Seperti halnya makan (sepakat dengan teh Mariska), Sex adalah kebutuhan fisik. Ia tidak bisa ditunda-tunda untuk kemudian segera menuntaskannya. Seperti ketika kita lapar maka dorongan kebutuhannya adalah lapar. Bisa-bisa sakit bila kita tidak makan sampai seharian apalagi yang punya penyakit maag, sakitnya bisa tambah Parah. Bahkan beberapa dokter mengatakan beberapa penyakit lambung diakibatkan oleh telatnya makan seperti maag tadi, atau penyakit yang biasa kitasebut typus. Oleh karena itu jangan pernah menunda-nunda Makan jika kita lapar! kecuali kita sedang berpuasa.
Sama halnya dengan makan, kebutuhan sex pun demikian. Jika kebutuhan sex tidak terpenuhi bisa membahayakan tubuh kita, salah satu yang saya alami adalah tidak konsentrasi saat membaca dan tentu saja kalo kata orang sunda kita menjadi KGP (Konak Teu Pararuguh), seperti halnya sedang Sakau. Salah satu solusi yang sering kali dianjurkan oleh Pakar Sex adalah dengan mencari kegiatan positif dan untuk sebagian yang lain, seperti pakar agama menganjurkan berpuasa untuk meminimalisir meluapnya libido.
Namun tentu Sex seperti halnya makan, tidak bisa mencari pelarian atas masalah tersebut, biarpun sudah mencari kegiatan positif tetep saja tidak bisa dilupakan atau ditekan begitu saja, sehingga kegiatan positif atau berpuasa tidak menjadi solusi jitu. Bahkan hampir 80-90 persen pria dan wanita pernah melakukan masturbasi untukmelampiaskan kebutuhan seksualnya. Sebagian yang lain barangkali ‘jajan’ untuk menyalurkannya. Seorang lelaki dan tentu saja wanita pun sama, rela melakukan perselingkuhan demi memenuhi kebutuhan seksualnya. Menjamurnya PSK dan juga populernya Gigolo membuktikan kepada kita bahwa kebutuhan sex adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Seperti halnya Restoran/ rumah makan, mereka pun sama menjual kebutuhan biologis para konsumen yang membutuhkan layanannya.
Bagi siapapun yang melewati remaja, pasti sangat popular istilah Onani/ masturbasi. Kenapa begitu popular? Karena hampir setiap remaja khususnya laki-laki barangkali pernah merasakannya. Untuk menyalurkan hasratnya yang terpendam adalah dengan melakukan Onani atau masturbasi.
Namun tentu saja tidak hanya dalam dunia seks kita mengenal Istilah Masturbasi ini. Dalam dunia akademis pun kita mengenal istilah ini. Khususnya istilah ini seringkali dialamatkan kepada seorang pengajar yang melulu berceramah tanpa memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk bertanya atau menanggapi apa yang disampaikan oleh sang Dosen tersebut. Bagi saya dan tentu ini adalah panggilan yang cukup akrab diantara para mahasiswa jika menemukan pengajar yang seringkali tidak memberikan kesempatan tersebut dengan ‘OI’ atau kependekan dari ‘Onani Intelektual’/ masturbasi intelektual. Padahal tentu saja mahasiswa pun memiliki hasrat yang sama untuk melakukan hal yang sama dengan Sang Dosen. Yaitu memuntahkan segala pengetahuannya, apakah itu untuk mengkritik, menyatakan setuju atau sekedar menanggapi atau berpendapat. Jika saja sang Dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk sekedar bertanya atau menanggapi tentu sudah terjadi ‘persenggamaan intelektual’ sehingga melahirkan thesis baru dari ceramah tersebut. Thesis baru itu bisa jadi semacam anak dari persenggamaan sesungguhnya.
Cerita tentang dosen ‘OI’ juga barangkali terjadi pada kita atau kompasianer, baik sekarang yang mahasiswa atau dulu ketika menjadi mahasiswa. Sehingga kita pun tidak bisa menyalurkan hasrat intelektualitas kita walaupun alakadarnya. Sebagai pelariannya, tentu saja untuk sebagian yang lain dengan menulis, baik berupa artikel atau sekedar curhat. Sebagian yang lainnya dengan berdemo/ aksi demi menuntaskan hasratnya.
Begitupun saya, tidak sedikit dosen ‘OI’ yang saya temui di kelas, atau bila pun ada yang cukup dialogis, tetapi tidak cukup memuaskan sehingga melampiaskannya dengan menulis di Blog, namun karena blog terdapat sedikit masalah bagi saya sehingga komunikasi dialogis (senggama) dengan pemikiran sederhana/ cerita/ curhat dengan pengunjungnya tidak terjadi karena gangguan fasilitas komentarnya. Sehingga menulis diblog pun sama halnya dengan melakukan Onani yang tidak pernah menuntaskan hasrat bersenggama dengan pemikiran orang-orang yang mengunjungi blog kita. Bila pun ada hanya melalui chatbox yang sesekali orang menyentuhnya. Tentu saja hal ini menambah libido untuk berinteraksi semakin membuncah.
Namun sejak bergabung dengan Kompasiana, Onani itu sedikit demi sedikit telah saya tinggalkan, karena Onani ternyata membuat saya merasa kosong dan sendirian, walaupun masih juga dilakukan untuk tujuan mengasah, namun per’senggamaan’ dengan pemikiran yang beragam sungguh telah memuaskan saya, terlebih bertemu dengan berbagai macam latar belakang, dari mulai pekerjaan, pendidikan, budaya, sudut pandang pemikiran, sehingga per’senggamaan’ ini menjadi begitu dinamis dan tidak membosankan.
Namun seperti halnya kebutuhan makan dan seksual, kepuasan ini tidak hanya cukup sampai disini, untuk kemudian saya membutuhkan kepuasan-kepuasan selanjutnya. Saya berharap, kepuasan-kepuasan selanjutnya dapat lebih mencerahkan dan lebih mendinamisasikan silaturahmi pikir ini di Kompasiana.
Hasil ‘Persenggamaan-persenggamaan’ telah menghasilkan ‘anak’ dan siapa tau juga dengan kita, seperti halnya persenggamaan yang dilakukan oleh Pak Prayitno yang menghasilkan ‘anak’ bernama Intelijen Bertawwaf dan Pak Chapy Hakim dengan ‘Cat Rambut Orang Yahudi’, siapa tahu kita juga.
Saya puas ‘Bersenggama’, Anda?
Gambar diambil dari www.reportasesolo.blogspot.com