Di ambang subuh, detik-detik beku berbisik pelan, Â
Angin merangkak di antara jendela yang setengah terkatup, Â
Mengetuk nadi bumi dengan irama dingin, berderap pelan.
Ia---denting waktu---menjelma sesosok pejalan sunyi, Â
Membawa beban sepi di bahu yang lunglai, Â
Setiap langkahnya menggores jarum pada langit gelap, Â
Menaburkan kabut di pelupuk fajar yang belum terjaga.
Di ujung malam, bulan mengerutkan wajahnya yang pucat, Â
Seketika terpantul dalam tetesan embun di ranting rapuh, Â
Subuh menggigil dalam pelukan langit kelabu, Â
Mencari jejak matahari yang tersembunyi di balik awan.
Ketika denting itu tiba di pintu subuh, Â
Waktu tercekik oleh sepi, membeku dalam bisikan sunyi, Â
Seolah ia tahu, pagi ini bukan sekadar peralihan, Â
Tapi sebuah kisah yang terukir dalam bayang-bayang abadi.
Fajar merambat perlahan, menyeret jingga di sayap cahaya, Â
Menyelubungi denting dingin dengan selimut api lembut, Â
Namun jejaknya terukir di kaca langit, memendar dalam butiran embun, Â
Mengabarkan kepada dunia, bahwa ia pernah ada, di pintu subuh yang beku.