Di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa CPO sebagai hasil olahan dari kelapa sawit merupakan komoditi yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, tak hanya diolah sebagai minyak goreng, CPO juga mampu berfungsi sebagai bahan bakar yang sangat ramah lingkungan, limbah padat dan cairnya dapat digunakan sebagai sumber energi listrik serta diolah menjadi pupuk organik. Sementara itu pengusaha perkebunan kelapa sawit melaluiGabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPP) Kalteng sempat mengemukakan keberatan jika para pemilik perkebunan kelapa sawit dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan Indonesia, menurut data yang mereka ajukan luas area kelapa sawit di Indonesia hanya 8 juta ha dari 99,6 juta ha luas hutan di Indonesia (data : Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 dipublikasikan pada bulan Juli 2012), tidak adil jika perkebunan kelapa sawit disebut sebagai pemicu deforestasi terbesar selama ini. Selain itu ditinjau dari produktifitas kelapa sawit tergolong paling hemat penggunaan lahannya, prosentase produktifitasnya mencapai 8-9 kali lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati lain dengan luas lahan yang sama. Kelapa sawit juga memiliki potensi sebagai tanaman reboisasi dan memiliki nilai konservasi. Kemudian dalam beberapa penelitian terbukti dalam setiap hektarnya kebun kelapa sawit mampu menyerap 36 Ton Karbondioksida, nilai yang lebih besar dibandingkan hutan tropis yang hanya mampu menyerap rata-rata 25 Ton saja setiap hektarnya.
Di sinilah dilematika perkebunan kelapa sawit muncul, menutup perkebunan kelapa sawit sangat tidak mungkin mengingat fungsi kebun kelapa sawit itu sendiri sebagai tanaman hutan dan reboisasi, penyerapan tenaga kerja yang mencapai sekitar 5 juta orang secara langsung dan produk olahannya yang memegang peranan penting dalam hidup manusia. Yang dibutuhkan adalah jalan tengah agar tidak terjadi kerusakan hutan namun kebutuhan manusia juga terpenuhi. Negara kita sebenarnya telah memiliki landasan hukum tentang pengolahan hutan, yaitu :