Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

SPO, Solusi Bagi Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

4 April 2013   17:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:44 1627 1
Masih segar dalam ingatan kala Sinarmas bersitegang dengan Greenpeace di tahun 2010. Greenpeace mengungkap fakta bahwa Sinarmas telah mengakuisisi, menghancurkan hutan alam yang menjadi habitat harimau, serta membabat lahan gambut kaya karbon dan melakukan pembakaran hutan untuk memperluas perkebunan kelapa sawitnya, seperti ditulisFinancial Times, 5 Juli 2010. Fakta yang dibeber luas di dunia internasional ini menyebabkan beberapa konsumen Sinarmas menghentikan kontrak pembelian dan sempat membuat perusahaan tersebut menurunkan kemampuan produksinya. Hal ini sangat mempengaruhi laju perusahaan Sinar Mas sebagai produsen Crude Palm Oil (CPO) terkemuka di dunia. Sebagaimana kita ketahui perkebunan kelapa sawit dituding sebagai penyumbang terbesar deforestasi seperti tertulis dalam artikel http://hutanindonesia.com , bahwa luas kawasan hutan di Jambi yang semula mencapai dua juta hektare lebih , berkurang satu juta hektare akibat alih fungsi hutan secara besar besaran dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Ironisnya, alih fungsi hutan itu lebih diakibatkan konsesi perusahaan skala besar seperti pertambangan, HTI dan perkebunan sawit maupun karet. Kasus ini mengingatkan pada peristiwa di tahun 2008 ketika masyarakat adat Papua meminta pemerintah menghentikan sementara izin pemanfaatan hutan di Papua yang saat itu menghadapi ancaman serius dari perkebunan skala besar HTI, kelapa sawit dan komoditi bio-fuel, kegiatan penebangan oleh HPH dan illegal logging serta akibat diberikannya izin untuk membabat hutan sejauh 1 km di sisi kanan kiri jalan trans Papua sepanjang 1.650 km.Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua menyatakan perusahaan HPH/HTI maupun industri sawit di Papua tidak memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat adat. Padahal dalam areal HPH/HTI dan perkebunan sawit masih ada hak masyarakat adat.

Di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa CPO sebagai hasil olahan dari kelapa sawit merupakan komoditi yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, tak hanya diolah sebagai minyak goreng, CPO juga mampu berfungsi sebagai bahan bakar yang sangat ramah lingkungan, limbah padat dan cairnya dapat digunakan sebagai sumber energi listrik serta diolah menjadi pupuk organik. Sementara itu pengusaha perkebunan kelapa sawit melaluiGabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPP) Kalteng sempat mengemukakan keberatan jika para pemilik perkebunan kelapa sawit dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan Indonesia, menurut data yang mereka ajukan luas area kelapa sawit di Indonesia hanya 8 juta ha dari 99,6 juta ha luas hutan di Indonesia (data : Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 dipublikasikan pada bulan Juli 2012), tidak adil jika perkebunan kelapa sawit disebut sebagai pemicu deforestasi terbesar selama ini. Selain itu ditinjau dari produktifitas kelapa sawit tergolong paling hemat penggunaan lahannya, prosentase produktifitasnya mencapai 8-9 kali lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati lain dengan luas lahan yang sama. Kelapa sawit juga memiliki potensi sebagai tanaman reboisasi dan memiliki nilai konservasi. Kemudian dalam beberapa penelitian terbukti dalam setiap hektarnya kebun kelapa sawit mampu menyerap 36 Ton Karbondioksida, nilai yang lebih besar dibandingkan hutan tropis yang hanya mampu menyerap rata-rata 25 Ton saja setiap hektarnya.

Di sinilah dilematika perkebunan kelapa sawit muncul, menutup perkebunan kelapa sawit sangat tidak mungkin mengingat fungsi kebun kelapa sawit itu sendiri sebagai tanaman hutan dan reboisasi, penyerapan tenaga kerja yang mencapai sekitar 5 juta orang secara langsung dan produk olahannya yang memegang peranan penting dalam hidup manusia. Yang dibutuhkan adalah jalan tengah agar tidak terjadi kerusakan hutan namun kebutuhan manusia juga terpenuhi. Negara kita sebenarnya telah memiliki landasan hukum tentang pengolahan hutan, yaitu :

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun