Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Hangat Pada Setiap Ruasnya

19 Desember 2021   11:23 Diperbarui: 19 Desember 2021   11:37 53 3
Teringat sepasang kaki mungilmu itu
Tertatih dalam menjejak sang surya
Kau menangis saat terjatuh, Ayah!
Buah hatiku
Cinta matiku.

Cepatlah besar matahariku
Menangislah sekencang kau kayuh sepeda kumbangmu
Memelukku seerat dan sedekat nadi
Tunjukkan pada dunia bahwa kau milik Ayah seorang diri.

Namun jiwa ini tak cukup tangguh
Sepasang tanganku ini tak cukup aman menjadi perisaimu
Sepuluh jemari besarku tak cukup tajam menjadi pedangmu
Harusnya bukan kamu yang pergi
Tapi Ayah! Kenapa bukan Ayah?!
Buah hatiku pergi
Pangeranku pergi
Oleh bejatnya manusia malam itu.

Anakku kelaparan
Jemari mungilnya bergetar
Semburat merah sudah tak lagi terlihat
Salahkah aku ingin membuatnya penuh?
Salahkah aku mengemis sesuap nasi hanya tuk malam ini?

Anakku tak bersalah
Ia hanya terdiam lemas di gendonganku
"Ayah tak perlu begini, besok saja kita makan."
Sungguh aku bak seorang Ayah yang tak punya persaaan
Membiarkan mentari kecilku kelaparan.

"Ayah aku sakit, mereka tak henti memukuliku."
Berhenti! Anakku kesakitan
Sesuap nasi yang kau beri sama dengan sepuluh tahun nyawa anakku.

Nak, Ayah menyayangi hingga lapisan terdalam tubuhku
Nak, Ayah membutuhkanmu melebihi detak jantung Ayah yang selanjutnya
Nak, mentari kecilku
Terlalu sakit Ayah menyentuh kulit pucatmu
Teringat keluh kesah mu "Ayah dingin."
Tapi dingin yang ini berbeda
Dingin yang ini membuat Ayah takut nak.

Sampai pada akhirnya kau terbenam kembali nak
Matahari yang terbit akan terbenam juga
Menyisakan sisa hangat pada setiap ruasnya
Dan Ayahlah salah satunya.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun