Alih-alih untuk mendapatkan suara, beberapa hari setelah ia membagi-bagikan uangnya, para tukang ojek itu pun tak lagi mengenalnya. Bahkan banyak dari mereka memakai rompi yang bukan dari partainya. (Belakangan ia tahu dari koran, bahwa modal partainya untuk pemilu kemaren, boleh dikatakan bokek). Gilanya lagi, naik ojek dari simpang ke rumahnya, ia pun masih ditagih bayar. Hahaha…. Ya iyalah bayar, masa ya iya…dong?.
“ Calon legislatif dari partai mana dia?”
“Dari partai baru”.
“Partai baru gimana?”
“Ya dari partai baru berdirilah”
“Memang selama ini partainya duduk?”
“Maksudnya?”
“Ya kalau tidak berdiri tentu duduk, masak tengkurap?.”
“Selama ini partainya belum lahir. Lahirnya belum lama ini. Itupun pendirinya membuat partai baru, gara-gara sebelumnya berselisih pendapat (baca: terjadi gesekan) dengan petinggi-petinggi partai lamanya. Kan asyiknya di negara kita ini, suka dengan mereka, kita bisa membuat partai tandingan. Orang Indonesia kan gampang bersepakat sekaligus gampang tidak bersepakat. Gampang diajak rembukan, gampang pula untuk tidak menyetujui hasil rembukan itu.”
“Lantas hubungannya dengan caleg yang patah arang tadi gimana?”
“Ya lihatlah. Ia gampang bersepakat, gampang masuk partai baru, dan gampang mengeluarkan uang, lantas gampang pula untuk berhenti . “Mau kampanye, kampanye sendirilah orang tu. Awak ndak ikut, lagi.” Kecian deh orang ini.”
“Kasihannya kenapa baru belakangan dia menyesal?”
“O, ia tidak menyesal, malah katanya ia ikhlas uangnya habis ‘percuma’ untuk itu.”
“Ah itu kan kata mulutnya. Kata hatinya apa pernah kau tahu? Harusnya dari awal, ia kan mesti menyelidiki kredibilitas, baik dirinya maupun partai barunya itu.”
“Ya itulah hebatnya.”
"Kok hebat?"
"Iya ya, kok hebat???"@
* Cerita ini pernah dimuat di www.narasied.com dengan judul yang sama. Cuma karena asyik aja saya ingin membagikannya lagi di kompasiana.