Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Pegawai Pajak Ujung Tombak Negara

6 November 2014   04:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 76 0

Ruko Itu Apartemenku, Cerita Tempat Tinggal 20 Pegawai Pajak


Udara panas bercampur semrawutnya ruangan lantai dua yang digunakan sebagai tempat penyimpanan berkas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Batulicin sudah menjadi pemandangan yang lumrah.



Baju, bungkusan plastik, dan kasur terlihat berantakan di dalam ruangan berukuran 6x5 meter yang disekat dengan selembar papan berwarna putih berbalut balok sebagai tulangnya.

Tiga buah ruangan di lantai 2 itu merupakan gudang yang diisi oleh sekitar 20 pegawai KPP Pratama Batu Licin, di Jalan Raya Batulicin, Kecamatan Simpang Empat, Kota Batulicin, Kalimantan Selatan yang digunakan saban hari untuk tidur. Mereka terpaksa menyekat gudang dengan selembar papan yang diberi daun pintu untuk beristirahat.

Mahalnya biaya hidup dan sewa kamar kos di daerah Batulicin menjadi salah satu alasan para pegawai pajak akhirnya memilih untuk tinggal di ruko penyimpanan dokumen sekaligus juga kantor fungsional yang terletak dua ruko berjejer dengan KPP Pratama Batulicin.

Salah satu pegawai pajak, Ilham mengaku sudah tinggal di ruko yang dijadikan sebagai gudang KPP Pratama Batulicin itu sekitar dua tahun. Awalnya, pria berambut sedikit ikal dan berkulit hitam itu datang dari Semarang, Jawa Tengah untuk menjalani tugas sebagai pegawai Pajak tahun 2009. Ilham merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Jakarta yang menjabat Account Representatif (AR) KPP Pratama Batulicin.

Untuk meminimalisir pengeluaran, awalnya Ilham patungan dengan rekan satu kantornya untuk menyewa rumah kontrakan di wilayah Kecamatan Simpang Empat, tidak jauh dari kantornya. Namun pengeluaran di Batulicin, tidak sebanding dengan pendapatannya sebagai pegawai pajak. Untuk makan setidaknya, Ilham harus merogoh kocek dalam-dalam sekitar Rp 100 ribu per hari.

Dengan pertimbangan itu, Ilham akhirnya memutuskan untuk tidur di gudang berkas yang disewa oleh KPP Pratama Batulicin, tepat dua toko di sebelah kantornya bersama dengan enam orang lainnya yang juga ikut tidur di ruko berlantai empat tersebut.



"Disini biaya hidup empat kali lipat dari Jakarta, kalau nggak irit, nggak bisa pulang," Kata Ilham beberapa pekan lalu. Tidak berbeda dengan Ilham, Febri Angga Mison, atau akrab disapa Mison juga harus tinggal di kantor lantaran beratnya biaya hidup di Kota Batulicin.

Rasa kangen terhadap keluarga menjadi alasan bagi Mison untuk mengirit pengeluarannya agar bisa bertemu dengan anak serta istrinya di Banyuwangi, Jawa Timur. Paling tidak, setiap bulan, Mison harus terbang ke Surabaya menemui anak serta istrinya selama dua hari. Hal yang paling berat dan harus ia jalani adalah melepas kerinduan dengan buah hati yang kini berusia 2 tahun. "Biayanya kalau untuk pulang pergi Rp 1,5 juta," kata Mison.

Hampir sama dengan anak buahnya, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I (Waskon), Dikun berbinar-binar matanya saat hendak menceritakan suka duka hidup jauh dari keluarganya di Pekalongan, Jawa Tengah. Bapak berusia 50 tahun senantiasa memikirkan bagaimana anak dan istrinya hidup di luar pulau dengannya.

Dikun harus pulang pergi sebulan sekali untuk melihat anak dan istrinya hanya untuk sekadar melepas kangen. "Yang paling berat jauh dari keluarga, apalagi saya punya anak," ujar Dikun.

Pernah, waktu Dikun pertama kali tugas di Batulicin, anak serta istrinya diboyong tinggal di sana. Namun, belum satu bulan tinggal di Batulicin, anak serta istrinya tidak kerasan lantaran fasilitas penunjang jauh seperti di Pekalongan.

Untuk pendidikan, di Batulicin boleh dibilang jauh dari memadai, begitu juga dengan fasilitas kesehatan. Apalagi untuk hiburan, tempat wisata di Batu Licin nyaris tidak ada sama sekali kecuali hanya pantai tanpa pengunjung yang terletak di daerah Pagetan. "Baru tinggal di sini 1 bulan tapi nggak kerasan dan sekarang balik lagi ke Pekalongan karena sering mati lampu," kata Dikun.



Kebanyakan, para pegawai pajak yang tinggal di dalam ruko, hidup secara kekeluargaan karena merasa senasib sepenanggungan yang jauh dari rumah dan keluarga. Lingkungan yang dibangun memang berbeda dengan perkantoran pada umumnya.

Di antara atasan maupun bawahan tidak begitu terlihat kastanya dalam lingkup kerja di KPP Pratama Batulicin. Misal, Achmad Noor Wakhid, Kepala Kantor KPP Pratama Batulicin, juga tinggal di lantai 2 kantor pajak. Wakhid, seminggu sekali pulang ke Jakarta untuk menemui keluarganya dan melepas rindu berkumpul bersama anaknya.

"Cuma saya yang bisa pulang seminggu sekali, karena gaji saya mencukupi," kata Wakhid.

Pria mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di KPP Madya Jakarta Pusat ini menuturkan, suasana yang dibangun di lingkungan kantor KPP Pratama Batulicin memang dilandasi rasa kekeluargaan. Setiap Senin dan Kamis, mayoritas pegawai yang beragama Islam, melakukan puasa bersama.

Selain memperkuat iman, faktor mahalnya biaya hidup juga menjadi alasan untuk melakukan puasa setiap minggu. Menu buka puasa juga tidak ada yang istimewa, mie, gorengan dan sop merupakan menu favorit berbuka puasa. Kadang kalau ada uang lebih atau ada pegawai yang dengan sukarela mendonasikan uangnya, sate ayam merupakan menu istimewa yang mendampingi para karyawan berbuka puasa. "Di sini semua urunan (patungan), termasuk buka puasa juga kita patungan," kata Wakhid.

Prinsipnya, tutur Wakhid, suasana yang dibangun di lingkungan kerja KPP Pratama Batulicin memang demikian. Pendidikan secara rohani, ditanam jauh-jauh untuk membentuk karakter pegawai pajak yang bersih.

Kisah Penyuluhan Pegawai Pajak Ranai, Membelah Bukit Arungi Laut


Membelah bukit dan mengarungi lautan adalah hal yang biasa dilakoni para pegawai pajak yang bertugas di pulau-pulau terpencil di Nusantara. Salah satunya di kota Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.



Demi menjalankan tugas penyuluhan kepada para wajib pajak, mau tak mau para pegawai pajak di Kantor Penyuluhan Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Ranai ini memang harus melewati perjalanan panjang.

Budi Utomo, salah satu petugas pajak yang bertugas di Ranai, mengaku sudah dua tahun bertugas di wilayah ini. Budi merupakan Kepala Kantor Penyuluhan Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). KP2KP sendiri adalah kepanjangan tangan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tanjung Pinang di tingkat provinsi.

Pada Selasa (21/5), dia bersama dua stafnya, yakni Slamet Pasaribu dan Grace Ginting mendapatkan tugas untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh perangkat daerah di Kecamatan Pulau Tiga.

Bukan hal yang mudah untuk bisa sampai ke tempat yang dituju. Selain perjalanan jauh, mereka juga harus melewati perbukitan terjal yang bersinggungan langsung dengan jurang yang curam.

Perjalanan dari kantor KP2KP yang terletak di Jalan Ahmad Yani nomor 5 itu ke Pulau Tiga dibutuhkan waktu sedikitnya 2 jam dengan jalur darat dan 1 jam jalur laut.

