Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Penjual Nasi Pecel dan Tukang Pijat yang Kupanggil "Ibu" adalah Seorang Pembohong

22 Desember 2023   13:38 Diperbarui: 12 April 2024   12:43 2134 50
Dalam keheningan malam kamar paviliun di rumah sakit, sambil duduk di kursi sofa sudut, mataku terpaku pada sosok perempuan renta yang terbaring di tempat tidur pasien dalam keadaan tak berdaya di depanku.

Tangan kurusnya terpasang selang infus dan juga beberapa alat yang terhubung dengan layar monitor untuk memantau detak jantung dan tensi darahnya.

"Huughff" , secara tidak sadar, mulutku mendesah pelan melihat kondisi wanita tua renta itu yang sudah dua hari dinyatakan tidak sadar karena penyakit lemah jantungnya.

Kuletakan gawaiku di sampingku dan mencoba mencari memori indah bersama beliau yang setia menemaniku di masa kecilku dulu. Ingatan itu akhirnya berkelebat ke sana ke mari di dalam pikiranku.

Yang aku ingat kuat pada sosok perempuan itu adalah ketegarannya dalam membantu perekonomian keluarga dengan berjualan nasi pecel setiap pagi di lingkungan perkampungan yang kumuh di pinggiran kota Surabaya.

Racikan resep pecel dari Madiun, kota tempat kelahiran beliau, membuat semua masakannya terasa lezat hingga ludes diserbu para tetangga setiap harinya sebelum tengah hari.

Dulu, selepas siang hari saat aku pulang dari sekolah. jarang sekali aku menjumpai keberadaan beliau di rumah kontrakkan kami yang sangat sederhana dan berdinding semi permanen dari batu bata yang belum diplester semen dengan dipadukan tripleks.

Itu karena beliau terkadang bersepeda ke kampung sebelah karena ada yang keluarga yang membutuhkan pertolongannya. Iya!, beliau adalah ibuku menjadi tukang pijat bayi yang sering dipanggil ke sana sini.

Keterampilan yang diperoleh dari ibunya membuatku tersentuh dan merasa kasihan pada perempuan yang saat ini berbaring  tak berdaya tak sadarkan diri di tempat tidur rumah sakit. Meskipun nenekku sudah berpulang ke Rahmatullah, namun warisan ilmunya tetaplah ditinggalkan dan memberikan manfaat pada ibuku.

"Ibu tidak mencari materi uang berlebihan bila membantu keluarga orang lain untuk memijat bayi mereka, namun hanya berusaha memberi bantuan yang ibu mampu lakukan dan kenapa juga ibu harus malu?"

Itu adalah kalimat yang ditujukan padaku saat kupinta beliau untuk beristirahat pada siang hari karena paginya sudah lelah karena berjualan nasi pecel. Aku hanya ingin beliau tetap menjaga kesehatannya.

Namun sifat keras kepalanya sulit untuk dikalahkan. "Ibu melakukan ini juga demi membantu biaya pendidikanmu dan adik-adikmu agar kamu semua kelak bisa menjadi orang yang sukses".

Masih terngiang kalimat beliau seperti itu. Aku juga menyadari bahwa penghasilan ayahku sebagai pegawai rendahan sangatlah pas pasan untuk mencukupi biaya pendidikan dan kebutuhan hidup di kota besar seperti Surabaya.

Untuk sesaat, lamunanku pada masa kecilku dengan ibuku terhenti begitu ada dokter jaga paviliun rumah sakit yang mendadak masuk untuk pemeriksaan rutin kondisi pasien kamar per kamar.

"Bagaimana kondisi ibu saya, dok?!" tanyaku dengan perasaan kawatir kepada dokter tersebut.

"Sementara ini tidak ada masalah apa-apa dan mohon Anda selalu mendoakan agar beliau bisa segera sadar dan sembuh, ya!" jawab dokter itu dengan senyum ramah keibuannya.

Begitu kuletakkan pantatku di sofa dan kulirik jam di dinding yang telah menunjukkan waktu tinggal puluhan menit lagi menuju tengah malam. Sedikit heran juga, mengapa mata ini tidak ada sedikitpun perasaan mengantuk atau sekalipun mulut ini menguap.

Segera kurebahkan punggung ini di sofa tanpa beniat tidur sambil mencerna ucapan dokter wanita yang barusan keluar kamar. Apakah itu kalimat hanya untuk menyenangkan hati keluarga pasien yang berjaga atau memang kondisi ibuku benar-benar baik saja?

Tersentak aku bangkit dan duduk lagi untuk menebak maksud dari kalimat dokter itu. Jangan-jangan itu adalah sebuah kebohongan? Pikiranku mempermainkan emosi di hatiku hingga hatiku menjadi resah.

Kulihat ibuku yang masih terbaring dengan seksama. Wajahnya yang dulu sangat cantik dengan senyum gigi putihnya yang rapi, sekarang tinggal kulit keriput dengan giginya yang hampir habis. Kulit tubuhnya yang dulu kuning langsat, sekarang terlihat menghitam karena terik matahari dengan tubuhnya yang kurus kering. Rambutnya yang dulu lebat hitam lurus dan panjang, sekarang telah dipenuhi uban dan sudah rontok.

Tak kudasari, tiba-tiba ada cairan bening mengalir di pipi yang keluar menetes dari sudut mataku karena ibuku yang saat ini tergeletak sakit telah sering berbohong pada anak-anaknya dari dulu sampai sekarang.

Saat berebut makanan antara aku dan adik adikku di masa kecil, jatah makanan ibu selalu dibagikan kepada kami semua dengan alasan beliau masih kenyang. Saat menjelang tidur, kami mengeluh capai karena habis bermain, ibu segera memijat satu persatu badan kami tanpa kami sadari bahwa beliau sebenarnya juga lebih lelah daripada kami semua.

Setelah kami semua anak-anaknya telah bekerja dan pulang untuk menjenguk, beliau akan menolak bila kami tinggali uang untuk pegangan dengan alasan masih punya dari uang pensiun ayah yang tidak seberapa. Namun, ternyata di belakang, beliau lebih memilih berhutang pada tetangga kanan kiri daripada menerima uang dari anak-anaknya.

Akhirnya, sebagai anak, kami pun harus menutup dan melunasi hutang ibu karena sudah diluar kemampuan beliau untuk membayar begitu jatuh temponya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun