Dahulu di akhir tahun 1970-an, listrik belum masuk dusun itu. Apabila pagi menjelang, suara kokok ayam jantan di dusun itu bersahut-sahutan. Diiringi beberapa saat kemudian kicauan bermacam burung jalak yang lucu, riang dan menari-nari dari dahan ke dahan pada pepohonan yang amat rimbun di dusun itu. Merambat siang, berganti burung tekukur melagukan tembang kehangatan, sembari beberapa ekor di antaranya nampak bagai sejoli di mabuk asmara dengan paruh berpatuk-patukan.
Siang datang, dusun itu ditingkahi lengkingan dan bunyi-bunyian beragam kumbang yang hinggap di batang pepohonan. Laksana orkes simponi nan merdu, merayu dan menyayat kalbu. Walau serangga itu kecil, saat ia mengerjap-erjapkan sayap mungilnya akan keluar suara nyaring. Terdengar dari kejauhan, nyanyian alam itu ikut menemani perempuan dusun itu yang sedang mempersiapkan jamuan makan di dapur. Pula mengiringi penduduk yang tengah bekerja menggarap kebun dan sawahnya.
Sesekali, pada pohon rindang di depan sebuah rumah penduduk dusun itu, terdengar gita burung Prenjak. Kicauan khas dan tiada duanya. Bagi sebagian penduduk, kicauan burung Prenjak itu pertanda akan ada tamu datang tidak diundang. Tamu yang membawa kabar duka cita maupun suka cita. Suatu kearifan lokal berdasar tanda-tanda alam, yang sebagian besar aku ikut mempercayainya.
Selepas hujan pada sore atau senja hari, dusun nan tenang itu mendadak hingar-bingar celoteh kawanan katak di persawahan. Pula di kubangan pekarangan maupun kebun-kebun se-antero pedusunan. Gemerisik bunyinya mirip pergelaran musik rock. Hewan dua alam itu tak ubahnya serdadu-serdadu yang baru saja memenangkan pertempuran. Berparade di habitatnya riang gembira, sembari mendendangkan mars kemenangan.
Sementara itu kala malam datang, dusun Criwikan kelihatan tenang bak bahtera terpaku mengapung di tengah lautan. Tetapi ia nampak menawan oleh kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang di persawahan sekelilingnya. Panorama indah yang kini hilang tergerus roda jaman.
Pagi, siang, sore atau senja, dan malam hari datang silih berganti. Namun ritme yang nyaris sama sebagaimana penggambaran di atas senantiasa berulang. Terkenang-kenang di langit pikiran. Kenangan yang sulit dilupkan tatkala aku mengecap masa kecil dahulu.
***
Di dusun itu pula, pada pekuburan dekat rumah nenekku, terbaring damai jasad ibundaku tercinta. Sebuah batu nisan keramik warna biru menandai letak makamnya. Beliau wafat tatkala aku masih kelas 3 Sekolah Dasar (SD), dan aku tak pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri jasadnya untuk terakhir kali. Bila mengenang itu semua, tak terasa air mata melelah di pipiku.
Sedikit saja yang aku ingat. Suatu siang ayahku yang tengah mengais rezeki dibelantara Jakarta menerima sebuah telegram dari kampung. Lantas disusulkan seorang tetangga kepada ayah di tempat kerjanya. Tiba di rumah, tidak lama berselang, beberapa tetangga mendatangi rumahku di bilangan Pasar Rumput Jakarta Selatan, menyalami ayah dengan muka sedikit tertunduk dan mengucapkan sesuatu. Tergambar kesedihan di raut wajah-wajah mereka, tidak terkecuali ayahku. Beberapa dari mereka, perempuan setengah baya teman ibu, menepuk-nepuk pundak dan membelai kepalaku.
