Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Perpustakaan Serasa di Hotel Bintang Lima

29 April 2010   01:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31 474 0
[caption id="attachment_129110" align="alignright" width="200" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Ruangan itu ukurannya tak begitu luas, kira-kira cukup menampung 20 orang. Kursi empuk berwarna coklat muda dipadu dengan sorot lampu temaram layaknya bintang-bintang saat malam membuat suasana di ruangan tersebut makin menarik. Kalau kaki ingin diselonjorkan, tinggal tarik bagian bawah kursi. Sekejap kita seolah berada di bioskop VIP seperti yang ada di Pasaraya atau Blitz Megaplex.

Tapi, jangan Anda bayangkan itu adalah ruang privat di bioskop tersebut. Ini adalah salah satu ruang  Sports and Cinema Room di Tarumanegara Knowledge Centre (TKC). Di Universitas tersebut kini, perpustakaan pusat telah menjelma menjadi Knowledge Centre, yang memiliki konsep yang jauh berbeda dengan apa yang ada di sebuah perpustakaan lembaga pendidikan, apakah itu sekolah tinggi, universitas, atau akademi. Knowledge Centre lebih dari sekadar tempat beraktivitas yang berkaitan dengan buku. Knowledge centre menjadi semacam tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi semua orang. Di tempat tersebut, pengunjung bisa melakukan banyak hal mulai menikmati sajian audio visual, beraktivitas di executive lounge, mengakses internet di ruang baca, atau sekadar membaca koleksi buku layaknya di perpustakaan konvensional.

Pergeseran perpustakaan perguruan tinggi ini pernah disinggung oleh R.Samyukhta (2009). Menurutnya ekspansi internet membuat bermacam informasi bisa didapatkan langsung dari web. Pengguna bisa langsung mengakses beragam sumber, dengan desain antarmuka (interface) yang makin interaktif, dan perangkat pencari (search tool) yang makin canggih. Hasilnya, statistik kunjungan dan sirkulasi perpustakaan tradisional makin menurun. Perkembangan ini, tambah Samyuktha, mau tidak mau berdampak kepada salah satunya yakni perpustakaan perguruan tinggi. Menurutnya, perpustakaan perguruan tinggi akan menjawab dengan mengubah perannya sekaligus melakukan konvergensi lewat Knowledge Centre. Dengan knowledge centre, pustakawan ditantang menjadi seorang insinyur pengetahuan (knowledge engineer) atau pekerja pengetahuan (knowledge worker).

Selain itu, biasanya pergeseran perpustakaan menjadi knowledge centre itu diimbangi dengan cakupan layanan yang berbeda. Kalau perpustakaan perguruan tinggi terfokus layanannya kepada civitas akademika, maka knowledge centre bisa berperan lebih luas. Di sinilah kemudian, sang knowledge worker punya peran lebih luas juga. Ketika menentukan cakupan layanan termasuk siapa saja yang bisa dilayani, termasuk masyarakat umum non-civitas akademika. Toh, bila itu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, knowledge centre bisa menjadi salah satu keunggulan tersendiri bagi perguruan tinggi di tengah kompetisi antar perguruan tinggi yang makin ketat.

Citra Positif dan Tantangan

Perubahan perpustakaan perguruan tinggi menjadi knowledge centre menjadi pisau bermata dua bagi perguruan tinggi. Di satu sisi, perubahan fungsi dan peran tersebut akan mendongkrak citra perguruan tinggi yang mampu mendekatkan institusi perguruan tinggi dengan masyarakat sehingga perguruan tinggi tidak lagi menjadi menara gading yang seolah tidak tahu akan keadaan disekitarnya. Di sisi lain, ada harga yang harus dibayar dengan mahal. Yang paling mendasar adalah perubahan mindset atau pola pikir pustakawan yang harus berubah menjadi knowledge worker. Pola pikir yang harus diubah sebagai pekerja informasi menuntut pengetahuan dan kemampuan untuk menjadikan kepuasan pengguna adalah target utama.

