Dilema antara penegakan moral ke-Indonesia-an dengan pendapatan dari sektor pariwisata. Tentunya, soal ini sudah diperhitungkan matang pemerintah dan DPR RI.
KUHP diterapkan sejak Indonesia merdeka, dan baru sekarang direvisi.
Dikutip dari buku: "Ontwerp wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-Indie Volume 1 (1911), disebutkan, KUHP produk Belanda. Namanya Wetboek van Strafrecht (WvS). Berlaku di Belanda sejak tahun 1886.
Ketika Belanda menjajah Nusantara, di Nusantara belum ada hukum formal. Hanya ada hukum adat. Berbeda-beda di tiap wilayah.
Maka, Belanda membawa itu ke sini. Namanya jadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). Ada tambahan Nederlandsch Indie, karena Belanda menyebut Nusantara sebagai Nederlandsch Indie.
Sebagian pasal disesuaikan dengan kondisi masyarakat di sini. Tapi sangat sedikit.
WvSNI diberlakukan di sini sejak 1918. Atau setelah 32 tahun diterapkan di Belanda. Sebelum 1918 di Nusantara belum ada hukum formal. Adanya hukum adat. Membuat orang Belanda bingung.
Setelah Indonesia merdeka, biar cepat, WvS diberlakukan di sini. Diganti saja nama jadi KUHP. Semua isinya tetap sama. Revisi pertama dan disahkan DPR RI, Selasa (6/12).
KUHP lama, warisan Belanda, menganut budaya Belanda, melegalkan hubungan seks di luar nikah. Asalkan tanpa paksaan. Di KUHP revisi, soal itu diatur di Pasal 411, bunyinya begini:
Ayat 1. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta).
Ayat 2. Tindak pidana tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan oleh (a) suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau (b) orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Dijelaskan, anak dimaksud adalah berusia maksimal 16 tahun.
Ayat 3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Ayat 4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Implementasinya tiga tahun mendatang. Fokus di hotel-hotel. Jika ada tamu pria-wanita pesan satu kamar, mungkin akan diminta surat nikah. Tapi tidak ada aturan hukum yang mewajibkan pihak hotel begitu.
Itulah yang direaksi pihak Australia. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia melalui Juru Bicara Imigrasi Australia, dikutip dari Smart Traveler, Kamis (8/12) mengumumkan begini:
"Parlemen Indonesia telah meloloskan revisi hukum pidana, yang mencakup hukuman untuk kohabitasi dan seks di luar nikah."
Dilanjut: "Kita perlu memastikan semua orang mengetahui undang-undang baru ini, karena hal terakhir yang ingin kita lihat adalah orang-orang yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang menurut undang-undang Indonesia tidak boleh mereka lakukan. Bahkan ketika apa yang mereka lakukan benar-benar legal (di Australia)."
Dikutip dari Portal Informasi Indonesia, Indonesia.go.id rerata turis asing ke Indonesia membelanjakan sekitar USD 1.100 (Rp 17,11 juta, kurs Rp 15.700 per USD) per orang.
Jika turis Australia ke Indonesia sejuta orang per tahun, maka ada capital inflow dari turis Australia sekitar Rp 17,11 triliun per tahun.
Australia sudah menerbitkan travel warning ke Indonesia. Belum bisa dihitung, berapa kemerosotan devisa masuk dari situ, terkait travel warning, sekarang dan saat KUHP zina itu diterapkan 2025.
Ada lagi. Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Ned Price, menyoal pasal zina itu juga. Nadanya mengancam iklim investasi dari AS ke Indonesia.
Di konferensi pers, dikutip dari AFP, ia mengatakan: "Kami juga prihatin tentang bagaimana undang-undang tersebut dapat berdampak pada warga AS yang berkunjung dan tinggal di Indonesia, serta iklim investasi bagi perusahaan AS."
Bisa ditafsirkan, investasi AS ke Indonesia punya konsekuensi datangnya ekspatriat ke sini. Kalau mereka berzina di sini, melanggar Pasal 411 KUHP.
Pemerintah Indonesia sudah menanggapi itu. Plt Dirjen Peraturan Perundang Undangan, Kemenkumham, Dhahana Putra dalam siaran pers, Rabu (7/12) mengatakan:
"Secara a contrario, pengaturan itu menutup ruang dari masyarakat atau pihak ketiga lainnya, untuk melaporkan terjadinya tindak pidana tersebut, sekaligus mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri."
Dilanjut: "Itu karena suatu pengaduan juga tidak dapat dipilah-pilah. Artinya tidak mungkin dalam pengaduan hanya salah satu pelaku saja yang diproses, sehingga keputusan untuk membuat pengaduan itu juga akan betul-betul dipertimbangkan oleh mereka yang berhak mengadu."
Gampangnya begini: Pasal 411 'kan delik aduan. Orang yang berhak mengadu, diatur di Ayat 2. Tidak sembarang orang boleh mengadu. Pun, seandainya tidak ada pengaduan, ya... aman-aman saja.
Diakhiri: "So, please come and invest in remarkable Indonesia."
Tapi, user yang akan membawa duit ke Indonesia, 'kan mereka (turis Australia dan ekspatriat AS). Dan, kekhawatiran mereka tentang kemungkinan dihukum setahun penjara, tidak mungkin surut oleh ucapan: "So, please..."
Pernyataan pihak Australia dan AS itu, mungkin bukan sekadar gertak sambal. Sebab, pastinya mereka maklum, bahwa KUHP yang sudah disahkan, tidak mungkin direvisi. Sudah final.
Jadi, travel warning itu bisa ditafsirkan sebagai komentar mereka terhadap hukum formal Indonesia yang baru. Mereka selaku pemegang duit, bisa memilih ke negara lain, selain Indonesia.
Toh, jumlah turis asing ke Indonesia dilaporkan, naik.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Badan Pusat Statistik, Setianto dalam konferensi pers daring, Kamis, 1 Desember 2022, mengatakan: "Jumlah wisman (wisatawan mancanegara) terus menunjukkan peningkatan sejak Januari 2022."
Jumlah wisman periode Januari-Oktober 2022 sebanyak 3,92 juta. Naik 215,16 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2021. Terbanyak dari Malaysia.
Rinciannya: Malaysia 776 ribu atau 19,8 persen dari total kedatangan wisman ke Indonesia di 2022.
Disusul Australia 93 ribu kunjungan. Singapura 84,5 ribu kunjungan. Timor Leste 66,1 ribu kunjungan. India 37 ribu kunjungan. Inggris 23,1 ribu kunjungan. Amerika Serikat 21,6 ribu kunjungan.
Cuma, dengan travel warning itu kita berpotensi kehilangan sebagian dari wisman. Atau berpotensi kehilangan devisa.
Â
Dari uraian di atas, ketahuan, bahwa turis Australia dan AS, merasa perlu kebebasan seks tanpa ikatan perkawinan, ketika mereka tinggal di Indonesia. Seperti di KUHP lama.
Dari travel warning itu terbaca, bahwa turis pria dari dua negara itu ke Indonesia yang membawa perempuan dari sana ke Indonesia, tidak khawatir. Merasa pasti aman. Karena, seumpama mereka bukan suami-isteri, tidak mungkin dilaporkan (sesuai Pasal 411 KUHP Ayat 2).
Tapi, turis pria yang tidak membawa perempuan dari sana (Australia dan AS) itulah yang was-was. Khawatir 'dipalak' Rp 10 juta. (*)