Aku masih kecil, tidak paham dengan semua yang terjadi. Tidak banyak menunggu waktu, setelah mendapat talangan hutang dari kenalan baik ayahku, kami berdua bergegas ke stasiun kereta api Gambir. Mengejar kereta tujuan Solo, yang singgah beberapa waktu di stasiun Klaten. Ayahku hanya bilang akan mengunjungi dan menemui ibu. Sudah satu tahun lebih lamanya ia tinggalkan hiruk pikuk Jakarta. Ingatan melintas, yang aku tahu ibuku tengah titirah di dusun sembari berusaha mengobati penyakit kanker payudara yang dideritanya
Menjelang Subuh, kereta tiba di Klaten. Pulang ke rumah kami menumpang becak. Menyusuri jalan-jalan kota dan pedesaan Klaten yang masih lengang. Sesekali kendaraan bermotor melintas dari arah depan maupun belakang. Becak yang kami tumpangi melaju agak kencang. Kadang berkejar-kejaran dengan pedagang pasar yang mengayuh sepeda dengan keranjang bambu dan muatan dagangan tersusun rapi di dalamnya. Pula, beberapa kali kami menyalib gerobak penuh muatan hasil panenan sawah atau palawija yang ditarik oleh dua ekor sapi. Orang Jawa menamakannya gerobak sapi, yang pada saat kini fenomena itu sudah susah ditemui.
Tiba di rumah hari sudah terang, matahari perlahan naik sepenggalan, menyinari bumi sembari tersenyum. Namun tidak dengan suasana di rumah kami ayng murung. Bulikku yang selama ini merawat dengan telaten ibu menangis histeris. Beberapa kerabat lain ikut sesunggukan. Namun demikian, ayahku tegar menghadapi kenyataan yang terjadi. Sementara diriku, hanya terbengong-bengong dengan tangan digenggam erat kakak, disaksikan adik yang baru saja terbangun dari tidur. Dari tiga bersaudara sekandung, hanya diriku yang ikut ayah di Jakarta tatkala ibu tetirah proses menyembuhkan penyakit yang dideritanya di kampung.
Anehnya aku tidak menangis saat itu, walau adik perempuanku yang masih balita, dengan terbata-bata ia mengatakan kemarin mengantar kepergian ibu di pusara. Terus terang, saat itu aku masih belum mengerti akan arti pergi untuk tidak kembali. Kalaulah boleh meratapi, letak persoalannya bukan pada kepergian ibuku. Akan tetapi, mengapa aku tidak berkesempatan melihat paras sejuk ibu untuk terakhir kali?
Barulah siang harinya, dengan ditemani bulik (adik perempuan ayah), paklik (adik laki-laki ayah) dan pakde (kakak laki-laki ayah) kami mengunjungi pusara almarhumah ibu. Di depan gundukan tanah yang agak basah bermantel taburan bunga mawar memerah, kami berdoa.
Inilah yang dikatakan ayah sewaktu kemarin di dalam gerbong kereta api. Mengunjungi dan menemui ibu. Akan tetapi, yang kukunjungi dan kutemui bukan sosok fisik ibu yang pernah mendekapku hangat sewaktu dalam buaian. Bukan pula kukunjungi dan kutemui semangat pantang menyerah pada badan yang semakin melemah di akhir sisa hidupnya. Aku kunjungi dan temui pusaranya masih segar di hadapanku. Setelah lebih setahun tidak bertemu.
Sedikit cerita tentang penyakit ibuku. Ketika pertama kali terdeteksi sakit kanker, dengan adanya benjolan kecil di payudara kirinya, ibuku saat itu takut operasi. Beliau hanya selang-seling berobat jalan ke dokter dan pengobatan alternatif. Tak kunjung sembuh, lama kelamaan akhirnya sel kanker itu merembet ke bagian-bagian tubuh lainnya. Akhirnya, saat semuanya sudah terlambat, ibu baru mau dioperasi. Opname beberapa saat dan operasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tak perlu aku ceritakan detail soal penyakitnya. Yang jelas setelah operasi di RSCM, beliau memohon pada ayah pulang ke Klaten. Untuk tetirah sembari mencari alternatif pengobatan di sana. Kata ayah, ibu bersama adik bungsu perempuanku cukup senang tinggal di dusun. Udara di kampung sangat sejuk. Banyak sanak-saudara di sana, dan ada yang setiap saat merawatnya. Beliau juga ingin bisa lebih dekat dengan kakak sulungku (saat itu kelas 1 SMP) yang sedari kecil dirawat bulik dan berpisah lama dengannya.
***
Setelah lebih 30 tahun berlalu, aku mencoba mengingat-ingat sosok ibu yang kukenal dulu. Mulai dari ciri-ciri fisik dan juga sekelumit latar belakang keluarganya.