Tepat Pukul 07.00 WIB, mereka berkemas dan membawa seluruh perlengkapan penyuluhan. Sedikitnya ada tiga kardus besar berisi dokumen perpajakan warga, NPWP, pamflet, spanduk, banner yang dibawa agar acara sosialisasi terlihat lebih meriah.

Barang-barang itu pun harus mereka bawa sendiri tanpa dibantu petugas lain. Karena memang, hanya mereka bertiga yang tugas di KP2KP Ranai.

Kendaraan pun mulai melaju dari kantor yang sekaligus rumah tempat mereka melepas lelah setiap hari dan berangkat menuju lokasi penyuluhan di Pulau Tiga.

Pria asal Yogyakarta ini memang bukan yang pertama menjalani aktivitas semacam ini. Perjalanan melawati jalan berlubang, berkelok dan membelah bukit harus ditempuh Budi Utomo dan stafnya untuk bisa sampai ke tempat sosialisasi.

Butuh tenaga ekstra untuk berkendara di medan perjalanan semacam itu. Belum lagi mobil harus melaju melewati pegunungan yang menanjak hingga 80 derajat dan berbatasan langsung dengan jurang yang terjal. Sedikit saja roda mobil tergelincir, hati mulai deg-degan. Sungguh nyawa taruhannya untuk bisa melewati jalan semacam itu.

Setelah sampai di pelabuhan Selat Lampa, sebagian tenaga dan pikiran sudah habis terkuras di dalam perjalanan darat. Budi juga harus menaiki speedboat, atau penduduk Ranai biasa menyebutnya kapal pompong.

Budi dan kawan-kawan juga harus melalui jalur perairan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.

Beruntung, cuaca di lokasi sedang bersahabat. Namun sebenarnya tidak jarang badai menerjang di kawasan ini saat hujan tiba. Cerita Budi, pernah suatu kali speedboat yang biasa ditumpangi terombang-ambing oleh ombak. Parahnya, air hujan menggenangi speedboat.

Belum lagi, jika mesin speedboat bermasalah di tengah laut. Budi pun harus menunggu sampai ada kapal bantuan yang lewat untuk menumpang sampai ke lokasi tujuan. Jika tidak, dengan terpaksa mereka harus bermalam di tengah laut yang dingin dan sepi itu.

Setelah berhasil melewati perairan, dengan menghela napas panjang, Budi dan kawan-kawan pun bergegas membawa perlengkapan penyuluhan ke sebuah balai pertemuan tempat di mana sosialisasi dan penyuluhan perpajakan itu berlangsung.

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan jauh, terjal dan berliku, Budi dan pegawai pajak lainnya pun bertemu dengan para pejabat, bendahara dan PNS yang ada di Pulau Tiga.

Budi menjelaskan kepada puluhan warga yang hadir di acara tersebut tentang pentingnya membayar pajak. Selain itu, dia juga menjelaskan tentang proses penggunaan pajak masyarakat yang akhirnya kembali ke masyarakat.



"Pajak adalah tulang punggung pembangunan, kita semua ini perlu dipahami bahwa APBD Natuna, tahun lalu Rp 1,5 triliun. Itu sumbernya dari APBN, pajak apapun, pada akhirnya kembali ke APBD Natuna. Melalui dana perimbangan, begitu masuk ke APBN

Natuna, sepenuhnya jadi tanggung jawab Pengguna Anggaran, yaitu bapak Bupati. Dalam membelanjakan sesuai dengan persetujuan dewan, larinya juga ke bapak ibu," terang Budi dengan penuh pengertian kepada masyarakat.

Dia juga menjelaskan, bahwa pajak diperuntukkan bagi masyarakat yang notabene sudah masuk dalam kategori mampu untuk dikenakan membayar pajak atau Wajib Pajak (WP). Di dalam pemungutan pajak, lanjut dia, juga berlaku asas keadilan.

"Asas pajak salah satunya asas keadilan, pajak dipungut berdasarkan kemampuan wajib pajak, bahasa gampangnya semakin kaya dikenakan pajak semakin besar, kalau di bawah dari ketentuan tidak perlu bayar pajak," imbuhnya.

Penyuluhan ini pun disambut antusias oleh warga setempat. Secara bergiliran para warga bertanya kepada Budi seputar perpajakan. Ada yang sekadar bertanya, ada juga yang melaporkan berbagai sistem pemungutan pajak di sekitar mereka.

Dua jam lebih acara penyuluhan ini berlangsung hangat, Budi pun meminta agar para warga mencatat nomor ponselnya. Dengan tujuan, jika masih ada yang kurang paham tentang pajak, warga diperkenankan bertanya melalui sambungan telepon.

Tidak hanya medan yang berat, yang menjadi kendala pegawai pajak melakukan sosialisasi perpajakan. Perbedaan bahasa pun sering kali membuat pegawai KP2KP kesulitan memberikan pemahaman kepada warga akan pentingnya membayar pajak.

"Di sini yang sulit, mereka pakai bahasa melayu Natuna, agak sulit mencerna bahasa mereka," sambung Slamet di sela-sela acara penyuluhan berlangsung.

Di pengujung acara, Budi membagikan kartu NPWP bagi para warga yang memang belum sempat mengambil di kantor KP2KP Ranai yang memang letaknya cukup jauh dari Pulau Tiga.

"Jadi Bapak, Ibu tidak perlu lagi jauh-jauh datang ke kantor. Langsung saja saya bagikan di sini," tutur dia.

Pertemuan hari itu berakhir. Warga terlihat senang karena mendapat pengetahuan dan pemahaman lebih tentang perpajakan.

Sementara bagi pegawai pajak, tugas hari itu belumlah usai. Mereka masih memiliki tanggung jawab untuk terus melakukan sosialisasi kepada wajib pajak di daerah terpencil lainnya.

Senyum semangat pun terpancar dari wajah para pegawai pajak yang melihat seluruh warga antusias dan senang usai menghadiri acara penyuluhan dan konsultasi perpajakan yang digelar KP2KP Ranai. Akhirnya betapa sulitnya perjalanan panjang ini dilalui, kepuasan dalam melayani masyarakat bisa dirasakan, karena sosialisasi bisa diterima masyarakat dengan antusias.

Itulah secuil kisah dari pegawai pajak di negeri tercinta ini. Apakah masih terlintas di pikiran Anda kalau semua pegawai pajak hidup dalam kemewahan dan hura – hura serta korupsi? Karena merekalah negara kita ini tetap ‘hidup’ karena sekitar 70% APBN negara ini berasal dari penerimaan pajak. Mereka adalah ujung tombak negara Indonesia dalam memungut penerimaan negara. Bagi Anda yang masih bertanya “Apa gunanya membayar pajak? Duitnya dikemanain? Ntar dikorupsi lagi?”.


Pegawai pajak hanya bertugas untuk menerima SURAT setoran dari para wajib pajak (WP). Para pegawai pajak tidak sepeserpun menerima uang WP. WP membayarkan uang pajak mereka melalui bank ataupun kantor pos dan uang tersebut langsung masuk ke dalam kas negara. Dari kas itulah negara dapat membayar utang negara ke luar negeri, subsidi BBM, membiayai sekolah putra – putri bangsa, dll.


Jika Anda bertanya “Nah kalo masalah Gayus dulu itu gimana? Bukannya Gayus itu korupsi?” Begitu hebatnya media massa Indonesia yang memberikan mindset yang salah kepada masyarakat kita. Gayus sama sekali tidak ‘mengambil’ uang negara. Yang Gayus lakukan adalah membantu para Wajib Pajak untuk bisa mengurangi pajak yang mereka tanggung.



Sekian tulisan dari saya yang masih sangat amatir ini. Ubahlah mindset Anda tentang pegawai pajak. Berikan mereka kepercayaan dalam mengelola keuangan negara kita agar negara ini menjadi jauh lebih baik kedepannya.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun