Kehadiran Denmunir di pantai Kuta malam ini telah menenggelamkan mata hatinya dalam selimut kabut tebal hingga menuju jalan terjal yang berbeda dari indahnya kata yang pernah ia ucap. “Kenapa aku kenal dia?” sesalnya dalam hati. Ya – Denmunir telah menyimpang dan memulai suatu petualangan yang pada dasarnya ia sendiri pernah mengucap sumpah serapah atas perbuatan itu yang dilakukan oleh orang lain. Tubuh Denmunir yang biasanya terbalut warna putih karena selalu disirami beningnya air surgawi dan hanya tersentuh oleh bidadari surga dari kekasih halal sejati, tanpa sadar malam itu ia membiarkan sesosok raga kelam bertahta kunang-kunang malam meraba ke permukaan birahinya. Padahal ia baru saja berkenalan. Canda dan sentilan yang menggoda dan tanpa sadar ia lakukan telah membawa dirinya dan sang dara ke pangkalan hubungan terlarang. Apa lacur. Dermaga telah membentang. Layar telah dikembangkan. Ia telah berlabuh. Dan kini siap untuk mengayuh jauh. Tiang pancang telah ditegakkan. Dan nakhodapun sudah bersiap melepaskan tambatan. Denmunir benar-benar terlena dalam samudra durjana. Kini ia hendak kembali ke Jakarta tapi bayangan sang dara tak bisa berpisah dari tarian matanya. Setiap sudut ruang yang ia pandang, ada bayangan sang dara. “Apakah aku telah jatuh cinta?” tanyanya pada hatinya dengan heran. “Ah, tak mungkin, wanita itu tak lebih dari sosok bayaran”, fikirnya lagi. “Akupun berkenalan di tempat yang tidak semestinya” lanjutnya lagi menggurui dirinya sendiri. Padahal jika ia jujur, Denmunir sebenarnya hanya mengingat permainan nakalnya saja. Dasar!!!