Sejarah Tri Hita Karana (THK) berawal dari embrio zaman prasejarah yang dipengaruhi oleh agama Hindu di Bali. Konsep ini menggambarkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan alam. Istilah THK pertama kali dicetuskan pada Konferensi Daerah I Badan Pekerja Hindu Bali pada tanggal 11 November 1966 oleh Dr. I Wayan Merta Suteja. Filosofi THK melintasi agama-agama formal di Indonesia, seperti Hindu, Kristen, Islam, Buddha, dan Konghucu, dengan fokus pada keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo memperkenalkan filosofi THK pada Forum Tri Hita Karana, dengan menekankan pentingnya keharmonisan untuk pembangunan berkelanjutan dan kebahagiaan. Kesimpulannya, filosofi Tri Hita Karana merupakan hasil sejarah dan pengaruh agama Hindu di Bali yang diadopsi sebagai kearifan lokal, menekankan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan alam untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Diperkenalkannya nilai-nilai Tri Hita Karana di forum-forum internasional menunjukkan relevansi dan potensinya sebagai landasan bagi pembangunan berkelanjutan dan kebahagiaan manusia.
Ajaran Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup masyarakat Bali yang mendasarkan kehidupan manusia pada tiga aspek penting, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, serta manusia dengan alam semesta. Meskipun berasal dari Bali, konsep ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk di seluruh Indonesia. Di Bali, sebagai asal mula ajaran Tri Hita Karana, masyarakatnya secara khusus mengamalkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari . Mereka menaruh perhatian pada keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan (parhyangan), hubungan dengan manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam (palemahan).
KEMBALI KE ARTIKEL