Bincang-bincang utowo percakapan ngalor ngidul adalah hal lumrah dan murah dilakukan seperti sebuah talkshow gaya televisi zaman sekarang—yang suka mengundang orang yang konon katanya ahli di bidangnya—yang bagi jurnalis adalah berita warung kopi: boleh diberitakan sesuka hati dan tak terlalu mendalam—dan nyatanya jadi murah untuk sebuah slot tayang yang menguntungkan.
Tak ada yang salah dengan perbincangan, begitu pula menggosip, kecuali menuju fitnah tentunya. Karena budaya lisan lebih dominan di negeri kita yang kaya dan penuh dinamika, desas-desus dan rumor adalah modal bagaimana jagongan perbincangan itu bergerak liar tak berbatas, menggelinding tiada henti, berbumbu warna warni: dari bola hingga judi bola, dari Inem sampai apem, dari Malang menjangkau Washington. Jangan heran jika para intel memasang teknologi sadap bagi petinggi negara karena intel juga hobi rumor yang berbuah dibentuknya densus: dengerin desas-desus.
Sambil jagongan rerasan, alangkah indahnya bila itu dilakukan di tempat yang nyaman, jauh dari riuh-rendah lalu-lalang, ditemani wedang yang bisa berujud kopi, teh, jahe, ronde, atau bajigur diiringi camilan gorengan, kletikan rempeyek, ataupun jadah dan nasi kucing.
Malam merambat pelan di tenggara kota Jogja. Di sebuah pelataran los kios-kios pasar Kotagede, selepas jam 9 malam, sunyi mulai terasa mengawali akhir keriuhan transaksi jual beli yang berlangsung dari pagi hingga petang. Seperti pelataran yang terbuka lebar dengan pohon-pohon ringin muda yang menaungi temaramnya suasana menjadi tempat yang tepat untuk menumpahkan rasa gelisah, lorong-lorong pasar yang sepi dan dingin pun seakan-akan menanti berita koran televisi pagi tadi untuk digunjingkan lamat-lamat malam ini.
Warung Mbah Hadi akan setia menemani rerasan dengan seduhan wedang kunir asem yang membuat lidah meluncurkan deras buih kata-kata. Warung yang menyediakan diri mengiringi malam hingga fajar menjelang ini menjadi muara bertemunya para pengelana malam. Mereka menyelaraskan penat dalam hening di atas lesehan tikar yang membujur di bawah naungan selasar toko. Toko yang menyisakan gurat arsitektur Jawa berdinding papan kayu berornamen sederhana—sesederhana hidangan yang tersaji dalam wadah aneka camilan kletikan.
Mbah Hadi, 60 tahun, setia berjualan wedang kunir asem. Bukan rasa wedangnya, tapi kesetiaannya melakoni hidup dalam rentang waktu perubahan bersama guyubnya warga Kotagede-lah— pilihan takdir yang tak bisa dielakkannya—yang mungkin membuatnya bertahan.
Kini Mbah Hadi ditemani anak dan cucunya menghidangkan kehangatan dalam segelas kunir asem. Mereka bertugas bergilir, yang dua melek dan yang satu leyeh-leyeh tidur. Jika cuaca baik, mereka bisa beruntung menangguk untung. Namun jika hujan tiba-tiba datang, selonjoran di teras toko sambil njingkrung kedinginan dengan tikar setengah basah mereka lalui sebagai sebuah suratan yang mesti diterima.
Bersetia dengan malam juga dilakoni Pak Parjo dengan gerobak angkringan di Jalan Wijilan. Warung angkringan yang baru buka lewat jam 10 malam ini menawarkan wedang sari dele tape: bubuk dele dan sejumput tape ketan diseduh air mendidih.
Warung yang telah menetap selama 34 tahun ini sedikit melenceng dari jamaknya angkringan saat ini karena tetap setia membuka dagangannya hingga hampir larut malam. Wedangnya bukan mainstream di jagad angkringan. Belum lagi dagangannya yang lain seperti jadah, pisang goreng, nasi bungkus yang dimasaknya sendiri dalam jumlah tak melimpah. Maka, jangan heran jika hanya dalam satu jam nasi bungkusnya habis tandas dan hanya menyisakan remah-remah penganan pendamping wedangan.
Mungkin ada prinsip yang dianut dan diyakininya sehingga ia tak begitu tertarik akan sabda prinsip ekonomi mutakhir: yaitu melonggarkan stok demi menambah pendapatan.Ia begitu meyakini kapasitas dagangannya yang bisa disediakannya setiap hari—bahkan tempat duduknya pun hanya dapat memuat 8–10 orang yang akan menempatinya dengan saling berdesakan.
”Maaf, dari dulu saya tidak menyediakan tikar,” jawabnya saat pengunjung yang berkesempatan ingin wedangan meminta selembar tikar karena tempat duduk terisi penuh. Maka, mereka akan rela sedikit terpaksa lesehan di trotoar.
Jika wedangan adalah perihal duduk mengudap jajanan sembari jagongan di angkringan yang terbatas kapasitasnya, benar adanya Pak Parjo mempertahankan prinsipnya—mengingat asal muasal kata angkringan adalah tempat di mana kaki boleh nangkring ditekuk dalam bangku panjang sambil menikmati jajanan malam.Penjualnya tak hanya pandai meracik wedang, tapi juga mampu mengimbangi percakapan dengan isu-isu terkini. Bahkan, ia bisa menjadi pusat sebuah obrolan: glenak-glenik nomor buntut atau konstelasi politik tingkat lokal. Tak salah jika Pak Parjo bersetia puluhan tahun demi tradisi sebuah angkringan yang mulai tak begitu dipahami para penjual angkringan saat ini. Karena mereka kebanyakan telah menjadi mesin industri—dengan juragan dan pegawai, dengan target omzet dan kuantitas dagangan—tak lagi menjadi teman ngobrol yang bijak, kawan dalam gelisah, dan pendengar yang setia.
Derap kaki kuda dan gemerincing andong terdengar lamat-lamat melintas di tengah malam, raungan sepeda motor tak lagi menderu meninggalkan amarah.Alun-alun selatan bergelimang cahaya lampu sepeda sewaan. Di Wijilan, Kotagede, dan sudut-sudut kota Jogja, air mendidih terus dituangkan, kudapan dan nasi kucing telah tandas, dan gerobak dagangan tetap setia menunggu waktu.