Sudah Sekitar 8 tahun melewatkan mudik lebaran. Suka cita mudik hari lebaran jarang saya rasakan. Entah sebagai orang yang dilahirkan di Kampung saya amat rindu merasakan silaturahmi dengan saudara-saudara, bertemu teman, sanak saudara dan handaitaulan. Kebersamaan dalam perbedaan itulah yang saya rindukan. Menahan diri untuk tidak mudik sungguh sebuah sebuah beban berat bathin. Hati memanggil-manggil namun apa daya sebagai keluarga yang baru dengan 3 anak dan kebetulan keluarga istri tinggal di Jakarta, menahan diri adalah sebuah hal wajib. Lagipula biaya mudik yang besar dan pendapatan yang habis untuk kebutuhan dasar dan mesti menabung lama untuk bisa sedikit lega jika mudik dengan uang mencukupi itu sebuah kemewahan. Tahun tahun belakangan ini saya mesti bisa membagi uang untuk mencicil rumah, membiayai semua kebutuhan keluarga hanya dengan gaji saya. Betapa susahnya mengelola gaji yang hanya sekelebatan di tangan kemudian harus dibagi-bagi untuk bisa hidup di Jakarta dengan tuntutan amat besar. Dengan 3 anak yang masih kecil-kecil, dengan biaya sekolah yang kian hari kian melambung, dengan semua kebutuhan-kebutuhan hiburan yang mesti ada, membuat kepala pusing tujuh keliling.
KEMBALI KE ARTIKEL