Perawakannya tinggi semampai (sementara tinggi ayahku sebahu beliau). Berambut lurus panjang –yang kemudian rontok semua saat penyakit kanker menggerogotinya. Berkulit kuning langsat. Dengan ciri khas mata sipit seperti bentuk mata yang kumiliki.
Beliau perempuan Jawa yang lahir dan menghabiskan keriangan masa kecil di Gunung Kidul Yogya. Berasal dari keluarga petani sederhana. Saat remaja, bersama beberapa saudara kandungnya hijrah dan mengadu nasib di kota Yogyakarta. Beberapa dari bulik dan pakde saudara kandung ibu itu berprofesi sebagai pedagang sedari masih muda.
Lingkungan semacam itulah, yang membuat ibu setelah menikah dengan ayah, menjadi pribadi yang tidak bisa tinggal diam. Yang hanya berpangku tangan di rumah saja. Kala ayahku membanting tulang bekerja sebagai seorang karyawan instansi swasta dengan gaji pas-pasan, beliau membuka usaha kecil-kecilan. Membuat kolak dan beberapa jajanan khas Jawa seperti wajik dan jadah, dan hanya dijajakan di atas sebuah meja tidak seberapa besarnya dekat rumah. Namun, pelanggan kolak dan jajanan ibuku cukup banyak.
Dengan tabungan hasil usahanya itu, suatu ketika aku pernah diajak pulang ke Yogya dan Klaten naik kereta api. Ada momen kecil dan indah untuk dikenang saat bepergian dengan ibu pada sebuah rangkaian gerbong kereta api. Saat ia membuka bekal perjalanan, dikeluarkannya beberapa butir telur asin yang dibawanya. Bukan untuk dimakan kami saja, namun untuk dibagikan kepada beberapa penumpang sebelahya.
Berbagi kebahagian pada sesama, barangkali suatu sifat yang patut aku teladani dari sosok ibuku. Kelak bertahun kemudian, aku dengar cerita menawan tentang ibu dari bebarapa sepupu, kerabat dan tetanggaku di Jogya dan Klaten. Walau bukan dari keluarga mampu, setiap pulang kampung, kata mereka, ibu acap menyelipkan lembaran-lembaran uang kertas satu ringgit (Rp 2,5) kepada mereka sembari berkata ramah dan menyunggingkan senyum. Bukan soal sedikit atau banyaknya yang diterima, namun mereka melihat ada ketulusan di balik pemberian itu. Terus terang aku bangga mendengar cerita tentang kemurahan ibuku itu.
Tiga puluh tahun lebih telah berlalu, aku titip rindu buat ibuku. Ingin rasanya aku bertemu, sekalipun itu hanya dalam mimpi. Aku ingin bersimpuh di pangkuanmu, sembari memohon maaf dan berterima kasih kepadamu. Ingin pula aku kecup kening dan sentuh jari-jemari tangan halusmu… Walau hanya mengenal sosoknya tak terlalu lama, ada suri teladan yang ditinggalkannya. Dan menjadi warisan tak ternilai harganya. Membekas di lubuk hati.
Warisan tak ternilai harganya dari ibuku bukan muncul dari kata-kata yang terucap. Namun dari bahasa tubuh dan tindakan nyata yang pernah aku saksikan dari sejengkal kenangan bersamanya. Ia seakan-akan lirih berucap, “Anakku, dalam hidup di dunia yang sebentar ini, dalam keadaan apapun engkau harus berbagi kebahagiaan pada sesama. Engkau wajib peduli pada lingkungan sekelilingmu. Apa saja sesuatu kelebihan pada dirimu, bagikanlah untuk orang lain. Terlebih bagi membutuhkan. Jika engkau memiliki rezeki banyak atau sedikit, janganlah pelit berbagi. Pun ilmu yang engkau dapatkan, tularkan pada yang lain. Dan janganlah engkau mengharapkan datang balasan dari sikap pedulimu itu. Tuhan tidak pernah tidur, dan engkau akan dapat balasan setimpal dari-Nya tanpa engkau mengetahui apa, bilamana dan bagaimana semuanya itu datang.”
*****