Tapi yang kemudian kita saksikan adalah sederetan cerita tak sedap tentang kegagapan pemerintah menciptakan program yang pro job, pro growth dan pro poor. Itulah faktanya dan setidaknya mari berhenti menghujat pemerintah dengan alasan maraknya praktik lancung khas birokrasi yang kerap menghias layar televisi. Bangsa ini ada disatu titik dimana ketidakhadiran kesejahteraan disebabkan oleh ketidakjujuran yang berlangsung masif dan kolektif. Oleh karena itu perbaikan pun harus dilakukan semua pihak disegala lini meski perlahan tetapi arahnya sama. Tidak banyak dari kita yang paham bahwa sebetulnya, itikad kuat tentu sudah ada dari pemerintah yang dapat kita lihat dari beberapa program yang berorientasi pada kesejahtaraan dan pemerataan, sebut saja MP3EI, PNPM Mandiri, JKN dan Beasisw LPDP. Namun semua program itu membutuhkan dana agar bisa berjalan lancar dan kontinyu. Bahwa kemudian di lapangan ada oknum yang main sunat dalam penggunaanya, itu cerita lain yang bukan ranah artikel ini. Pemahaman bersama yang perlu ditumbuhkan adalah bahwa dibutuhkan kebebasan ruang gerak fiskal didalam struktur APBN untuk dapat menjamin keberlangsungan semua program itu.
Permasalahan yang kita hadapi dewasa ini mengarah pada satu kenyataan bahwa pajak yang menjadi hampir 80% sumber APBN jumlahnya selalu shortfall alias tidak tercapai sementara tuntutan kebutuhan meningkat. Kebutuhan tersebut meliputi semua aspek kepentingan mulai dari sosial, ekonomi, politik dan hankam. Kita ambil contoh dari sisi ekonomi, dibutuhkan penambahan jumlah belanja modal yang besar untuk membiayai infrastruktur yang dapat memangkas jalur distribusi dan biaya ekonomi tinggi. Disaat yang sama di sisi hankam dibutuhkan tambahan anggaran untuk menopang Alutsista yang dibutuhkan ABRI dalam menjalankan tugas. Semua tuntutan itu berhadapan dengan terbatasnya kemampuan negara dalam menyediakan uang untuk mendanainya. Bila dilakukan telaah mendalam, dapat kita temui dua penyebab kurang optimalnya pencapaian penerimaan negara dari pajak yaitu kurangnya basis pengenaan pajak dan lemahnya penegakan hukum perpajakan. Telaah kritis atas kedua penyebab tersebut merupakan keharusan untuk mencari solusi demi mengoptimalkan pengumpulan uang negara yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Basis Pajak Minim
Bukti nyata atas opini tersebut dapat kita jumpai pada keadaan bahwa jumlah Wajib Pajak yang menjadi basis pengenaan pajak di negeri ini sangat timpang dengan jumlah potensi yang seharusnya ada. Dengan potensi jumlah kelas menengah yang bertambah maka ada peluang untuk memperluas basis pemajakan yang ada (extensifikasi) dan sekaligus menggali lebih dalam potensi dari yang sudah terdaftar (intensifikasi). Ketika baru- baru ini sebanyak 19 orang Warga Negara Indonesia masuk dalam sederetan orang terkaya dunia maka hal tersebut harus diiringi dengan evaluasi seberapa besar kontribusi pajak yang mereka bayarkan kepada negara. Sementara itu disisi korporasi, fakta dilapangan menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan skala menengah keatas yang belum memiliki NPWP sementara aktivitas penambangan mereka telah berjalan beberapa waktu lamanya, sebagaimana disebutkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa ada potensi penerimaan negara yang hilang dari keadaan ini. Khususnya dari sektor Minerba, KPK melansir data bahwa Rp2,47 Triliun potensi penerimaan negara hilang akibat kurangnya pengawasan. Ini menunjukkan adanya IUP yang tidak terawasi aspek perpajakannya dan ini peluang untuk memperluas basis pemajakan. Tingginya kualitas dan kuantitas basis pemajakan akan meningkatkan tax ratio sebesar 4% untuk setiap penerimaan pajak Rp300 Triliun.
