Ada persamaan kentara antara sejarahwan dan ahli nujum, keduanya membicarakan hal-hal yang tidak pernah dialaminya sendiri. Kalau sejarahwan memaparkan 'temuan'nya dengan mengambil kutipan-kutipan terserak yang bersumber dari masa lalu, maka ahli nujum - beken dengan sebutan paranormal, menyendok 'ramalan' masa depan dari penerawangannya. Meski sejarahwan melandaskan analisisnya dari sebuah hasil studi yang ilmiah, namun ia tidak mampu menghadirkan gambaran utuh seperti apa masa lalu. Mahfum kita pahami bahwa kutipan-kutipan sejarah adalah tetulisan atau kronik dari pihak pemenang, sebagai bagian dari propaganda atau justifikasi pembenaran mengapa para pemenang sejarah membunuhi lawan-lawannya. Para pecundang tentu saja tak sempat menuliskan sejarah dari perspektif mereka, karena keburu habis ditumpas jawara zamannya. Kecuali, beberapa tetulisan saja dan tergolong sedikit yang bisa diselamatkan pihak pecundang. Meski begitu, arus besar penulisan sejarah tetap didominasi oleh para pemenang, hingga seakan-akan itulah fakta sejarah. Demikian juga halnya dengan ahli nujum. Meski keberadaannya sering diidentikkan dengan semua hal berbau klenik dan dengan demikian, menjadi musuh agama dan para ilmuwan, ramalan mereka masih mendominasi ruang pikir masyarakat. Meski dalam banyak hal, ilmuwan dan ahli agama juga gandrung soal apa yang akan terjadi di masa depan. Kalau ilmuwan menyebutnya sebagai prediksi, maka ahli agama -dengan bersandar pada penafsiran religiusnya - menyebutnya nubuwat. Sedang ahli nujum, penerawangannya betapapun kelihatan meyakinkan, menyandarkan pada hal-hal yang sangat subyektif. Suka tidak suka, dalam beberapa hal ahli nujum dan ahli agama bersaing merebut 'iman' orang per orang. Masyarakat yang kadar intelegensianya beragam, memiliki tingkat akseptibilitas yang juga berbeda. Bahwa masih banyak diantara masyarakat kita yang percaya atau minimal terpengaruh oleh ramalan para ahli nujum, ketimbang prediksi ilmuwan atau nubuwat kitab suci, tentu itu lebih karena tingkat kerumitan penalaran nya yang lebih simpel daripada keduanya. Pagi ini saya disuguhi lagi tontonan memukau, ketika Mama Lauren - ahli nujum tersohor di republik bedebah ini, tampil lagi dengan ramalannya soal tahun 2012. Jauh sebelum filem besutan Roland Emmerich berjudul sama itu tayang di bioskop-bioskop jaringan XXI, Mama Lauren sudah beberapa kali meluncurkan hits ramalannya soal kejadian besar yang akan menimpa dunia, bil khusus Indonesia di tahun 2012. Dalam salah satu acara di Indosiar pada bulan April 2007, Mama Lauren meramalkan akan terjadi kiamat besar pada tahun 2012. Di wawancarai oleh Indro dan alm. Taufik Savalas, Mama Lauren mengungkapkan bahwa Indonesia akan tinggal 60% nya saja di tahun tersebut. Saya percaya, Mama Lauren tidak asal ngomong. Sebagai seorang pesohor kaliber nasional, Mama Lauren juga perlu membekali dirinya dengan banyak asupan bacaan atau 'pengetahuan' yang relevan dengan bidang 'keahliannya'. Sejatinya, ramalan Mama Lauren tentang akhir dunia tahun 2012 merujuk kepada referensi yang sama dengan sumber inspirasi filem 2012 yang ceritanya ditulis sendiri oleh sang sutradara Roland Emmerich bersama Harald Kloser. Kiamat 2012 menurut filem yang dirilis di tanggal 'seram', Jumat-13 November 2009 (Friday the 13th), didasarkan pada penanggalan kuno suku Indian Maya. Konon pada tanggal 21 Desember 2012, hitungan kalender panjang suku Maya yang merentang selama 5,125 tahun akan berakhir. Berakhirnya penanggalan Maya ini ditengarai juga akan mengakhiri umur bumi dan isinya. Menurut ramalan ini, pada akhir 2012 kiamat bumi akan ditandai dengan banyak fenomena bencana alam - yang meski aneh, didukung oleh prediksi beberapa ilmuwan, semisal meteor besar (atau planet kecil Nibiru) akan melewati atau menabrak bumi, juga kesejajaran galaktik yang terjadi akan menciptakan efek gravitasi super-dahsyat yang dihasilkan dari gabungan daya tarik matahari dan lubang hitam di pusat galaksi Bima Sakti. Efek gravitasi mahabesar ini akan dialami bumi, sumber energi dari lubang besar ini menyedot semua benda langit dan menimbulkan chaos. Berakhirlah dunia! Nostradamus, ahli nujum legendaris asal Prancis yang hidup di abad ke-16 juga diberitakan meramalkan 2012 sebagai tahun penghancuran bumi. Menurut paranormal paling beken sepanjang sejarah manusia ini, pada tahun 2012 akan ada komet besar yang menghantam bumi sehingga memberikan efek bencana yang dahsyat semisal tsunami yang akan menenggelamkan pegunungan Himalaya, juga perang dunia ke-3 akan terjadi - mungkin antara Israel dan sekutunya melawan Iran.
