Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perkosaan Sebagai Kejahatan Kemanusiaan dan Ketidakadilan Negara Terhadap Korban

31 Januari 2014   21:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 1014 0
Semakin seringnya berita-berita tentang pemerkosaan terhadap perempuan di Indonesia, membuat negeri ini seolah tempat yang tidak nyaman dan mengancam bagi kaum perempuan, sebagai seorng manusia dan warga Negara. Bagaimana tidak jika kasus yang tergolong kejahatan kemanusiaan ini, yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak di negeri ini, justru semakin bertambah sering dan situasi ini tergolong semakin mengerikan bagi kaum perempuan Indonesia untuk hidup di tanah airnya sendiri. Perasaan aman dan tidak terancam dalam menjalani kehidupan sehari-hari seolah lenyap karena kejahatan kemanusiaan ini seolah selalu mengintai.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan pemerkosaan sebagai penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda -bahkan jika dangkal- dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik. Sedangkan Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai invasi fisik berwatak seksual yang dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif.

Sedangkan definisi perkosaan dalam pasal 285 KUHP dirumuskan sebagai tindakan “… dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia…”. Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain: dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; memaksa perempuan yang bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Tentu saja, dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.

Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau memasukkan benda-benda lain ke vagina), bagaimana jika perkosaan tersebut terjadi terhadap istri (marital rape) atau bagaimana jika korban perkosaan itu adalah laki-laki? Ini tidak terjawab dalam pasal 285 KUHP tersebut. Jika para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap menggunakan hukum positif dan logika formal (pasal 285 KUHP) secara an sich dalam kasus-kasus perkosaan, maka kemungkinan akan banyak kasus perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur pasal 285 KUHP.

Jika kita mengacu pada Pasal 285 KUHP, ancaman hukuman untuk pelaku pemerkosaan adalah ancaman penjara paling lama 12 tahun. Namun, dalam praktiknya, jarang ada putusan yang dijatuhkan maksimal. Paling berkisar dalam hitungan bulan saja. Melihat akibat buruk dari pemerkosaan terutama terhadap korbannya, masalah pemerkosaan bukanlah sekadar perbuatan melanggar hukum, namun haruslah dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena pemerkosaan menghancurkan harkat, martabat, dan kehormatan wanita.

Dari sisi perlindungan hak asasi manusia, pemerkosaan bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang keras (gross human right violation), yang menyerang kepentingan diri pribadi, kehormatan, martabat, dan hak milik seseorang. Maka dari itu, sanksi berupa hukuman harus diubah, dari hukuman penjara 10 tahun hingga 15 tahun yang tertuang dalam UU No 23/2002, harus menjadi hukuman penjara yang lebih berat yakni minimal 20 tahun dan maksimal hukuman penjara seumur hidup.

Pemerkosaan merupakan tindakan pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melakukan kontak seksual terhadap manusia yang lain. Kesimpulan bahwa pemerkosaan merupakan kekhilafan pelaku yang secara spontan ingin menyalurkan nafsu berahi yang tak tertahankan atau perbuatan yang hanya dilakukan orang tidak waras atau mengalami ketidakseimbangan psikis akibat trauma masa lalu yang kelabu sangat tidak dapat diterima. Mirisnya, ini menjadi pandangan masyarakat secara umum yang memang perlu pelurusan.

Yang menyedihkan lagi bahwa sebagian besar dari kita masih menganggap pemerkosaan sebagai semata-mata perilaku seksual dengan unsur pemaksaan yang harus berakhir dengan lebam-lebam bekas aniaya, bagian tubuh yang berdarah atau bahkan kematian. Masyarakat masih berpikir bahwa pemaksaan hubungan seksual yang disebut pemerkosaan baru sah disebut pemerkosaan jika ada tindakan fisik lain yang harus terlihat jelas dan membekas.  Hal penting lain yang harus dipahami adalah bahwa sesungguhnya unsur seksual dalam pemerkosaan adalah unsur terkecil yang bila dikonversi kedalam persentasi hanya berkisar 1%, selebihnya adalah tindakan kekerasan, dominasi dan kontrol terhadap korban yang dianggap dan memang biasanya memang lebih lemah baik secara fisik, peran maupun fungsi. Jarang sekali yang paham bahwa pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan yang tak hanya dan harus meninggalkan cidera fisik, namun juga bahkan lebih parah, cidera psikis. Kita tentu bisa mengobati cidera fisik, tapi bagaimana dengan cidera psikis, juga trauma yang harus dibawa seumur hidup.

Lebih dari itu, trauma kekerasan berbasis gender dan seksual banyak disalahartikan sebagai efek yang dapat disembuhkan. Nyatanya, trauma kekerasan seksual, khususnya  dalam kejahatan pemerkosaan adalah trauma seumur hidup yang tidak dapat dihilangkan atau disembuhkan. Pemulihan hanya bisa dilakukan dengan meminimalisir dan mengelola efek-efek trauma. Luka psikis yang mempengaruhi emosi, perilaku dan sikap mental akaibat pemerkosaan memiliki efek paling panjang dibandingkan dengan efek trauma kekerasan dalam bentuk yang lain.

