Pengembangan studi terhadap hadits Nabi jauh lebih komplek dan berat daripada studi al-Quran. Studi atas al-Quran dapat begitu terbuka luas tanpa harus ada kekhawatiran dari pihak penaafsir akan berkurangnya otoritas al-Quran sebagai pedoman hidup di manapun dan sampai kapanpun. Lain halnya dengan hadits, para ulama ahli hadits lebih cenderung mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reverse (segan) dalam melakukan kajian ulang dan pengembangan pemahaman atau pemikiran terhadap hadits, karena hadits adalah segala ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) atau apapun yang disandarkan kepada Nabi.[1] Jadi ada semacam pengkultusan Nabi, karena itulah sikap ketidak kritisan ulama kepada hadits bisa jadi bukan karena sisi ilmiah, namum karena sosok Nabi sebagai pemimpin agama, sebagai utusan Tuhan yang memiliki sifat ma'shum, maka pengkultusan ini tidak terlekkan dan ini adalah bagian dari kondisi psikologis belaka, bukan pada sisi ilmiahnya. Di lain pihak, dinamika masyarakat dewasa ini begitu cepat menghendaki adanya pengkajian ulang terhadap hadits.