- Sarana dan prasarana pendukung,
- Struktur organisasi dan tata kerja,
- Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan SOP,
- Kerjasama dengan pihak-pihak terkait, dan
- Pembukaan rekening penerimaan PBB P2 pada bank yang sehat.
Cara pengelolaan PBB P2 ini tentunya berbeda dibandingkan dengan BPHTB yang sudah dikelola sebelumnya oleh Pemda Kabupaten/Kota. Perbedaan ini antara lain terletak pada sistem pemungutan pajaknya. Pengelolaan pemungutan BPHTB lebih mengarah pada Self Assessment System dimana otoritas pajak memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menuntukan sendiri besarnya Pajak yang terutang. Pemberian wewenang tersebut antara lain berupa:
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu sendiri,
- Wajib Pajak Aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,
- Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sedangkan untuk PBB P2 pengelolaannya lebih cenderung pada Official Assessment System dimana fiskus diberikan wewenang untuk menuntukan besarnya pajak yang terhutang. Pemberian wewenang tersebut antara lain berupa:
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang,
- Wajib Pajak lebih bersifat pasif kecuali dalam hal melaporkan objek pajak yang dimiliki,
- Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Untuk BPHTB fiskus lebih menunggu terjadinya pembayaran dan mengawasinya, sedangkan untuk PBB P2 fiskus harus menetapkan terlebih dahulu besar pajaknya atas objek pajak yang dimiliki/ dikuasai/ dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Nah permasalahannya sekarang, bagaimana mengelola ketetapan PBB P2 tersebut.
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, objek PBB P2 adalah:
- Bumi dan/ atau,
- Bangunan
Yang dimiliki, dikuasai dan/ atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan (P3).