Pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan pada 11 Juli 2023 lalu menjadi kontroversi di kalangan praktisi kesehatan Indonesia. Protes dari lima organisasi profesi kesehatan besar seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap isi UU tersebut.
Beberapa poin yang mungkin menjadi perhatian utama dari organisasi profesi kesehatan diantaranya :
1.Regulasi profesi : kemungkinan terdapat perubahan dalam regulasi terkait lisensi, tanggung jawab, atau ruang lingkup praktik bagi dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan apoteker. perubahan semacam ini bisa menjadi perhatian serius bagi organisasi profesi yang mungkin merasa bahwa aturan baru tersebut tidak sesuai dengan kepentingan atau standar profesi mereka.
2.Aspek kesehatan masyarakat : UU Kesehatan juga mencakup aspek kesehatan masyarakat, peningkatan akses layanan kesehatan, atau pembagian sumber daya kesehatan yang dapat berdampak pada cara organisasi profesi memberikan layanan kesehatan.
3.Kesejahteraan dan hak profesi : ketentuan terkait kesejahteraan profesi kesehatan, termasuk aspek gaji, jaminan sosial, keamanan kerja, dan hak - hak profesi lainnya mungkin menjadi kontroversi dalam UU Kesehatan tersebut.
Perlu dicatat bahwa ketidaksetujuan dari organisasi profesi kesehatan terhadap UU Kesehatan bisa disebabkan oleh beragam alasan, serta perlu adanya dialog dan negosiasi antar pemerintah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Memperhatikan aspek keadilan dalam pengesahan UU adalah hal penting yang harus dipertimbangkan. Seperti yang baru ini terjadi mengenai UU Kesehatan terkait “Penghapusan Mandatory Spending” dan “Pemanfaatan Tenaga Medis dan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri”.
Omnibus Law UU Kesehatan yang kami bahas sebagai berikut.
A.Penghapusan Mandatory Spending.
Dalam Pasal 171 Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 mengenai kesehatan sebelum ada perubahan, mandatory spending ditetapkan sebesar 5% APBN dan 10% APBD di luar gaji. Ada banyak pihak yang memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini, diantaranya adalah:
1.Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beralasan dengan alokasi minimum wajib dari anggaran kesehatan dihilangkan karena selama ini anggaran wajib belanja kesehatan sebesar 5% belum efektif dan mudah disalahgunakan untuk alasan yang tidak jelas.
2.Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi menjelaskan kewajiban alokasi anggaran minimal 5% “tidak serta merta menjamin” berfungsinya layanan kesehatan secara optimal. Menurut dia, penggunaan alokasi anggaran wajib seringkali “dipaksakan” dan tidak sejalan dengan rencana pembangunan kesehatan antara pusat dan daerah. Sebaliknya, pemerintah akan memberikan dan memfasilitasi layanan kesehatan “berdasarkan kebutuhan aktual lingkungan”. Artinya anggaran baru akan dialokasikan sesuai program yang sudah direncanakan dengan baik dan matang.
3.Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena menyampaikan pendapat atas penghapusan mandatory spending atau kewajiban belanja dalam omnibus law UU Kesehatan. Menurut dia, hal ini dilakukan agar tanggung jawab atas biaya kesehatan tidak dilimpahkan begitu saja kepada pemerintah. Melki menyampaikan bahwa omnibus law UU Kesehatan dirancang agar sistem tanggung jawab pembiayaan itu dibagi merata antara pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan demikian, Melki menyatakan bahwa pembiayaan dalam kesehatan dapat dibagi secara merata antara semua pihak yang ada.
4.Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani mengemukakan pendapat bahwa RUU Omnibus Law Kesehatan wajib menyertakan mandatory spending guna menjadi bagian penting dari regulasi tersebut. Sebagai amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disampaikan bahwa kesehatan ialah hak konstitusional yang tak dapat diabaikan, itulah prinsip penting yang ditekankan oleh Netty Prasetiyani.
5.Wakil Ketua Komisi IX DPR F-PKB Nihayatul Wafiroh mengatakan jika mandatory spending tersebut minimal 5% dari APBN dan dikatakan pula dalam batang tubuh UU kesehatan, tidak sekedar dalam penjelasan UU saja. Ia juga menyampaikan bahwa PKB berpandangan jika anggaran pelayanan kesehatan harus dikategorikan sebagai anggaran wajib yang sebaiknya dialokasikan dalam APBN. Kewajiban tersebut guna memastikan kualitas pelayanan kesehatan dalam bentuk program maupun dalam perbaikan sarana prasarana kesehatan.
Kesimpulan yang bisa didapatkan dari pendapat-pendapat diatas adalah, banyak para petinggi yang mengatakan bahwa mandatory spending hanya menghabiskan uang negara untuk alasan yang tidak jelas sehingga UU mengenai mandatory spending dihapuskan, sementara para tenaga kesehatan menyatakan pendapat sebaliknya. Para tenaga kesehatan menolak keras adanya penghapusan mandatory spending, alasannya adalah untuk memperbaiki kualitas, sarana, dan prasarana bidang kesehatan di Indonesia memerlukan biaya yang tinggi, belum lagi dengan adanya perkembangan zaman yang canggih membuat standar kesehatan yang baik sulit dicapai dengan anggaran yang pas-pasan.
B.Dokter Asing yang Memperoleh Akses Mudah untuk masuk ke Indonesia
Pasal 233 ayat (1) : Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang melaksanakan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.