Ada banyak orang memaknai hidup begitu dangkalnya, mengibaratkan seperti makan dan minum. Apa yang dimakan, diminum, biarlah perut yang akan mencerna nya sesuka hati, toh akan keluar juga sebagai kotoran. Hidup seperti itu adalah hidup yang tak layak dijalani, karena tak direnungi. Bukankah dalam proses pencernaan, ada sebagian gizi makanan yang terserap menjadi otot, darah, dan tulang yang sangat dibutuhkan badan kita. Hidup bukan persoalan menghabiskan waktu dengan makan-minum, bernapas, atau beraktifitas selama 50 atau 60 tahun. Bukan soal seberapa lama kita hidup dari sejak lahir hingga wafat. Bukan itu, bahkan sama sekali bukan. Yang terpenting justru bagaimana nilai hidup yang kita bawa selama menjalani ‘masa pinjam’ umur itu. Hidup 50-60 tahun itu teramat singkat, tanyakan kepada orang-orang tua kini, betapa cepatnya waktu berlalu dari kanak-kanak hingga menua. Kita adalah negara dengan label bangsa yang teramat religius. Undang-undang negara ini meng-haram-kan penduduknya untuk tidak beragama. Sekali anda tak punya agama, maka anda dianggap melanggar hukum! Apa dasar diturunkannya agama oleh Tuhan? Bukan ritual ibadah secara rutin yang dijalani, tapi
akhlak. Tuhan mengutus nabi nya untuk menyempurnakan akhlak di tengah masyarakat yang cacat moral, cacat etika. Akhlak yang baik, dianggap sebagai solusi praktis sekaligus strategis untuk mencapai tujuan hidup di dunia: kebahagiaan. Lain tidak. Bukan kekayaan, bukan gelar akademik, bukan semua hal materiil itu. Tapi Akhlak! Apa implementasi praktis akhlak dalam masyarakat? Sangat singkat: Kejujuran. Sejak mula kita diasup dalam ratusan buku ajar bahwa: Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja. Bukan emas, bukan rupiah atau dollar. Di mana sistem kemasyarakatan dibangun, maka kita akan mendapati bahwa pondasi awalnya adalah kepercayaan. Kepercayaan tentu lahir dari rahim kejujuran, bahwa kita saling percaya karena kita mengharap ada kejujuran yang menyelimutinya.
Tapi sejak mula juga kita dihadapkan pada kenyataan yang mencemaskan, bahwa kejujuran itu menjadi lelucon di halaman rumah kita meski saban hari dikhotbahkan para pemuka agama hingga mulut berbusa-busa.
KEMBALI KE ARTIKEL