Protes bermunculan, keluhan dan kecewa tak terhindarkan. Khususnya dari para pelaku usaha yang saat ini masih harus bertarung melawan kenaikan tarif dasar listrik (TDL), kenaikan upah karyawan dan kenaikan bahan baku. Mereka mempertanyakan keberpihakan pemerintah kepada usaha kecil dan menengah (UMKM). Kebijakan ini diragukan antara berkah atau justru musibah. Dalam kondisi seperti itu, maka membayar Pajak Penghasilan sebesar 1% dari omset itu berarti mereka harus menaikkan harga produk agar bisa membebankan pengenaan pajak kepada konsumen dan itu sama saja dengan kehilangan pelanggan. Kalaupun mereka menanggung sendiri Pajak Penghasilan tersebut maka mereka harus membebankanya kedalam Harga Pokok Penjualan sehingga mengurangi Laba Kotor dan itu pun masih harus diperhitungkan dengan Beban Operasional seperti Upah dan Transportasi, akibatnya Laba Bersih mereka berkurang yang sama saja dengan menekan skala usaha mereka.
Bila ditelaah dengan kritis maka ada banyak keganjilan yang dibawa kebijakan ini. Baik secara Akuntansi maupun Fiskal. Tidak ada satu prinsip akuntansi manapun (FASB atau IFRS) yang sepakat untuk mengenakan Pajak Penghasilan dari Laba Kotor, begitu juga didalam Undang- Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 disebutkan bahwa Pajak Penghasilan terutang adalah sebesar tariff yang berlaku dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (Laba Bersih Sebelum Pajak/ EBIT). Itupun diperhitungkan lagi dengan fasilitas Pasal 31E tentang batasan omset yang diberi fasilitas pengurangan 50%. Di titik ini, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali tujuan penerapan kebijakan Pajak Penghasilan 1% untuk UMKM. Tujuan untuk penyederhanaan dan untuk mempermudah harus diimbangi dengan tata cara yang tidak menyalahi prinsip- prinsip yang berlaku umum.
Dari sisi Wajib Pajak, saya sepakat bahwa kebijakan ini cenderung memberatkan. Tetapi ada satu aspek yang patut kita cermati terkait penerapan kebijakan ini. Sudah rahasia umum bahwa volume transaksi di level UMKM termasuk yang besar, bahkan kelompok ini mampu bertahan saat krisis tahun 2008. Tetapi ketangguhan ini tidak diiringi dengan optimalnya penerimaan pajak dan kepatuhan pelaporan dari penggiat pelaku usaha UMKM itu sendiri. Dalam bahasa lain, dapat dikatakan bahwa sektor ini belum optimal disentuh kebijakan perpajakan. Bisa disebabkan karena rendahnya kesadaran tentang perpajakan yang dipicu oleh paradigma bahwa pajak itu sulit dan rumit. Berangkat dari niat baik untuk memberi kemudahan dan mengoptimalkan peran UMKM inilah maka Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini diluncurkan.
Secara historis, saya kira lahirnya kebijakan ini didorong oleh rendahnya kepatuhan wajib pajak sektor UMKM itu sendiri dan fasilitas kemudahan yang ditawarkan kebijakan tersebut adalah untuk menghapus paradigma yang sudah melekat di benak pelaku usahanya. Sehingga sudah seharusnya wajib pajak dari sektor usaha UMKM untuk sadar pajak sejak dini, jangan sampai niat baik pemerintah untuk mempermudah justru dianggap malah memberatkan sebab bila kini kebijakan yang adapun ternyata melenceng itu tidak lepas dari pengabaian wajib pajak mengenai kewajiban perpajakan mereka selama ini. Tetapi, tulisan ini tidak hendak menyalahkan siapapun. Melainkan untuk menawarkan cara pandang baru agar kedua pihak sama- sama mendapat porsi untuk menjalankan peran masing- masing.
Akan lebih baik bila pemerintah segera meralat kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan 1% dari omset itu. Perhitungkan terlebih dahulu biaya pokok yang tidak dapat dihindari para pengusaha. Sebab itu akan lebih menunjukkan keberpihakan. Sementara para pelaku usaha UMKM tidak boleh menjadi abai terhadap kewajiban perpajakan mereka. Supaya tidak terkejut bila sewaktu- waktu ada kebijakan yang bertujuan baik. Karena pada kondisi ini, penting untuk menjalin komunikasi antara pemerintah dan wajib pajak, khususnya kelompok UMKM. Dan pada akhirnya ragam kemudahan dan fasilitas yang diluncurkan pemerintah benar- benar dapat menjadi berkah yang mendorong makin moncernya kegiatan usaha.