Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Puisi Hujan

12 April 2015   05:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:14 83 0
Matahari pagi ini bersinar dengan terangnya, memberi tanda bahwa kehidupan masih harus terus berjalan sebagaimana mestinya. Dan, aku, melangkahkan kakiku menuju kampus biruku, di sana masa depanku tengah menunggu. Hembusan angin menyapa pagiku dengan lembut, bersama wangi embun yang menyejukkan di atas dedaunan dan perlahan menguap. Pagi hari merupakan sebuah awal yang baik, baik untuk memulai apapun, apapun yang ingin kamu ubah di hari kemarin. Termasuk, rasa yang tumbuh dengan liarnya di hatiku ketika bertemu denganmu jauh-jauh hari sebelum hari ini segera berlalu.

“Hari ini aku kuliah di ruang mana ya?” gumamku di tengah perjalanan menuju kampus, dengan cepat ku cari handphone di dalam tas dan mengecek jadwal kuliahku, selalu begitu setiap pagiku.

Aku selalu suka memandangi setiap detail kampusku, entah apa yang menarik. Kadang aku berpikir apa yang dipikirkan orang-orang yang ku temui setiap pagi. Mungkin laporan, belum sempat sarapan, gebetan atau mantan. Gila, mengapa imajnasiku setinggi itu.

Aku hampir sampai di kelas, ku lalui setiap anak tangga menuju kelas pagi ini. Ku tengok dari luar kelas melalui kaca-kaca jendela apakah sudah ada yang tiba di kelas atau belum. Ku lihat satu teman wanitaku dan dua orang teman priaku tengah sibuk dengan dirinya masing-masing. Kernyit bunyi pintu kelas yang terbuat dari besi dan kaca ku dorong degan santai dan membuat aktivitas temanku beralih tertuju padaku. Senyum paling manis ku hidangkan untuk mereka pagi ini. Ku letakkan tasku di bangku paling depan, bangku paling tidak digemari di kelas, garda terdepan menghadapi celotehan dosen.

“Haiiii….. haduh, lagi ngapain nih?” sapaku pada teman wanitaku.

“Enggak ngapa-ngapain, cuma lagi dengerin album terbaru my favorite singer.” jawabnya sambil tertawa.

“duh, aku keluar kelas dulu ya nyari sinyal hadphone.” Aku beranjak dari kursi dan meninggalkan temanku yang telah larut bersama suara penyanyi favoritenya itu. Silih berganti teman-temanku sampai di kelas, dan aku memilih untuk menikmati pagi di depan ruang kelas. Duduk di pinggir teras kelas menghadap rumput hijau yang membentang rapi di hadapanku. Sendirian, dan aku kembali memikirkannya, dia yang entah sedang apa pagi ini, nun jauh di kelas lain di sisi lain di satu kampus yang sama.

“Mengapa harus aku yang jatuh hati padanya?” Itu pertanyaan terbesarku, selalu.

“Apa aku tidak mungkin untuk membuat orang lain jatuh hati, atau aku memang tidak menarik?” tak hingga pertanyaan yang ku tanyakan pada diriku sendiri dalam lamunan.

Dia, andai dia tahu, bukan, bukan itu yang ku mau.

Dia, andai dia yang jatuh padaku terlebih dahulu. Berandai-andai dan selalu hanya itu yang bisa ku lakukan. Mengkhayal aku bisa menggenggammu, melihatmu tersenyum manis padaku. Kemarin, aku mencoba mengulang kembali rekaman memory ingatanku, kemarin saat aku bertemu dengannya sebelum hujan tiba.

“Hai rindu, lagi ngapain?” sapa laki-laki yang membuatku jatuh hati sontak membuat aku yang tengah duduk di sebuah meja kayu mendongak, mengalihkan pandanganku yang saat itu tengah tertuju pada laptop dan mencari sumber suara.

“Hai, lagi ngapain ya? Kalo lagi nunggu kamu gimana?” balasku sambil menggoda dia yang kini berdiri di hadapanku, setiap ada di hadapannya aku selalu berusaha memamerkan senyum termanisku yang paling tulus dari dalam hati. Alih-alih mungkin saja dia terpikat.

“Hmmm, enggak gimana-gimana lah. Mau ngapain nunggu aku?” balasnya sambil tersenyum, senyum yang membuat seluruh jiwaku terpesona kharismanya, luluh lantak seluruh tulang-tulangku, aku merasa tak berdaya. Oh Tuhan aku tak kuasa, teriak jantungku.

“ihhh, ke-PD-an banget deh, hahaha. Enggak kok, gak lagi nunggu kamu. Lagi nyari sinyal wifi.” balasku yang berusaha tenang menjaga ritme detak jantungku yang semakin cepat dan mulai mencekat napasku.

“oh, gitu. Yaudah duluan ya.” Dia berlalu, pergi dengan sebuah senyuman.

Andai jantungku ini bisa berteriak, ku rasa ia akan beteriak sekencang-kencangnya dan meledak-ledak. Aku menghela napas panjang setelah punggungnya yang tangguh tak terlihat lagi di kejauhan. Dan hujan pun turun, suasana dan semua perasaan itu menggerakkan seluruh tubuhku, jari-jariku untuk menuliskan sebuah puisi untuknya.

Hujan, apa kau selalu datang di saat yang tepat?

Atau kau hanya datang sesuka hatimu

Hujan, mengapa kau selalu memberi tanda yang tak pasti?

Atau kau hanya menggoda kami

Hujan, jika aku boleh memilih seperti apa aku ingin dilahirkan

Aku akan memilih untuk menjadi seperti dirimu hujan

Karena, aku ingin jatuh di hatinya hingga dia tak bisa menghindariku

Sebesar apapun usahanya menghindariku

Aku akan tetap jatuh padanya, mengejarnya

Walau hanya setitik hujanku yang menyentuhnya

Tapi aku yakin, dia tak akan pernah membenci hujan

Maka, bolehkah aku menjadi hujannya?

Tak ku sadari, puisi ini menguatkan hatiku. Menyadarkanku, bahwa jatuh hati menjadi hak siapa saja, entah orang yang membuatku jatuh hati itu suka atau tidak tapi nikmati saja apa yang sedang ku rasa. Dan cukuplah bangun jembatan yang ku ingini dapat mempertemukanku dengannya, lewat sebuah doa itu saja. Dan saat melihat mentari pagi ini, aku putuskan untuk tidak mengubah apapun yang terjadi jauh-jauh hari di saat aku bertemu denganmu. Aku, Rindu, hujan, puisi, dan kamu, kita dipertemukan menjadi satu. Mungkin kita memang ditakdirkan menjalani scenario Tuhan yang begitu indahnya, seperti saat ini.

Sebelum beranjak masuk ke kelas pagi ini, ku sempatkan sejenak melihat langit dan awan. Lalu aku tersenyum dan berbisik pada alam ku titipkan salam rinduku padanya dan hujan.

Penulis

Dwi Utari

*note: check out my blog at dwiute.tumblr.com and dwiute.blogspot.com

Terimakasih telah membaca cerpen perdanaku, semoga ini menjadi awal yang baik untuk terus belajar agar menjadi yang terbaik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun