Perkembangan produk halal di dunia menjadi suatu trend yang berkembang pesat. Diantara negara-negara yang maju agroindustri halal-nya diantaranya adalah negara-negara Asean. Seperti ditunjukan oleh Malaysia yang berkomitmen untuk menjadi produsen produk halal terbesar di Asia, diikuti oleh Brunei Darussalam, serta Thailand dan Filipina yang melakukan langkah serupa meskipun muslim adalah minoritas, namun pemerintah setempat mendukung Office of Muslim Affair (OMA) untuk memberi sertifikasi kepada produk-produk ekspor asal negara-negara tsb.
Negara-negara diatas kini mengedepankan produk halalnya sebagai komoditas penting, pertanyaannya adalah bagaimana dengan Indonesia? Ironis bagi Indonesia yang memiliki potensi sumber bahan baku yang sangat besar, kemampuan produksi dan besarnya pasar dengan populasi muslim terbesar di dunia, rupanya hanya dijadikan sebagai target pasar produk halal terbesar. Memperhatikan gejala yang terjadi, maka timbul pertanyaan yang menarik menyikapi kecenderungan ini, yakni apakah hal ini disebabkan karena besarnya populasi Muslim Indonesia sebagai konsumen atau karena memang pasar global halal besar nilainya.
Dilihat dari nilai bisnis produk halal dunia, dalam Patton (2006) disebutkan bahwa bisnis produk halal mencapai antara USD 150–500 Milyar, perkembangan produk halal secara internasional ini seyogyanya disikapi dengan menyiapkan strategi dan kebijakan pengembangan industri halal agar Indonesia dapat sepenuhnya menguasai potensi yang ada menjadi suatu kekuatan yang memberikan kontribusi positif bagi pembangunan ekonomi nasional.
Urgensi atas permasalahan ini semakin mengemuka ketika negara-negara ASEAN lainya telah melangkah jauh lebih maju untuk mengembangkan agroindustri halal-nya. Bercermin pada kemampuan Malaysia dan Brunei Darusalaam yang pada jauh hari telah memprediksi bahwa nilai pasar produk halal global segera akan mencapai USD 2.1 Trilyun dengan pertumbuhan tahunan USD 500 Milyar (Johnston, 2007), dan menyikapinya dengan berbagai kebijakan untuk mengembangkan industri halalnya sebagai pelopor industri halal di dunia.
Produk halal ternyata juga mampu menarik minat negara-negara maju yang mayoritasnya penduduknya non muslim untuk memberikan labelisasi halal pada produknya, hal ini karena halal dinilai sebagai patok duga tertinggi dalam hal standar kualitas sehingga dapat menyerap produk yang sudah mendapatkan label halal. Pasar Perancis misalnya, pertumbuhan tahunan bisnis pangan halal-nya meningkat 15% (Hipermarket) dan 9% (Supermarket), dan menilikharga produk unggas halal lebih tinggi 30–50%, walaupun denganbiaya sertifikasi halal 6 % dari biaya produksi normal.
Berkembangannya agroindustri halal secara internasional ditandai dengan berkembangannya perusahaan makanan multinasional yang menjual produk halal dengan merk ternama yang maju pesat karena menggunakan ikon halal. Contoh lain yang dapat dijadikan bukti majunya produk halal dunia seperti usaha penjualan Pizza halal yang meningkat 40 % dari total penjualan pizza, serta contoh lainnya seperti penjualan KFC, Euro Fried Chicken danHalal Fried Chicken tumbuh dan berkembang dengan cepat di Eropa.
Menganalisa kemampuan produksi, besarnya pasar dan rencana jangka panjang dari negara-negara yang memiliki grand strategy dalam mengembangkan negaranya menjadi pusat pemasaran produk halal dunia, maka menjadi menjadi tantangan bagi pelaku produk halal Indonesia, yang selama ini memasok berbagai produk makanan ke pasar internasional, terlebih dengan rencanaMalaysia pada tahun 2010 yang memposisikan diri menjadi satu-satunya pintu bagi seluruh produk makanan halal yang hendak dipasarkan oleh negara-negara lain dapat mengancam keberadaan produk halal Indonesia.
Jika rencana diatas terlaksana, maka dampak negatif akan dialamiIndonesia, khususnya bagi kalangan industrimakanan.Setiap produk Indonesia yang hendak dipasarkan ke luar negeri, utamanya ke negara-negaraIslam, harus dilegalisasi di Malaysia, dan setelah label halal dikeluarkan,baru sudah bisa dipasarkan secara internasional. Selama ini, indikasi Malaysia membatasi ruang gerak Industri halal khususnya makanan halal nasionalsudah terasa. Misalnya, dengan menciptakan prosedur yang sulit bagi perdaganganIndonesia untuk masuk ke Malaysia serta membatasi produk yang beredar. Malaysia juga selalu berusaha mendapatkan berbagai metode pengembangan produk dari pelaku usaha pangan Indonesia untuk diduplikasi, walaupun pola tersebut tidak menyimpang dari ketentuan bisnis, karena modusnya adalah kerja sama.
Hal ini menjadi latar belakang perlunya untuk segeramelakukan tindakan antisipasif dan strategis disertai perubahan pola pikir untuk mendorong potensi bisnis dan perdagangan produk halal dengan memberdayakan segenap aktor yang terlibat untuk merumuskan kebijakan pengembangan agroindustri halal untuk menjadikan Indonesia bukan hanya sekedar pasar terbesar, namun juga pelaku utama produk halal di dunia.