Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tidurlah Nak, Jangan Kau Risau

15 Juli 2012   03:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:56 270 10
"'Tidurlah Nak, jangan kau risau. Besok kita ke Jambi, kita beli sepatu ya.' Emak membimbing tanganku ke balai. Hari sudah malam, jam dinding di ruang tengah berdentang 12 kali. Aku memang tidak bisa tidur malam itu, risau memikirkan sepatu. Alas kaki yang bernama sepatu itu tidak pernah kumiliki. Enam tahun di sekolah rakyat, kami anak-anak dusun tidak pernah menggunakan sepatu ke sekolah." Begitulah sepenggal untaian kalimat Pak Thamrin Dahlan yang merekam kehidupan masa kecilnya sebagaimana ditulis di dalam bukunya yang berjudul Bukan Orang Terkenal. Pak Thamrin Dahlan adalah seorang pensiunan polisi. Jabatan terakhir yang dia pegang menjelang pensiun adalah Direktur Pasca Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN). Guna mendokumentasikan perjalanan hidup sekaligus untuk berbagi pengalaman kepada khalayak pembaca, ia pun menyusun buku yang ber-cover bagus ini. Buku berketebalan 282 halaman dan dicetak oleh Leutikaprio ini sengaja disusun dalam rangka menghadiahi dirinya sendiri ketika ber-ultah ke-60. Penggalan-penggalan kisah hidup serta buah pikirannya yang cemerlang dirangkai begitu rupa di dalam buku ini sehingga menjadi layaknya sebuah otobiografi. Pak Thamrin Dahlan banyak berkisah tentang masa kecil, kehidupan di masa dewasa, hingga kehidupannya kini setelah pensiun. Yang ditulisnya di dalam buku ini pernah di-posting di media sosial kompasiana.com. Sepasang Sepatu untuk 3 Tahun Melanjutkan kembali kisah rencana membeli sepatu di Jambi, Pak Thamrin Dahlan mengenang, betapa ibu yang sangat mengasihinya berpesan agar dia memelihara dengan baik sepatu yang baru dibeli itu agar bisa dipakai selama SMP. "Tiga tahun sekolah di SMP cukuplah satu pasang sepatu. Jangan kau gunakan selain pergi ke sekolah. Kalau berjalan angkat kakimu, jangan diseret, nanti cepat habis alas kakinya," demikian pesan ibunya. Dan, ternyata sepatu tersebut bisa bertahan selama 3 tahun dia di SMP. Lalu, ketika mulai kuliah di Palembang pada tahun 70-an, Pak Thamrin Dahlan bertutur bahwa ibunya, kalau bersurat, selalu menyisipkan perangko balasan di dalam amplop surat yang dikirim. Ibunya tahulah kalau uang di saku anaknya yang mahasiswa pas-pasan. "Isi surat Mak selalu saja nasihat dan nasihat yang ditulis dengan ejaan lama, misalnya, djangan tinggalkan sholat lima waktoe, radjin-radjin beladjar, kita orang soesah, jangan banyak bermain, pikirkan masa depanmoe, bergaoel yang baik, jangan sombong..." kutip ayah empat orang anak ini (hal. 12). Usai kuliah dengan meraih ijazah sarjana muda tidaklah otomatis menjadi mudah baginya mendapatkan pekerjaan. Thamrin muda ke sana-ke mari mencari pekerjaan di Jambi, banyak lamaran diajukannya ke berbagai instansi. Apa yang didapatkannya? Hanya penolakan. Kekecewaan demikian memuncak, sampai-samapai pernah terpikir olehnya untuk merobek ijasah sarjana mudanya itu. Setelah hampir putus asa mencari pekerjaan akhirnya dia diterima menjadi pegawai dengan status pegawai honor. Tempat tugasnnya jauh sekali dari keramaian, di sebuah kampung yang bernama Kerinci. Dari sinilah kariernya dimulai. Itulah secuil cuplikan kisah masa kecil dan dewasa Pak Thamrin Dahlan. Terhindar dari Post Power Syndrome Setelah pensiun dari tugas kepolisian, Pak Thamrin memilih aktif di media sosial kompasiana.com. Lalu, apa pendapatnya tentang kompasiana? Menurutnya, ber-kompasiana merupakan cara jitu untuk menghindari post power syndrome. Pak Thamrin Dahlan benar. Banyak pensiunan menderita 'penyakit' itu lantaran tidak siap mental menerima kenyataan. Gejala-gejalanya antara lain rasa kesepian, kekosongan, kekhawatiran, dan rasa putus asa. Muncul pula penurunan harga diri, merasa tak lagi dihormati. Bentuk riilnya acapkali berwujud rasa marah yang tak menentu. Beruntung Pak Thamrin Dahlan tak kena gejala post power syndrome. "Terima kasih ya Tuhan Yang Maha Penyayang, secara pribadi saya tidak mengalami gejala tersebut, karena setelah pensiun banyak waktu untuk berolahraga. Masuk ke komunitas baru guna menambah jam terbang bersilaturahim sambil mencari keringat. Demikian juga dengan emosi, bisa dikendalikan dengan banyak bersosialisasi dengan semua lapisan masyarakat sebagai citizen jurnalis. Sungguh sangat mengasyikkan ke mana-mana membawa kamera, jepret sana jepret sini, wawancara on the street dan akhirnya di-posting," tulisnya (hal. 210). Membaca buku pensiunan polisi yang juga kompasianer ini bagaikan menelusuri jejak-jejak kehidupan sang penulis seraya memungut makna. Banyak pesan yang tersirat dan tersurat di dalam deretan artikel buku ini. Pembaca dapat menimba pengalaman dan pengetahuan dari sang penulis, karena siapa tahu, bisa dijadikan suluh atau pembanding ketika melangkah menjalani hari-hari. Buku yang didesain sangat apik ini tak hanya akan menjadi sebuah dokumentasi, melainkan sebuah catatan perjalanan berhiaskan renungan kehidupan yang berhikmah bagi siapa pun yang bersedia melakukannya. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih banyak atas kemurahan hati Pak Thamrin Dahlan yang telah mengirimkan buku berharga ini untuk saya secara cuma-cuma. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah membalas kebaikan Bapak melalui anugerah kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan. Salam hangat dari Pulau Dewata, Bali. Pak Thamrin dan teman-teman, ijinkan saya mohon diri, saya akan membaca ulang buku itu secara detail. Terima kasih. ( I Ketut Suweca , 15 Juli 2012).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun