Di dalam itu manusia membuat tujuan. Di dalam itu manusia berjuang. Untuk apa sebenarnya? Masing-masing akan berbeda. Bergantung dengan tiap-tiap pengalaman dan kadar pengetahuannya. Ada yang semata membela keluarganya. Ada yang berjalan di atas idealismenya. Ada yang terharu, prihatin, lantas mengabdi pada masyarakat serta bangsanya. Ada yang meramu ketiganya. Dan ada pula yang terombang-ambing bagai daun kering dalam angin.
Pada awalnya, seluruh tujuan adalah mulia. Pada tingkat realistisnya, kita semua sebenarnya ingin memberi makna pada kehidupan yang fana. Ada yang menjadi dokter, pejabat, petani, buruh, penulis, musisi, tukang becak, pedagang, sosiolog, arkeolog, dan berbagai-bagai profesi yang lain. Di mata Tuhan, manusia dalam segala kedudukannya adalah sama.
Namun mekanisme hidup tidaklah demikian. Ia dinamis dan mengandung persaingan. Dinamika dan persaingan sebenarnya adalah fitrah. Dari situlah bergulir perubahan demi perubahan. Dan juga, dari situ pula tujuan yang semula mulia menjadi melenceng dan ternoda. Ketamakan manusia yang licin dan halus dengan canggih bisa menelikung siapa saja.
Kita semua, mengaku atau tidak, bergumul dengan tabiat yang tamak dalam masing-masing kadarnya. Normal jika orang tak mau begitu saja tersingkir dan menjadi sampah yang diabaikan. Dan naluriah jika seseorang lantas mengibarkan panji-panji martabatnya. Semua ingin bahagia.
Tetapi sungguh gegap-gempita dan gemuruh kehormatan adalah hal yang menyilaukan benar. Ia gampang mengguncang iman. Ia memprodusir kegelisahan dan menggamit pelarian. Banyak tokoh-tokoh keren menjadi inspirasi hidup siapa saja. Tokoh kaya, tokoh tersohor, tokoh flamboyan, tokoh eksentrik, tokoh kontroversial, tokoh petualang, secara diam-diam merembes dalam pribadi kita. Tentu tak keliru. Tapi parahnya, yang merembes justru bombastisnya dan bukan esensi baiknya. Maka robeklah realitas wajah kita yang sesungguhnya.
Syahdan, kiblat manusia yang awalnya sederhana menjadi runyam. Skala prioritas menjadi berantakan. Kehormatan bisa saja menjadi si tuan. Dianggap jalan sakral yang disucikan, dan bukan dampak yang wajar suatu pengurbanan. Ia bahkan ditempuh dengan sadar akal-akalan pencitraan. Kepemimpinan pun demikian. Yang semula adalah panggilan pengabdian, teredusir menjadi lahan incaran yang diperebutkan. Segala yang artifisial sudah sedemikian lazim menjadi niatan. Manipulasi menjadi strategi.
Sampai di sini, manusia tak lagi sama kedudukannya karena telah makan memakan dan unggul-mengungguli di antara mereka. Ada perseteruan sesama karyawan. Perseteruan sesama penyair. Perseteruan sesama pejabat. Perseteruan sesama cendekia. Perseteruan sesama kyai. Bahkan perseteruan sesama gelandangan. Dunia menjadi begitu amis dan keji. Kedamaian seolah-olah bernilai banci.
Ya, bahwa ketamakan telah menggencet pengabdian. Ia pun menyikat kesederhanaan dan kewajaran. Ia menendang hakikat tujuan. Menjadikan dunia laksana surga yang abadi. Menjadikan hukum rimba buat meraihnya.
Padahal awalnya kita semua tidak ada. Kita menjadi ada karena pertemuan dua kutub kesunyian yang bersenyawa. Lalu, kita menjadi segumpal darah yang terus tumbuh hingga ditiup ruh. Dan kitapun lahir. Mengenal dunia. Kita saling berlaga. Berjudi satu dan lainnya. Sebelum pada akhirnya mati.
Yogya, 25 Nov 13