Penegakan Hukum Perpajakan Lemah
Rakyat Indonesia lebih takut tidak bayar listrik ke PLN daripada tidak membayar Pajak Penghasilan. Itu rahasia umum yang jamak berkembang selama ini. Anggapan tersebut merupakan akibat dari lemahnya penegakan sanksi hukum bagi mereka para wajib pajak yang selama ini tidak memenuhi kewajiban perpajakan. Solusi atas hal ini harus dijalankan dari dua sisi yaitu dari sisi internal Direktorat Jenderal Pajak dan dari Wajib Pajak sendiri secara langsung, setidaknya sampai saat ini sebetulnya DJP telah dibekali dengan kekuatan yang diamanahkan Undang- Undang No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang- Undang No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Namun kondisi terkini menunjukkan bahwa ragam praktik yang berkembang makin jauh meninggalkan ketentuan yang ada sehingga luput dari pengenaan sanksi. Sementara itu, harus diakui bahwa Wajib Pajak dapat dikatakan enggan taat pajak karena mereka melihat selama ini DJP kurang gagah dan bertaji dalam beraksi, tidak seperti KPK atau POLRI yang dilengkapi perangkat yang menampilkan citra tegas, DJP tidak memiliki image yang dapat menimbulkan kesan sebagai penegak hukum di bidang perpajakan. Penggalian potensi perpajakan yang dijalakan petugas pajak lebih banyak mental hanya pada selembar kertas himbauan yang kerap diabaikan wajib pajak. Pajak tidak disegani, gaung modernisasi yang selama ini dijalankan dapat dikatakan mengaum tanpa gaung.
Otonomi Sebuah Solusi
DJP memang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kementerian Keuangan, aparatnya adalah PNS yang terikat pada seperangkat aturan Pegawai Negeri Sipil. Pun begitu juga dalam menjalankan tugas, semua kebijakan yang ada harus dikoordinasikan dengan beberapa lapis birokrasi yang kerap berbenturan dengan banyak kepentingan sehingga banyak inovasi atau terobosan yang selama ini potensial justru layu sebelum berkembang. Kondisi ini menarik untuk dicermati lebih dalam, terlebih kita ketahui bahwa dengan tugas yang makin berat seharusnya rintangan yang muncul ditataran birokrasi tidak perlu lagi terjadi. Tugas berat DJP mengumpulkan uang bagi negara harus diletakkan diatas kepentingan apapun. DJP patut diberi kewenangan lebih untuk merumuskan inovasi dan langkah demi menjalankan tugas dan pertanggungjawabannya pun tidak perlu berbenturan dengan pihak yang peran dan tanggung jawabnya tidak sekrusial DJP. Artinya pertanggungjawaban DJP langsung ke Presiden. Ini penting sebab dengan kemandirian dalam merumuskan kebijakan akan dapat berdampak langsung terhadap penegakan hukum perpajakan dalam rangka memberi efek jera para pengemplang pajak dan oknum internal DJP sendiri. Perluasan basis pengenaan pajak pun dapat dirumuskan dengan fokus semata untuk mencari penerimaan negara tanpa dibebani benturan kepentingan yang kadang justru muncul dari instansi lain. Selain itu, dengan menjadi mandiri DJP akan dapat mengetahui langkah apa yang diperlukan dalam rangka menjalankan tugas dengan optimal, terutama dalam hal tata kelola SDM (formasi dan kebutuhan tenaga). Selama ini DJP dibatasi dalam hal penambahan personel padahal banyak studi yang dipaparkan menunjukkan ketimpangan rasio petugas pajak dengan wajib pajak yang diawasi.
DJP dapat diibaratkan sebagai tumpuan negeri ini dalam rangka mewujudkan cita- cita menjadi negara sejahtera, yang benar- benar sejahtera, seperti yang sempat dinikmati dulu sekitar 3 dekade yang lalu. Sudah sepantasnya DJP diberi kekuatan agar amanah tersebut dapat terlaksana. Demi terwujudnya penerimaan negara yang optimal sehingga menghasilkan kebebasan ruang gerak fiskal bagi APBN untuk dikelola lebih luas yang berujung kesejahteraan dan pemerataan. Semoga.
Erikson Wijaya
Kepulauan Bangka Belitung
Jumat. 02 Mei 2014. 17:19.