Percayakah? Terlepas dari gencarnya nujum-nujum dari paranormal atau sineas yang mengisi ruang dengar dan ruang pandang kita, beberapa tahun belakangan ini memang kita banyak menyaksikan bencana alam dahsyat yang memakan korban di sekitar kita. Kiamat-kiamat lokal terjadi dimana-mana, intensitas yang makin tinggi dianggap bermula sejak pemerintahan SBY mulai memerintah - oleh sebahagian orang kemudian dipolitisasi menjadi kutukan politis bangsa yang memilih beliau. Tsunami Aceh (2004), Gempa Jogja dan Lumpur Lapindo (2006), Gempa Sumbar (2009) dan gempa beruntun saban pekan di sepanjang
ring of fire yang melingkupi Indonesia, banjir bandang di mana-mana, dan sebagainya. Act of God ini sejatinya dimaknai sebagai tanda-tanda akhir dunia, yang oleh ahli agama digadang-gadang bermula sejak rasul terakhir diturunkan ke dunia. SBY pun bisa menciptakan kiamat politis dahsyat untuk KPK, kalau seandainya membiarkan dengan sengaja para buaya laknat bersekongkol memakzulkan para pimpinan KPK. Di banyak khutbah, para pendakwah memaklumatkan bahwa kejadian-kejadian ini adalah awal kehancuran dunia, yang disebabkan makin tenggelamnya umat manusia dalam kemaksiatan sementara kuantitas peribadatan makin berkurang. Bencana ini adalah buah ketidakpedulian banyak elemen bangsa yang mengabaikan agama, dengan menisbikan peran nurani dan kitab suci dalam banyak kebijakan. Alih-alih memberantas persenggamaan ilegal dan perjudian, pemerintah seakan bersikap ignorance kepada semua hal nista itu. Alih-alih menunjukkan tauladan bagi rakyatnya, korupsi, kolusi dan persekongkolan jahat melumat si jujur dan si lemah malah dipertontonkan oleh aparat pemerintahan. Alih-alih menyantuni anak yatim, fakir miskin, janda melarat dan anak-anak jalanan, pemerintah lebih memilih memanjakan para bankir dan deposan yang sudah dari sono nya kaya raya tak karuan. Kiamat memang ditandai dengan banyak hal kontradiktif. Bencana alam merupakan salah satu wajahnya. Idealnya semua pada tempatnya, ketika semua makin tak beraturan, maka kita menamakannya kiamat. Masyarakat awam, termasuk saya, lebih melihat hal ini sebagai sebuah rentetan proses yang alami. Segala sesuatunya tentu tak akan ada yang kekal, kecuali Sang Maha Pencipta. Bencana alam dan kematian mahluk yang menyertainya adalah kiamat sesungguhnya, terutama bagi yang mengalaminya. Kita yang menonton, hanya bisa mengelus dada memaknainya sebagai sebuah peringatan tegas, sambil menunggu waktu kiamat yang mendatangi kita. Kembali ke Mama Lauren, Nostradamus, Roland Emmerich atau para peramal lainnya, punya satu garis persamaan lagi dengan sejarahwan dan ahli agama. Bahwa apa yang mereka ungkapkan sejatinya mengemban pesan moral yang layak dijadikan peringatan buat kita semua yang masih hidup. Bahwa semua peristiwa masa lalu, atau ramalan masa depan adalah bahan untuk kita semua kembali kepada hal-hal yang ideal. Kembali menapaki jalan yang lurus supaya tidak terjerembab seperti pecundang di masa lalu, atau tidak menjadi korban untuk bencana di masa datang. Tentu bukan menjadi seorang fatalis yang tidak punya percaya diri untuk tetap komitmen menjalani rutinitas sebagai khalifah bumi. Tapi mengisinya dengan banyak hal berarti, meski hanya untuk pribadi atau keluarga. Seperti seorang penjual sayur yang percaya bahwa besok masih akan ada ibu-ibu yang membutuhkan sayur jualannya. Ramalan? Bukan. Itu optimisme hidup.
KEMBALI KE ARTIKEL