Nah, menjadi realistisnya, Partai Demokrat akan merapat ke koalisi mana? Tentu merapat ke koalisinya PDIP jauh lebih masuk akal. Tapi sepertinya memang berat, jika parpol berbendera biru itu masih menginginkan kursi cawapres sebagai mahar pada keikutsertaannya sebagai anggota koalisi.
Meski juga, dulunya PDIP pernah merasa dikhianati oleh parpol yang dirintis oleh SBY itu dan menjadikan seteru yang hebat karena kedua parpol itu pernah sebagai yang terbesar. Hanya saja, sekarang keadaan terbalik. Demokrat sudah jauh dari pengertian besar itu, sehingga mengakibatkan tokoh potensialnya mudah dikhianati.
Lewat mimpi SBY pada hari kemarin itu, naga-naganya ada kecairan dari renggangnya hubungan PDIP-Demokrat. Atau lebih lazimnya, hubungan Megawati-SBY. Ada yang tersirat dari mimpi dari presiden ke-6 itu. Karena bermuatan cerita presiden ke-5 hingga ke-7 bahkan calon presiden ke-8 yang sosoknya jatuh ke Ganjar Pranowo berada dalam satu gerbong, perjalanan kereta api Jakarta - Solo.
Karena juga sudah kelahir ucapan Megawati, bahwa meski tidak bisa dilupakan, tetapi ia sudah memaafkan. Tentu, jika Partai Demokrat ingin merapat dan bersatu dalam perjuangan satu gerbong memenangkan Ganjar Pranowo pada Pilpres mendatang, dipersilakan. Hanya saja, musykil rasanya jika mensyaratkan AHY sebagai cawapresnya.
Tetapi kalau kemudian memutuskan ingin membuat koalisi baru dengan menggaet PPP misalnya, ya, ini jauh lebih ideal. Karena konsep Sandiaga-AHY juga menarik sebagai capres dan cawapres. Hanya saja, kalau koalisi itu hanya 2 parpol tentu belum memenuhi syarat presidential treshold yang mensyaratkan angka minimal 20 persen perolehan Pileg 2019.
Kenapa PPP juga rentan bisa keluar dari koalisi PDIP? Ya, karena tuntutan Sandiaga Uno sebagai bakal cawapres mendampingi Ganjar Pranowo juga belum tentu. Karena PDIP pasti lebih berhitung untuk mencari calon kuat, sebagai misal seperti konsep pada Pilpres 2019 yang memilih sosok KH. Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya Jokowi.
Pada Pilpres kali ini pun naga-naganya, PDIP juga akan lebih memilih tokoh kuat NU, sebagai cawapresnya Ganjar Pranowo. Nah, siapakah tokoh NU tersebut? Bisa jadi Mahfud MD, Yenny Wahid, Kofifah Indar Parawansa, dan tidak menutup kemungkinan Yahya Cholil Staquf dan KH. Nasarudin Umar.
Jika kemudian memang pilihan cawapres itu jatuh ke tokoh NU, bagaimana pilihan Sandiaga dan AHY? Kalau menurut saya, tidak menjadi cawapres pun tidak mengapa. Jika dalam koalisi bersama PDIP ada kemenangan, toh, menjabat sebagai menteri bagi kedua tokoh muda itu masih cukup menjanjikan dalam kiprah kepemimpinan.
Jangan lagi ada istilah khianat-mengkhianati. Karena ada hal yang lebih urgen dan masuk akal. Ada amanah besar bagi pemenangan Ganjar Pranowo dengan siapapun cawapresnya. Yaitu melanjutkan perjuangan menuju Indonesia maju, sebagaimana jejak-jejak menuju Indonesia Emas itu, benih-benih baiknya sudah ditancapkan Pak Jokowi.
Ganjar Pranowo jauh lebih realistis memegang estafet kepemimpinan menuju harapan itu. Tersebab, hanya dia tokoh yang memenuhi banyak syarat menjadi pemenang dalam Pilpres 2024. Selain karena rekam jejaknya, juga lebih digadang Jokowi, daripada bacapres lainnya. Kenapa penggadangan Jokowi ini penting? Karena memang mayoritas rakyat Indonesia mempercayainya. Dukungan yang tulus dari Jokowi meniscayakan jalan lapang bagi upaya meraih kemenangan itu.
Karenanya, tokoh muda seperti Sandiaga Uno dan AHY sebaiknya berpikir realistis. Bisa menjadi kawan sejalan bagi Ganjar Pranowo untuk melanjutkan perjuangan Jokowi dalam memajukan Indonesia. Jangan lagi korupsi ada di angan-angan mereka menjadikannya dusta. Begitu sebaiknya. Membuat pilihan yang baik, pada hari ini, bagi mereka adalah sikap yang optimis, tidak melulu bermakna transaksional. Ayo anak muda berpikir jernih!
(Dwi Klik Santosa)