"Likuran" merupakan kosakata atau istilah dalam bahasa Jawa, namun pada gilirannya kata serapan ini sering dipakai oleh komunitas suku sunda.
Likuran atau lilikuran, mengacu pada satu istilah kata yang digunakan pada angka 20-an. Penggunaannya pada bilangan 21,22, 23 dan seterusnya yang dibaca selikur, rong likur, telung likur.
Namun akhirnya pengistilahan ini menjadi lebih sering digunakan sebagai pengingat sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Hal itu ditandai saat puasa Ramadan menginjak malam ke 21(selikur), berkaitan erat dengan dogma Islam. Bahwa sepuluh hari terakhir terutama di tanggal-tanggal ganjil, adalah malam lailatul qadar.
Lailatul Qadar
Lailatul qadar (malam ukuran), menurut keyakinan orang-orang Islam adalah malam yang jika kita mendapatinya maka pahala yang diraih seolah-olah kita beribadah seribu bulan.
Seribu bulan sama dengan 83 tahun kurang lebih, adakah manusia yang sanggup beribadah secara konsisten selama itu.
Jika kita sebentar menghitung jumlah umur seorang manusia,rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia di kisaran 73 tahun menurut data Badan Pusat Statistik 2022.
Dengan kisaran usia tersebut, secara fisik sudah renta. Dalam beberapa gerakan yang melibatkan gerak fisik tentu akan sangat terbatas kecuali beberapa orang saja yang rutin melatih fisiknya. Dan sudah barang tentu ibadah pun sudah tidak maksimal lagi.
Jika kita ambil batas usia 60 tahun saja, fisik seseorang masih bisa dibilang normal. Apakah rentang waktu dari mulai dia balig (17tahunan) sampai usia 60 tahun itu dia mampu ibadah secara maksimal. Tentu dalam waktu selama itu pasti ada bengkok-bengkoknya.
Usia remaja sedikit banyaknya pasti mengalami masa-masa futur(malas-malasan dalam beribadah). Dalam rentang waktu 40 tahunan dari balig sampai dengan usia 60 tahun yang dianggap masih memiliki fisik yang kuat belum tentu maksimal dalam ibadah.
Secara manusiawi itu bisa saja terjadi. Rasa malas, sakitdan sebagainya yang dapat memengaruhi kualitas ibadah.
Hanya dengan semalam saja kualitas ibadah bisa terpenuhi seukuran ibadah 83 tahun.
Tradisi LikuranÂ
Memasuki sepuluh hari terakhir merupakan hari-hari yang sakral bagi umat Islam di mana baginda Rasul Saw. sangat mengintensifkan ibadah beliau. Dan menganjurkan umat Islam untuk menghidupkan malam-malamnya dengan serangkaian ibadah.
Anjuran Rasul pun disambut oleh kaum muslimin dengan semangat, di antaranya bersedekah dengan memberi makanan orang-orang yang telah melaksanakan salat tarawih maupun tadarusan.
Biasanya malam-malam ganjil adalah waktu yang dianggap tepat oleh kaum muslimin untuk bersedekah makanan.
Di malam ke 21 biasanya makanan yang disajikan seperti nasi kuning yang dibungkus daun pisang, malam ke 23 biasanya lontong dan lauknya. Selang-seling setiap malam-malam ganjil sampai puncaknya malam takbiran, biasanya kaum muslimin menggelar makan tumpeng bersama, menandai kebahagiaan mereka mengakhiri puasa Ramadan.
Antara Tradisi dan Dogma
Tradisi baik tentu diakomodir oleh Islam, dan tradisi itu dalam istilah fikih Islam disebut dengan makruf.
Makruf adalah kebiasaan baik di tengah masyarakat danmenjadi tradisi turun temurun. Seperti saling memberi makanan, saling tolong-menolong atau apa pun semisalnya.
Antara dogma agama dan tradisi tidak perlu dibentur-benturkan, sederhananya yang baik ambil, yang buruk tinggalkan.
Seperti tradisi lilikuran ini merupakan tradisi yang sangat baik, memberi makanan bagi orang yang telah beribadah kategori ibadah juga.
Namun sayangnya tradisi ini di sebagian tempat sudah mulai pudar bersama dengan beralihnya generasi.
Sejatinya memelihara budaya/tradisi yang baik adalah keharusan bagi generasi muda, agar dogma agama lebih cepat diterima oleh masyarakat tanpa harus ribut bertengkar tentang halal-haramnya suatu peristiwa.
Keberkahan Ramadan hendaknya tetap dirasakan oleh semuawarga tanpa memilih dan memilah siapa yang sepemahaman dengan kita.
Tradisi likuran dengan menyedekahkan makanan merupakan kebiasaan baik yang harus tetap dilestarikan, kerukunan warga tercipta karena adanya kesamaan rasa bukan perbedaan pandangan.
Â
Â
Â