Setelah Tanti Restiasih atau Inge Hanum pergi meninggalkan rumah kompasiana, satu lagi sahabatku pergi. Entahlah akan pergi selamanya atau untuk sementara.
Hari ini, Senin (27/09) saya membuka-buka tulisan lama karena ada komentar masuk, tidak sengaja saya temukan foto Jimmo yang tanpa gambar. Saya penasaran dan saya masuk ke halaman profil Jimmo. Tapi ternyata tidak ada jejak-jejak (arsip tulisan) Jimmo, semua arsip tulisannya menghilang. komentar terakhir tertanggal 21 September 2010. Berarti Jimmo belum lama meninggalkan jejak. Akankah Om Jimmo pergi? Entahlah!!
Karena penasaran, saya cari difesbuk, alhamdulilah akhirnya ketemu juga dengan nickname Jimmo Douglas Morrison. Di dindingnya saya gak bisa menyapa karena ternyata tidak ada akses kesana. Saya tinggalkan pesan ke boxmailnya. Sekedar ingin mengetahui kenapa menginggalkan kompasiana?
Jimmo adalah sahabat di Kompasiana, kedekatan dikompasiana berlanjut kefesbuk. Walaupun belum pernah kopdar dan bertemu dengan Jimmo tapi saya merasakan kehangatannya, dari mulai Negeri Ngotjoleria kemudian saya baca postingan-psostingannya. Bersahabat dengan Jimmo cukup mengesankan, karena tanpa harus bertemu hati ini terasa dekat. Bagi teman kompasianer yang sering kopdar dengan Jimmo barangkali tahu karakternya yang sosialis. Ia memiliki jiwa social yang cukup tinggi. Kalo gak salah terakhir melakukan bakti social dengan teman-teman kompasianer. Kedekatan inilah yang menggugah saya untuk mencari tahu kemana Jimmo pergi. Atau barangkali menyepi untuk sementara. Saya tidak ingin menduga-duga kemana dan kenapa Jimmo meninggalkan rumah ini. Tapi saya temukan catatannya di blognya yang lain.
Melalui link fesbuknya saya menemukan catatannya di blog, terakhir tertanggal; 27 september, senin hari ini. Berikut catatannya;
Ah, ketika senja itu untuk kaum mapan, dan angina menolak untuk sekedar memberi segelas limun
Kau berjalan, menembuk riak-riak tawa dalam lagu balad lama
Aku tau apa yang akan kau perbuat
Kau akan membaca puisi usang dari note kumal untuk sekumpulan kaum mapan
Begini saja kubelikan kau segelas soda dingin untuk menghilangkan muakmu
Atau paling tidak kuajak kau nonton film lama di gedung tua hampir ambruk
Tak perlu kau berkata cukup ikuti
Pada sebuah awal
Saat kau mengerti dan tidak sama sekali
Pada sebuah metamor palsu antara melayang tenang dengan melayang kesengajaan
Bisik lirih bibirmu dalam senja yang tak tercipta untuk kita
“aku ingin melayang”
Di tanggal yang lain, saya menemukan catatan ini;
manusia adalah mahluk yang mempunyai imajinasi yang sangat tinggi, meletup melebihi langit. manusia juga mempunyai keinginan untuk membentuk sebuah karya. begitu juga manusia rapuh dengan ke gagalan dan penolakan.
tapi penolakan sebuah takdir bukan suatu kekalahan atau suatu keburukan, tapi adalah sebuah fase yang sangat penting saat menjadi mahluk bernama manusia. pentingnya tolak ukur dari sebuah kegagalan adalah menjadi sesuatu yang sangat berharga melewati sejatinya manusia.
dan tau kah? hari ini saya menuai kegagalan yang entah berapa kali. tapi ini bukan kekalahan yang harus saya tangisi.