dia mengatakan bahwa dia sudah tidak pejabat lagi. Ibunya bilang, tidak apa, asal kamu mengakhiri dengan kebaikan dan kejujuran, kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar Oemi seperti ditirukan Meriyati Roeslani (89), istri Hoegeng.

Kutipan-kutipan yang keluar dari mulut Hoegeng selalu tegas dan sarat makna. Mantan Kapolri periode 1974-1978, Jenderal Polisi Widodo Budidarmo, masih ingat kata-kata Hoegeng kepadanya. “Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah, tetap kita tindak.” Di mata Widodo, sosok Hoegeng keras dan tak kenal kompromi. "Pak Hoegeng itu tak kenal kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan," jelas Widodo.

Hoegeng memegang teguh pesan-pesan moral dari ayahnya. Ayah Hoegeng pernah berpesan, “Yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan.” Ketika Hoegeng menjabat Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut (Polda Sumut) tahun 1956, ia mengingat pesan almarhum ayahnya, “Kita sudah kehilangan harta dan segala-galanya, Geng. Yang tinggal hanya nama baik, itu saja yang perlu dipelihara.”  Pesan sang ayah menjadi semacam mantra sakti peneguh hati yang membuat Hoegeng tak bisa dibeli oleh para pengusaha hitam penguasa Sumut. Rupanya kekebalan Hoegeng juga lantaran dia punya mantra sendiri, yakni; “Sangat baik untuk menjadi orang penting, tapi jauh lebih penting menjadi orang baik.” Dan sebagai pemimpin tertinggi di Korps Bhayangkara yang bertugas menegakkan rule of the law, penerima penghargaan man of the year 1970 ini berprinsip; “Polisi jangan sampai menjadi momok bagi masyarakat.”

Saat bertugas di Sumut, Hoegeng berang lantaran mendapati para polisi, jaksa, dan tentara disuap agar menjadi kacung para bandar judi. "Sebuah kenyataan yang amat memalukan," ujar Hoegeng, ketus.

Zaman sekarang, mana ada polisi seperti itu? Mungkin masih ada, tapi rasanya cuma di level bawah atau paling-paling mentok di level menengah. Soalnya orang baik itu susah naiknya. Kalau di level atas, hmmm, entahlah! Saking sulitnya menemukan polisi jujur, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyatakan, di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur.”

Jadilah polisi bermartabat

Dari Yogyakarta, kisah Bripda M Taufik Hidayat yang tinggal di rumah bekas kandang sapi menghiasi pemberitaan bersamaan mencuatnya pro-kontra penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo. Si miskin Taufik berhasil lulus tes menjadi seorang polisi sementara Komjen Budi belum berhasil (baca: tertunda) mencapai puncak kepemimpinan di Korps Bhayangkara.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun