Kegalauan beliau ini bukannya tanpa dasar. Coba kita cermati, dari tiga Parpol besar yang sudah ada sejak era Orde Baru, kecuali PDIP, apa ada yang Ketua Umumnya belum tergantikan? Ironisnya, beberapa Parpol yang baru muncul dan bertumbuh-kembang di Era Reformasi, sebut saja: PKS, PAN dan PD, estafet kepemimpinan sudah terjadi. Meskipun bukannya tanpa masalah. Tetapi bukankah itu merupakan bagian dari dinamika politik yang diperlukan untuk pendewasaan Parpol dan kadernya?
Kembali ke persoalan regenerasi internal di PDIP, "bertahannya" Megawati sebagai Ketua Umum Partai bukannya tanpa riak. Meskipun mungkin jumlahnya tidak terlalu signifikan, friksi yang terjadi dan hengkangnya beberapa elite kader PDIP pada setiap kali Konggres yang mengagendakan pemilihan Ketua Umum Partai, dan berakhir dengan terpilihnya kembali bunda Puan Maharani secara aklamasi, mengindikasikan ada sesuatu yang tidak benar atau kurang pas telah terjadi .
Menanggapi kritikan Taufik Kiemas, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri dalam berbagai kesempatan sering menyatakan, bahwa regenerasi kepemimpinan, baik kepemimpinan nasional maupun internal Partai, seharusnya terjadi secara alami. Tidak dipaksa-pakasakan atau direkayasa!
Namun dalam kaitannya dengan regenerasi pimpinan PDIP, pernyataan bu Mega atau mbak Mega itu benar dan hanya benar, jika didukung adanya lingkungan internal Partai yang memungkinkan tumbuh kembang para kader potensial tanpa ada hambatan fisik dan psikologi. Baik yang sengaja diciptakan atau dibiarkan terbentuk dengan sendirinya.
Karena jika prasarat seperti tersebut di atas tidak ada, kemunculan "generasi baru" berkualitas yang siap menggantikan peran "generasi tua" untuk melanggengkan "hidup" Parpol yang bersangkutan, adalah sebuah kemustahilan. Kalaupun dipaksakan, yang muncul adalah "generasi kerdil" yang suka serta merasa nyaman bersembunyi di balik punggung dan bergantung pada "sihir" dan pesona sang "Ketua Besar".
Boro-boro layak dan berani "ditarungkan" dalam Pilpres 2014, Di internal Partai "diberi kesempatan" untuk "bertarung" untuk menggantikan secara demokratis "sang Ketua Besar" pun, dengan beragam alasan, minder, merasa tidak layak dan tidak berani.
Meskipun seperti yang dikatakan oleh Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait, bahwa Megawati selaku Ketua Umum telah memberi ruang kepada kader PDIP untuk maju dalam Pilpres 2014. Namun jika tidak diikuti dengan upaya serius, bukan sekedar retorika, untuk mempersiapkan mereka hingga layak dan memiliki kualitas yang diperlukan untuk menjadi seorang Pemimpin Partai dan Pemimpin Nasional, semua jadi omong kosong belaka!
Alasan bahwa kader yang diberi kesempatan, seperti Pramono Anung, Puan Maharani, Ganjar Pranowo dan yang lain , melalui survey elektabilitasnya kurang dari satu persen, jauh terlampaui oleh elektabilitas sang "Ketua Besar", sehingga dianggap tak layak, justru mengingkari ucapan manis tersebut di atas.
Jika elektabilitas para kader yang digadang-gadang dapat menjadi generasi penerus Megawati, baik sebagai pimpinan Partai maupun calon Pimpinan Nasional, masih rendah, adalah tugas Megawati selaku Ketua Umum PDIP dan segenap pengurusnya, untuk menaikkan hingga level yang diinginkan. Tetapi tentu saja upaya ini tidak dapat dilakukan secara instant. Dan bagi PDIP ini sudah terlambat.
Hal tersebut di atas dimungkinkan terjadi karena "regenerasi alami" internal PDIP yang tidak terjadi sebagaimana mestinya. Atau bahkan mungkin telah mandeg atau berhenti sejak lama.
Alasannya sederhana. Jika "regenerasi alami" berjalan optimal, seharusnya para kader yang akan dimunculkan sekarang, baik untuk menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum Partai maupun sebagai Calon Presiden yang akan diusung PDIP pada Pilpres 2014, sudah dipersiapkan sejak lima tahun yang lalu. Atau mungkin sepuluh tahun yang lalu, sejak kekalahan Megawati pada Pilpres I yang dilakukan secara langsung.
Jika dilakukan secara serius, waktu 5-10 tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mempersiapkan dan meningkatkan elektabilitas kader atau para kader yang dipilih.
Dalam situasi ketika "regenerasi alami" tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang terjadi pada PDIP, "REGENERASI ARTIFICIAL" adalah alternatif cara pilihan yang layak dicoba. Seperti sepasang suami istri yang sehat dan fertil/subur, tetapi tak juga punya anak, prosedur kehamilan artificial adalah alternatif pilihan yang wajar.
Mengakhiri tilisan ini, ijinkan saya bertanya: "Apakah PDIP sudah dalam taraf yang memerlukan upaya REGENERASI ARTIFICIAL?" Mungkin hanya Megawati beserta segenap elite dan pengurus Partai serta Tuhan yang tahu! Dan pertanyaan tersebut di atas, saya dedikasikan sebagai judul dari tilisan ini.
(E. SUDARYANTO, KOMPASIANA - 28072012)