Terkait dengan penegakan hukum terhadap kasus perkosaan ini, masih banyak kekurangan penanganan hukum di Indonesia terhadap kasus kejahatan kemanusiaan ini. Pada umumnya, masih saja terjadi aparat hukum yang bermental korup sehingga kerapkali dengan mudah dilemahkan dengan suap dan ketidakpahaman mereka akan kejahatan kekerasan berbasis gender dan seksual. Sikap mental aparat hukum saat menangani kekerasan seksual masih sangat dipengaruhi oleh budaya Patriarki. Misalnya kebiasaan polisi melakukan konfrontasi antara pelaku dan korban. Padahal sesuai fungsinya polisi adalah yang mengumpulkan bukti, saksi, melakukan penyelidikan serta gelar perkara, dan pengadilan yang akan mengujinya.

Dalam hal penangan korban dan pelaku pasca proses pengadilan juga masih terdapat ketidakadilan yang sangat kasat mata. Misalnya, dalam menjalani hukuman akibat kejahatannya, pelaku dibina oleh Negara dalam kurun waktu tertentu sesuai keputusan berkekuatan hukum tetap. Namun korban tidak menerima hal yang sama dari Negara, padahal justru korban jelas-jelas memerlukan rehabilitasi trauma. Dalam menjalani hukuman dan proses pembinaan di dalamnya, pelaku dibiayai Negara, walaupun berada di dalam penjara. Hal yang sama tidak diberlakukan kepada korban. Korban tidak pernah dibiayai Negara untuk terapi dan konseling yang jelas-jelas dibutuhkannya untuk bisa menjalani hidup normal dengan mengurangi trauma dan tekanan psikis akibat pengalaman buruk yang dialaminya. Hal ini semakin membuktikan bahwa konsentrasi penanganan Negara terhadap kasus pemerkosaan hanya terpusat pada pelaku bukan pada korban yang juga butuh penanganan serius.

Di samping itu, media pemberitaan juga kerap merilis konten berita yang menciderai rasa keadilan bagi korban. Misalnya dengan mengungkapkan nama korban, tempat tinggal, penggiringan opini yang menyalahkan korban karena penampilan, pakaian, perilaku dan lain-lain, sampai penulisan konten erotis detail kejahatan yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Yang menyakitkan hati jika motif atas pemuatan konten dengan detail-detail yang tak pantas adalah semata bagian dari usaha menarik pembaca, pendengar atau penonton untuk kepentingan komersil media tanpa informasi berimbang dan nilai jurnalistik.

Untuk itu, dalam menyikapi  kasus perkosaan yang semakin hari semakin menunjukan indikasi yang meningkat, sudah jelas bahwa undang-undang dan perangkat hukum yang ada harus segera disesuaikan agar mampu mengakomodir perlindungan dan penanganan Negara yang adil terhadap korban. Kemudian penyesuaian terhadap penanganan kasus perkosaan oleh penegak hukum, tidak hanya tergantung bagaimana interprestasi mereka dalam membaca UU dan perangkat aturan yang ada, yang akhirnya berimplikasi kepada ringannya hukuman bagi pelaku perkosaan. Lalu, perangkat hkum tentang kasus perkosaan ini juga idealnya harus mewajibkan adanya lembaga Negara yang terus menerus melakukan advokasi terhadap korban perkosaan, untuk menghilangkan keengganan korban melaporkan kasus yang menimpanya dan melakukan penetrasi budaya kepada masyarakat agar stigma negatif terhadap korban perkosaan oleh lingkungan sosial semakin berkurang. Lalu, pendampingan terhadap korban tindak kejahatan ini juga haruslah diberikan dengan kepastian yang diakomodir oleh perangkat hukum, agar rasa malu membuka aib atau perasaan trauma ketika harus menjawab pertanyaan aparat penegak hukum yang cenderung menyudutkan bahkan menyalahkan korban, bisa diminimalisir.

Namun begitu, perbaikan dalam penanganan Negara terhadap korban perkosaan ini yang selama ini berlangsung secara tidak adil dan tidak adanya kepastian hukum terhadap lembaga Negara yang memang khusus menangani korban perkosaan dari sisi pasca kejahatan, haruslah diperjuangkan bersama-sama, baik oleh kaum perempuan sendiri, atau siapapun yang merasa punya kepentingan terhadap persoalan ini. Kesadaran akan pentingnya rasa aman, kepastian hukum dan rasa keadilan kaum perempuan untuk menjalani hidupnya sehari-hari haruslah terus dikampanyekan dengan masif, karena masa depan negeri ini, salah satunya adalah bergantung pada kaum perempuannya. Saat kaum perempuan bisa merasa aman, nyaman dan memiliki kepastian akan perlindungan dan keamanan secara sosial dan hukum, maka mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik dan pada akhirnya bisa mendorong kehidupan masyarakat lebih baik di masa depan. Maju terus Perempuan Indonesia!

*Dari berbagai sumber

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun