Yang efektif terutama untuk menggiring opini publik. Banyak orang terbius oleh argumentasi pengamat, terjebak dalam arus suara massa yang dibentuk sedemikian rupa oleh televisi. Televisi menampilkan drama, memelintir kenyataan, atau kadang menayangkan peristiwa seolah-olah sebuah kebenaran yang absolut.
Kebringasan terjadi manakala para penonton melihat slot tayangan yang menggambarkan betapa kejamnya rezim atau oraganisasi massa. segera saja opini publik akan terbentuk hingga terbawa larut dalam tayangan yang ditunjukkan televisi.
Penulis pernah membahas tentang rating televisi di kompasiana di artikel awal saat menjadi anggota baru blog kompasiana ini. Tulisan saya tidak menganalisis tajam tentang dampak dari pemeringkatan atau rating dengan tingkat ketertarikan penonton Indonesia terhadap tayangan. Tapi setidaknya penulis menyadari kadang menjadi korban dari serbuan tayangan yang hadir sepanjang hari. Melihat sebuah tayangan terutama secara visual emosi menjadi teraduk-aduk. saat melihat adegan sedih, variety show yang menampilkan drama kehidupan spontan air mata dan rasa haru kadang tak terbendung. Saat televisi mencoba mengumbar drama kehidupan rasanya ada semacam luapan emosi yang dimainkan hingga terbentuk di alam bawah sadar bahwa itu sebuah kebenaran. Padahal bisa saja tayangan itu sebuah rekayasa belaka untuk menaikkan rating televisi. Tapi jujur penulis bisa terjebak dalam arus tayangan yang mengaduk-aduk emosi.
Idealisme yang diharapkan sebagai pembentuk karakter anak bangsa yang sopan,bermartabat dan berkepribadian dari tayangan televisi rasanya sebuah kemustahilan. Bagaimanapun tayangan televisi merupakan virus yang cepat mempengaruhi alam bawah sadar manusia untuk melakukan hal-hal yang mirip dengan yang tengah hadir di depan mata. Televisi membentuk fantasi yang akhirnya akan memberi pengaruh secara psikologis meskipun secara tidak langsung.
Meskipun pengelola dan pemilik televisi tahu dampak adanya tayangan yang muncul di televisi, mau tidak mau mereka juga menutup telinga atas segala kritikan yang terlontar oleh pengamat, pemerhati atau lembaga yang mengkritisi tayangan. Mereka akan tetap menciptakan tren baru atau mengikuti tren agar televisi miliknya tetap eksis dan mampu menutup biaya produksi dengan pendapatan yang datang lewat tayangan komersial. Rating di Indonesia tetaplah dominan oleh jualan mimpi dan fantasi bombastis yang mampu mengaduk-aduk emosi  penonton Indonesia yang masih menjadikan televisi sebagai media hiburan bukan media edukasi.
Televisi yang masih memegang idealisme tentu masih harus berkutat dengan rendahnya rating dan kekurangan jumlah pemirsa karena saat menonton rata-rata penonton Indonesia tidak mau berpikir berat, mereka hanya butuh gelak spontan, menghibur diri menyaksikan kehidupan glamour para artis, gosip-gosip terkini yang bisa menjadi topik bagus saat berkumpul dengan rekan kerja atau perkumpulan arisan ibu-ibu.
Ayal bisa disaksikan mereka yang bergumul dalam dunia keartisan akan lebih cepat populer dan semacam trendsetter karena mereka menyerbu penonton secara visual dalam jangka waktu lama dan relatif sering masuk dalam ranah ingatan dan bawah sadar.
- Selama penonton belum cerdas dalam memilah tayangan-tayangan yang berkualitas dengan yang hanya bermuatan hiburan semata, televisi tetap akan hadir sebagai virus yang akan merusak- sendi-sendi kehidupan masyarakat. Anak kecil sekarang akan lebih cepat hapal lagu yang muncul di televisi daripada lagu yang diajarkan guru, Anak-anak kecil lebih mampu mengingat tokoh-tokoh sinetron daripada mengingat tokoh-tokoh penemu ilmu pengetahuan.
- Rating dalam bisnis media tetap menajdi prioritas utama karena menyangkut ketertarikan penonton terhadap sebuah tayangan dan itu bisa dijadikan tolok ukur televisi tersebut dalam merebut perhatian penonton
- Idealisme masih menjadi kendala saat penonton belum cerdas dalam memilah-milah mana tayangan berbobot dan mana tayangan yang hanya bombastis yang cuma mengumbar mimpi dan tidak mencerminkan realitas kehidupan masyarakat pada umumnya.