Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

Perlukah Iklan Memahami Bahasa Lokal?

13 Agustus 2012   17:44 Diperbarui: 4 April 2017   17:21 394 7

Masih segar dalam ingatan saya iklan Extra Joss yang beberapa waktu lalu membanjiri televisi: Laki? Minum Extra Joss…”. Seingat saya, beberapa versinya telah keluar dengan beberapa artis menjadi bintang iklannya.

Dalam pemahaman saya yang awam tentang bahasa periklanan, Extra Joss sedang berupaya membentuk (atau mungkin meneguhkan kembali) citra produk yang maskulin. Kata-kata “laki” yang digunakan setahu saya mengacu pada “lelaki” yang dipergunakan dalam bahasa Betawi.

Sejak edisi awal iklan tersebut ditayangkan, sesungguhnya, ada yang mengganjal di benak saya.

Di tempat tinggal saya, kawasan pegunungan Selatan Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Tengah, istilah “nikah” dalam Bahasa Indonesia maknanya hampir sama dengan nikah dalam bahasa lokal, meskipun lebih populer dengan istilah “kawin”. Artinya, pertanyaan dalam bahasa lokal: “wis nikah durung?” maknanya sama dengan “Wis kawin durung?” yang berarti “Sudah nikah belum?”

Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, di wilayah saya kemudian banyak guru-guru yang berdatangan (dan didatangkan) dari wilayah Timur Propinsi Jawa Tengah, seperti Klaten, Blora, Demak, dan sekitarnya. Beberapa rekan kerja saya saat ini juga berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Dari wilayah itulah muncul istilah “rabi” yang berarti “nikah” meskipun kadang juga bisa berarti “istri”. Sehingga, pertanyaan “Wis rabi durung?” bermakna “Sudah nikah belum?” sementara pertanyaan “Wis duwe rabi durung?” bermakna “Sudah punya istri belum?”.

Repotnya, “rabi” dalam bahasa lokal berarti “hubungan seksual”. Dalam tatanan sosial, kata “rabi” termasuk kategori kata-kata vulgar yang sangat tidak sopan diucapkan di depan orang banyak. Maka, kala pertanyaan “Wis rabi durung?” diucapkan di muka umum, bagi masyarakat di wilayah saya, merupakan pertanyaan yang tidak patut ditanyakan sekaligus terlarang untuk dijawab karena sedang menanyakan “Sudah melakukan hubungan seksual belum?”

Lazimnya Bahasa Jawa yang mengenal tingkatan sesuai strata sosial dan situasi pembicaraan, kata “rabi” pun memiliki bahasa turunan atau bahasa tingkat kedua, yaitu “laki”. Sama-sama bermakna “hubungan seksual”, kata “laki” dipergunakan untuk menyebut hubungan seksual pada hewan. Kalaupun dipergunakan dalam bahasa harian, biasanya merupakan kata-kata makian atau umpatan.

Awalnya, saya mengira istilah tersebut hanya dipergunakan terbatas oleh masyarakat di sekitar saya. Ternyata, istri saya yang berasal dari Kabupaten Batang pun mengenal istilah tersebut dengan makna yang sama. Penasaran, saya mencoba menelusurinya melalui rekan-rekan kuliah yang berasal dari kabupaten tetangga seperti Pemalang dan Tegal. Dan saya pun memperoleh jawaban serupa.

Sesaat sebelum tulisan ini saya ketik, saya mencoba menelusuri mesin pencari di internet. Dengan kata kunci “laki” dan “extra joss”, beberapa tulisan saya baca. Salah satunya saya temukan di creasionbrand.blogspot.com. Di bawah artikel yang mengulas kekuatan iklan tersebut dari sisi pemasaran, seorang pembaca meninggalkan komentar pada tanggal 29 Juni 2012: “Iklan itu beredar di seluruh Indonesia, anda tahu arti kata LAKI bagi org Jawa Tengah terutama daerah pantura?...rasanya lebih bijak kalau gunakan kata LELAKI,atau LAKI-LAKI bukan bhs. jakarta LAKI, karena sbg orang jateng saya risi mendengar kata LAKI, silahkan diresearch dulu..”

Terlepas dari grafik penjualan produk tersebut di wilayah saya, dan juga kawasan Pantura, sampai saat ini saya masih merasa sangat-sangat tidak nyaman kala iklan tersebut ditayangkan di stasiun radio lokal. Sekali lagi, sebagai orang yang awam terhadap dunia periklanan, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengulang judulnya: Perlukah Iklan Memahami Bahasa Lokal?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun