Balung dalam persepsi Jawa bisa berarti sodara dalam“nglumpukke balung pisah”, pun demikian dalam budaya Batak, kata tulang merujuk pada sodara sedarah, juga dalam sejarah manusia, Hawa tercipta dari tulang rusuk nabi Adam. Namun kita tak akan membicarakan tentang makrifat, karena untuk mengkaji sebuah jajanan bernama “Balung Kethek” saja kita bingung, meski paham, bahwa makanan yang terbuat dari irisan ketela pohon yang digoreng itu cukup keras digigit dan dikunyah namun gurih dan kemriuk, tapi kita tak membayangkan kekerasaannya dengan padanan tulang monyet(kethek=Jawa). Adakah sebagian pembaca yang pernah merasakan tulang monyet goreng?
Balung dalam persepsi makanan adalah sisa dari gumpalan daging yang melekat pada tulang namun jika menyebut balungan akan sedikit berbeda, apalagi dimasak dengan bumbu yang tepat, niscaya bukan horror yang terlihat tapi nikmat yang didapat.
Soal harga tak terlalu mahal, seporsi dalam kisaran harga dua puluh ribu termasuk nasi dan minumnya, yang jadi mahal adalah kesempatan untuk berkunjung ke sana, berjarak 25 kilometer dari kota Jogja ke arah selatan melewati jalan Bantul hingga perempatan Palbapang ke kanan, arah ke bandara baru yang akan segera dibangun. Cuma ada satu hal lagi yang tak kalah penting, yaitu keberuntungan, karena saat anda sudah berpayah ke sana di siang hari ternyata balungannya sudah ludes terjual, maka bersiasatlah dengan menelponnya lebih dulu agar semangat tak padam sesampai di tujuan.
Di bawah peneduh toko besi dan las warung Si Bisu menggelar dagangan, berbagi ruang bagi pemilik lahan, berbagi rejeki bagi pedagang malam, alangkah indahnya simbiosis ini terangkai, dan Si Bisu, sang pelayan yang tuna wicara ini selalu memanjat syukur, karena kerja tak banyak bicaralah kini yang memang dibutuhkan bangsa ini.
sumonggo disimak juga di www.jajanjogja.com