Dulu sekali, kami, saya dan almh. Nenek sering ke dapur bareng. Ke dapur, istilah lokal kami yang berarti beraktivitas di dapur. Entah itu memasak, mengadon, atau sekedar berbincang dengan tetangga sambil menunggu makanan matang. Saya yang cuma anak bawang di antara nenek-nenek dan mandeh, sering kebagian jadi pesuruh. Jika ada bumbu yang kurang maka sayalah yang diutus ke warung terdekat. Sebal? Tentu tidak. Sebab keluar dari sana berarti merdeka dari pekerjaan dapur itu. Tapi lebih seringnya nenek meminta saya mangukua, memarut kelapa dengan alat parut manual. Sebatang besi yang dibuat pipih ujungnya seluas sendok makan, dibengkokkan dengan permukaan menghadap ke atas. Pinggirannya bergerigi seperti mata gergaji. Besi panjang itu dipakukan ke balok kayu seukuran duduk orang dewasa.
KEMBALI KE ARTIKEL