Air mataku tak mampu terbendung, bulir bulir air mata masih terus menetes membasahi kedua pipi.  Lama  aku terpekur, sembari menatap pintu rumah Sabda, kakak lelakiku satu satunya.  Pintu itu tampak tertutup rapat, seolah mengisyaratkan Sabda tak ingin diganggu oleh siapa siapa.  Setiap aku menghadapi persoalah hidup, tak ada tempat lain untuk bersandar dan mengadukan segala permasalahan kecuali padanya.  Kerabat satu satunya yang aku miliki semenjak kepergian kedua orang tua.  Aku hanya mampu terisak pelan dan  tak memiliki keberanian lebih untuk mengetuk pintu.Â
KEMBALI KE ARTIKEL