Ketika sebuah perpustakaan perguruan tinggi memutuskan untuk bermetamorfosa menjadi knowledge centre ada beberapa konsekuensi. Misalnya kebijakan pengalihan perhatian layanan utama ke civitas akademika dipindah dari perpustakaan pusat ke perpustakaan masing-masing fakultas. Perubahan bentuk dan fungsi ini menuntut perubahan dari semua lini. Mau tidak mautarget market yang berubah menyebabkan perubahan besar pada koleksi, layanan, jam buka dan lain sebagainya. Peran dan fungsi perpustakaan pusat yang didelegasikan ke fakultas masing – masing mengharuskan perpustakaan fakultas pun bekerja ekstra keras dalam memenuhi kebutuhan civitas akademika-nya. Di sisi knowledge centre ada beberapa hal yang bisa diperhatikan. Cakupan layanan yang kemudian misalnya terbuka untuk umum memang akan membawa image atau citra positif bagi perguruan tinggi tersebut. Apalagi bila target pasar knowledge centre disasar pada ceruk pasar (niche market) anak SMA, tentu akan terjadi ikatan batin yang kuat antara pengunjung umum SMA dengan universitas tersebut.

Selain image, Universitas juga perlu merogoh kocek cukup dalam ketika menyediakan knowledge centre. Seperti yang dilakukan oleh Tarumanegara Knowledge Centre, mereka melakukan bermacam terobosan. Mulai mendesain ruangan yang serba modern, hingga mengisi beragam kegiatan seperti mengundang artis, bedah buku, dan sebagainya sebagai bagian dari promosi yang efektif. Meskipun ini masih sekadar permukaan saja, usaha keras sebuah knowledge centre agar bisa melayani dengan baik perlu dilakukan oleh pustakawan sebagai pekerja pengetahuan. Fasilitas yang besar dan terkesan mewah yang dapat memutar film-film terbaru, ruang multimedia, ruang baca yang nyaman, fasilitas kafe yang nyaman yang bertujuan mendekatkan knowledge centre pada penggunanya. Disinilah peran pekerja pengetahuan berlaku, bagaimana membuat strategi knowledge centre agar mendekatkan diri pada pasar yang telah dibidik.

Ada tiga tantangan utama yang disebut Samyukhta ketika sebuah perpustakaan perguruan tinggi bermetamorfosis sebagai knowledge centre. Dua tantangan lebih kepada faktor teknis yakni ketersediaan infrastruktur knowledge environment dan sumber daya pengetahuan dan layanannya. Satu tantangan lain ada pada diri pustakawan karena mereka harus menjadi knowledge worker yang punya banyak kemampuan. Kemampuan knowledge worker ini diantaranya adalah pengetahuan teknikal, pengetahuan bisnis, pengetahuan manajerial, pengetahuan interpersonal, pengetahuan organisasi, dan pemahaman terhadap karakteristik personal. Sumber daya manusia di knowledge centre harus mampu memiliki kombinasi pengetahuan-pengetahuan tersebut.

Hal yang tak kalah penting adalah ketaatan azas akan fungsi dan peran knowledge center sebagai jembatan bagi proses transfer informasi dan pengetahuan dari publik ke privat. Fungsi dan peran ini yang harus dijaga dengan ketat. Ini karena perbedaan tipis antara kepentingan untuk dedikasi kepada masyarakat tapi tetap menjamin kepentingan institusi yaitu masyarakat tahu, mengenal dan percaya eksistensi perguran tinggi tersebut. Layaknya sebuah iklan yang kemudian menjadi mitos, itu perlu usaha terus-menerus dan intens sehingga masyarakat kenal, percaya dan yakin akan apa yang disajikan oleh iklan tersebut. Itu pula yang terjadi bila perpustakaan perguruan tinggi ingin bermetamorfosis menjadi knowledge centre.

Apapun skenario perubahan perpustakaan perguruan tinggi menjadi knowledge center, ini ibarat oase di tengah padang pasir. Di saat gempuran hiburan dan tawaran – tawaran modernisme dan konsumtivisme menggerus kepercayaan masyarakat pada perpustakaan. KC memberikan oase baru yang melahirkan harapan baru akan meningkatnya minat baca masyarakat kita. Siapa yang tak senang bila ke perpustakaan tak lagi sekadar dihadapkan dengan bangku kosong nan sunyi dan senyap, tapi ke ’perpustakaan’ dengan cita rasa modern. Seperti dikatakan Rachmat Natadjumena, senior library expert di Tarumanegara Knowledge Centre yang menyebut knowledge centre seperti perpustakaan dengan fasilitas setara hotel bintang lima. Kalau kemudian konsep knowledge centre ini lahir dari rahim banyak perpustakaan universitas, boleh jadi long life learning bagi masyarakat Indonesia bukan sekadar jargon belaka. Semoga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun