Dalam kondisi yang hampir-hampir mirip, (empat) polisi menuduhkan kepada seseorang yang salah tangkap, lalu menghajar sampai babak-belur. Alasan polisi kenapa orang yang salah tangkap itu dihantami karena diteriakin copet oleh orang-orang di sekitar kejadian. Bisa iya bisa tidak. Tapi merujuk kepada yang saya alami, teriakan copet itu bisa saja dialami oleh semua orang. Nasib baik saja saya selamat. Nah, kalau apes? Ya babak-belur yang bisa-bisa berujung kepada kematian. Pertanyaan sederhana, kalau ada orang diteriakin copet (anggap saja benar memang ada copet) apakah bisa dibenarkan kalau polisi lantas juga mukulin dan gebukin? Main hakim sendiri kan katanya tak boleh? Lha wong main hakim benaran aja sekarang ini juga tidak karu-karuan?
Seseorang yang salah tangkap itu, betul, seorang peneliti sejarah dari Komunitas Bambu, Depok yaitu Bapak JJ Rizal. Apa yang dialami oleh bapak ini menambah lagi daftar jelek dari tingkah laku para polisi. Judul berita di Kompas (Minggu, 13 Desember 2009) juga cukup tajam, Salah Tangkap atau "Iseng-iseng Berhadiah". Polisi hebat banyak. Polisi tak hebat juga banyak. Namanya juga manusia. Tapi ya jangan dijadikan standar kalau manusia itu bisa berbuat salah. Standar manusia untuk menjadi penegak hukum kan melalui proses. Tidak semua orang bisa lulus (dan mau) untuk itu. Tidak salah kalau masyarakat itu menuntut, bahwa penegak hukum itu harus bisa bekerja dengan benar dan tidak menyakiti -apalagi rakyat kecil. Cuma hal ini sepertinya masih jadi pe-er berat buat mas pol-mas pol tersebut.
Pesan teman saya (tahun 2001-2003) kalau Anda dari Bogor hendak ke Jakarta malam hari, lalu di jalan ada razia polisi, sebaiknya Anda tidak membuka bagasi sembarangan walau pun itu disuruh oleh polisi. Bagusnya Anda turun mengikuti polisi-polisi tersebut. Bisa jadi polisi-polisi tersebut menemukan BB yang sengaja diletakkan oleh polisi tersebut. Menjebak? Hmm.
Saya tak tahu apakah sekarang-sekarang ini pesan tersebut masih beredar di kalangan para pejalan malam?@141209