Saya tak ingat pasti, apakah saya memang pernah bangga menjadi orang Indonesia. Mungkin ada. Seperti misalnya di daerah tempat tinggal saya tidak ada konflik tak berkesudahan antar suku, ras, atau antar etnis agama. Tidak ada hari yang selalu demo kepentingan. Tidak ada peluru nyasar dari orang yang tidak dikenal. Saya bersyukur atas semua itu. Tapi sayang, dibalik rasa syukur itu, semuanya menjadi semu, begitu tahu, (salah satunya) kebun-kebun (kelapa sawit) yang bertumbuh ternyata semuanya milik orang luar. Modal-modal raksasa itu tak hanya cari makan tapi juga menguasai. Justru hati ini tambah trenyuh, melihat bangsa-bangsa kita yang menjadi makmur dengan ikut korporat itu, tingkahnya menjadi hebat dan jumawa. Persis para penjilat di jaman Belanda tempo dulu yang digambarkan oleh banyak cerita buku dan film.
Ingat Belanda, ingat kalau besok adalah 17 Agustus hari Kemerdekaan Indonesia. Dan seorang rekan di Facebook bertanya, "benarkah kita dijajah Belanda 350 tahun? Dari mana penghitungan itu?" katanya. Padang Ekspress (Senin, 16 Agustus 2010) pun memuat reportase yang mempertanyakan arti kemerdekaan bagi orang-orang miskin. "Kemerdekaan itu hanya milik orang berduit." kata mereka. Mungkin berlebihan apa yang mereka katakan. Tapi mungkin ada juga kebenaran. Banggakah mereka menjadi orang Indonesia? Mungkin kalau mereka tahu ada kasus di perairan Bintan tentang polis Malaysia yang semena-mena terhadap petugas kita, rasa bangga itu pasti memuncak dengan kemarahan kepada ulah orang-orang Malay itu. Justru ulah itu berdekatan dengan kita akan merayakan kemerdekaan 17 Agustus besok.
Sebetulnya kita sudah dijajah oleh Malaysia. Lihat saja kebun-kebun sawit mereka di seantero negeri ini. Ternyata Indonesia itu macan ompong. Rasa bangga saya cabik.@16VIII10