Dalam telewicara salah seorang Kompasianer menyampaikan pernyataan tentang diskriminasi yang masih terjadi di kalangan etnis Tionghoa dengan memberi contoh Akta-akta Kelahiran, Perkawinan yang konon masih membedakan etnis dan agama. Pembawa acara dan Bapak Jaya Suprana tidak membahas secara detil masalah diskriminasi yang dilontarkan Kompasianer tersebut.
Dalam kesempatan ini saya merasa perlu meluruskan pendapat beliau tentang diskriminasi dalam pembuatan Akte-akte khususnya untuk etnis Tionhoa, karena sejak tahun 2007 pembatasan dan pembedaan Akte sudah di-
tiadakan, sesuai dengan peraturan Pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang.
Mungkin Kompasianer tersebut sudah lama tidak berhubungan dengan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mengurus administrasi kependudukan, sehingga beliau tidak faham pembedaan tersebut sudah ditia
dakan (dihapuskan) Kini dalam Akte Kelahiran, Perkawinan, Perceraian dan Kematian hanya dicantumkan WARGANEGARA INDONESIA atau WARGANEGARA ASING.
Sebelum tahun 2007, memang ada pembedaan antara golongan Tionghoa dengan Staadblaad 1917-130 Jo. 1919-81 dan Staadblaad 1933-75 Jo. 1936-607 untuk penduduk asli beragama Nasrani serta Staadblaad 1920-751 Jo. 1927-564 untuk penduduk asli beragama Muslim.
Sebagai catatan tambahan sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia tanggal 16 September 1998 (yang waktu itu dijabat oleh B.J. Habibie) istilah PRIBUMI dan NON PRIBUMI telah dihapuskan dan dilarang penggunaannya dalam semua perumusan kebijakan pemerintahan.
Demikian, tulisan ini saya kirimkan untuk meluruskan hasil telewicara yg diselenggarakan Kompasiana Tivi hari ini.
Salam kebhinnekaan Indonesia.