Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Jeritan Alam yang tercekik Beton

21 Juni 2024   11:30 Diperbarui: 21 Juni 2024   11:41 54 1
Di bawah langit biru yang meredup,
Terdengar rintihan pilu dari pepohonan,
Bayang-bayang hijau tercekik beton,
Di pulau dewata yang kini terjerat zaman.

Dulu, Bali adalah senyuman pagi,
Di bibir laut yang bersolek pasir putih,
Namun kini, di bawah naungan kapital,
Alam menangis, sunyi merintih.

Sungai-sungai yang dulunya mengalun manja,
Kini tercekik sampah dan racun peradaban,
Udara yang dulu wangi aroma cendana,
Kini bercampur asap, meracuni harapan.

Di balik pura-pura yang masih tegak berdiri,
Roh-roh leluhur menangis dalam hening,
Di tengah festival dan tarian yang sakral,
Alam sekarat, berteriak dalam diam.

Pantai-pantai yang dulu penuh tawa riang,
Kini terenggut oleh resort megah,
Keheningan hutan yang suci dan damai,
Diinjak kaki-kaki tak peduli arah.

Bali, permata Nusantara yang memudar,
Dijual murah oleh mereka yang buta,
Pada kilauan uang dan janji kosong,
Mereka lupa, akar kehidupan adalah alam.

Wahai engkau, manusia yang terbuai mimpi,
Bangunlah, dengarlah jeritan tanah ini,
Sebelum surga ini benar-benar lenyap,
Terkubur dalam beton, tak lagi abadi.

Ingatlah, Bali bukan sekadar destinasi,
Ia adalah ibu yang merawat jiwa,
Namun kini ia merintih, memohon perhatian,
Di tengah hingar-bingar, di tengah kebutaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun