Baru beberapa hari juga, DPR seperti kebakaran jenggot. Saat sudah resmi FTA berlaku, baru muncul usulan agar produk Cina yang masuk Indonesia dikenakan standar nasional atau SNI. Inisiatif baik yang muncul terlambat. Sebelum ASEAN-Cina FTA ini produk asal Cina sudah banjir di Indonesia. Produk Cina sudah mulai menghujani pasar lokal, mulai dari peniti sampai sepeda motor. Ada anekdot yang bilang bahwa “sampai peniti saja orang Indonesia tidak bisa buat. Lalu apa produk spesifik yang hanya orang Indonesia bisa buat? Jawabnya adalah wijen yang menempel pada kue klepon”.
Apakah pemerintah yakin kita punya daya saing dengan produk barang dan jasa asal Cina? Pasalnya produk made in China bisa masuk Indonesia dengan pajak bea masuk hingga nol persen. Lah wong dikenakan pajak saja barang-barang asal Cina sudah seperti hujan deras yang membanjiri pasar-pasar lokal Indonesia. Saya kira, bahkan Uni Eropa saja masih proteksionis terhadap barang-barang impor asal Cina.
Sekarang ini pemerintah mewajibkan SNI bagi produk-produk lokal. Maksudnya adalah untuk meningkatkan kualitas barang pruduksi lokal jika nanti disandingkan dengan produk “asing”. Menurut para pedagang produk Indonesia memang lebih baik kualitasnya jika dibanding dengan produk asal Cina. Tapi soal harga made in China masih pegang kendali. Saya kira filosofi produsen Cina adalah menciptakan produk murah dengan skala besar (jumlah produksi) sehingga dapat dipakai instan dan konsumen beli produk sama dalam waktu singkat dengan harga murah. Jadi waktu guna barang singkat tapi dapat beli barang sama yang baru dengan murah.
Jika filosofi produsen Cina seperti itu, lalu siapa yang untung dan siapa yang rugi? Konsumen Indonesia-lah yang dapat menolong bangsanya sendiri. Teliti membeli dan beli “ploduk-ploduk Indonesa”!