Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Mahasiswa Buat Sekolah Bola: Utopiskah?

16 Mei 2011   00:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:38 134 0


Penat seharian menghabiskan waktu menjadi kutu buku. Penat berjam-jam menghabiskan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi UAS yang tinggal hitungan hari lagi. Penat itu pun memuncak sekitar pukul 17.00. Revisi makalah kelompok AKP telah selesai, tinggal menunggu email balasan dari Ibu Dosen. Begitu pula dengan Makalah akhir kelompok Makroekonomi 2 telah saya cicil, minimal model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar dan Solow telah saya kerjakan. Begitu pula membaca ulang buku A Nation in Waiting untuk mencari “wahyu” untuk menulis, lagi-lagi, tugas akhir, namun kali ini untuk mata kuliah Ekonomi Politik.

Penat itu pun memuncak sekitar pukul 17.00. Final Pro-Liga sudah hampir selesai, pertandingan Persebaya 1927 vs Persema pun telah berakhir dengan skor akhir 4-0 untuk Persebaya. Penat ini terus memuncak. Dipaksakan membaca buku, otak ini sudah bebal. Mau mandi, tak biasa aku mandi sore hari seperti ini. Mau main sepak bola, pastilah lapangan becek lantaran siang hingga sore hari Bekasi diguyur hujan yang cukup deras. Alhasil, Mati gaya alias matgay aku di rumah.

Penat itu pun memuncak sekitar pukul 17.00. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar rumah dengan bersepeda. Maklum, siang tadi aku temui sepeda lawas milik Ayahku telah diperbaiki. Hitung-hitung bernostalgi, saya hendak menengok ke lapangan bola yang letaknya sekitar 100 meter dari rumah saya. Saya penasaran, kok tumben-tumbenan teman rumah saya SMS hingga menelepon saya untuk mengajak bermain bola, padahal siang tadi hujan begitu deras sehingga pastilah lapangan tidak layak untuk tanding bola.

Menuju Lapangan

Perlahan saya gowes sepeda menuju lapangan bola. Terkaget saya ketika melihat tidak biasanya lapangan Gusur (nama lapangan dekat rumah saya) ramai oleh umbul-umbul, para penonton, dan juga kendaraan bermotor. Laju sepeda semakin kupercepat. Wajarlah, rupanya sedang ada turnamen Tarkam (Antar Kampung) di lapangan saya. Wajah saya tiba-tiba langsung sumringah melihatnya. Harap dimaklumi karena saya teramat rindu dengan turnamen sepak bola semacam ini di lapangan saya. Mungkin sudah lebih dari 5 tahun tidak ada lagi turnamen di dekat rumah saya. Penyebab hanya satu: Pemudanya sudah tidak lagi aktif atau bergerak dengan hal semacam ini.

Langsung saja saya menuju meja panitia. Di meja tersebut saya temukan dua orang teman sepermainan saya sedang menjadi komentator pertandingan sekaligus menjadi persons in charge di meja panitia. Mereka sedang duduk santai sambil minum kopi dan menikmati jalannya pertandingan. Pertandingan memang berjalan kurang seru. Maklumlah kondisi lapangannya tak seindah Senayan. Lapangannya mungkin hanya ¼ luas senayan. Hanya ¾ lapangan yang ditumbuhi rumput, sisanya adalah tanah merah. Terbayangkan bagaimana tidak layaknya kondisi lapangan tersebut terlebih habis diguyur derasnya hujan tadi siang.

Saya pun tidak habis pikir kok mau-maunya para pemuda tersebut bermain bola di lapangan dengan kondisi seperti itu. Halah, tapi saya dulu juga seperti itu. Bahkan sudah 2 tahun ini, Economics Super League (ESL) pun seperti itu, lapangan penuh dengan genangan air. Bola tak bisa bergerak jauh, kalupun bergerak pastilah liar tanpa arah. Ya, itulah sepak bola. Memang tidak dapat diukur dengan logika. Ini adalah pesta rakyat, pesta semuanya. Pesta para pemain, supporter, panitia, dan juga masyarakat.

Desbin dan Sekolah Bola

Ketika melihat jalannya pertandingan, tiba-tiba saya langsung teringat salah satu program kerja Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FEUI 2011 ini yaitu Desa Binaan (Desbin). Tahun ini desbin telah menginjak umurnya yang kedua. Tahun lalu fokus pembangunan Desa Rangkapan Jaya (Desa Binaan BEM FEUI) adalah kesehatan, namun pada tahun kedua ini adalah pembangunan sektor pendidikan dan pemuda. Saya menyarankan kepada panitia penyelenggara bahwa buatlah sekolah sepak bola dan turnamen sepak bola untuk warga Rangkapan Jaya. Alhamdulillah, ide saya ini direspon positif oleh panitia. Alhasil, tahun ini tepatnya pada bulan Juni-Juli ini akan diadakan turnamen sepak bola di desa sekitar Rangkapan Jaya. Senangnya hati saya tidak ketulungan karena setidaknya mahasiswa FEUI telah berkontribusi positif untuk menyalurkan energi positif pemuda melalui sepak bola.

Sayangnya, berdasarkan informasi yang saya dapatkan Sekolah Sepak Bola urung dibuat tahun ini. Kalaupun ada hanya pelatihan (coaching clinic) kepada para pemuda dan anak-anak di Rangkapan Jaya. Itu menurut saya sudah cukup baik, namun jauh lebih baik jika Sekolah Sepakbola tersebut direalisasikan. Kenapa?

Pertama, sekolah sepak bola memiliki dampak yang sutainable dibandingkan hanya coaching clinic. Ingatlah selalu ketika kita hadir di masyarakat maka berikanlah dampak bukan dalam hitungan detik, namun berika sesuatu yang berkelanjutan. Berikan kail, jangan ikan. Berdayakan masyarakat. Kita, mahasiswa FEUI, tentu tidak perlu turun langsung mengurus SSB tersebut. Lantas bagaimana caranya? Rekrut masyarakat, aktifkan pemudanya, stimulus pemudanya untuk bergerak. Masyarakat kita itu kekurangan figur inisiator. Masyarakat kita lebih banyak tipikal followers. Di sinilah peran penting kita sebagai mahasiswa, yaitu sebagai inisator lalu biarkan masyarakat membangun diri mereka sendiri.

Kedua, SSB akan membuat masyarakat untuk berpartisipasi aktif. Kecintaan masyarakat Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Lihatlah setiap kompetisi baik LSI maupun LPI selalu penuh sesak oleh para penonton, apalagi jika Timnas kita sedang bertanding maka dapat dipastikan Senayan menjadi merah seketika. Konsep yang ada dibenak saya sederhana. Pemuda/Remaja menjadi pelatih, lalu mereka melatih adik-adik kita yang masih SMP dan SD. Tetapi para pelatih pun boleh untuk memiliki jadwal latihan mereka sendiri. Dengan konsep sederhana seperti ini, saya memperkirakan lebih dari 50 orang akan tergabung aktif dalam kegiatan ini. Dahulu saya pernah membuat Sekolah Sepak Bola di dekat rumah saya, walau hanya bertahan sebulan (karena kesibukan saya di kampus) peserta didik saya setiap pertemuan minimal 20 orang. Itu saja baru dari satu RT saja dan untuk pasar anak SD dan SMP. Bisa dibayangkan potensi besar dari SSB ini jika ruang lingkupnya adalah sebuah desa.

Ketiga, memperkecil kemungkinan para pemuda, remaja, dan anak-anak melakukan hal-hal yang negatif. Daripada nongkrong-nongkrong tidak jelas, daripada merokok join-joinan, apalagi minum-minum, atau bahkan narkoba, lebih baik potensi mereka kita salurkan ke olahraga, melalui sepakbola. Selain badan sehat, siapa tahu suatu saat nanti kelihaian ini dapat menjadi penghasilan tambahan bagi mereka. Siapa tahu dari SSB ini akan lahir Irfan Bachdim selanjutnya, who knows?

Keempat, saya percaya sekolah bola dan turnamen sepak bola ini akan menjadi jurus jitu kita untuk merekatkan diri dengan warga masyarakat. Dengan melibatkan begitu banyak warga, maka ini akan membantu mendekatkan tim Desbin FEUI kepada masyarakat.

Kelima, saya membayangkan jika minimal satu kampus punya satu sekolah bola, bukan tidak mungkin impian Indonesia lolos piala dunia akan terwujud. Apa hubungannya? Mudah saja, inti permasalahan sepak bola di Indonesia adalah di pembinaan usia dini. Hal ini diperparah dengan tidak dikelolanya sepakbola secara profesional dan terarah. Dengan dibawah naungan kampus (baca: mahasiswa) pengelolaan sepak bola nasional berbasis masyaraka akan lebih profesional.

Demikian curhatan malam saya kali ini. Mohon maaf jika kepanjangan. Maklum lagi stres mau ujian. Jika ada yang mau diskusi, silahkan. Demi Masyarakat yang Sehat dan Mandiri. amin

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun