Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Regresi Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024 dalam Kacamata Kesejahteraan

12 Desember 2024   16:30 Diperbarui: 12 Desember 2024   16:45 40 0
Pilkada Serentak 2024 menyisakan beberapa persoalan krusial. Salah satunya angka partisipasi yang jauh panggang dari api. Secara nasional, rata-rata partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 mencapai 68 persen. Angka tersebut jauh apabila dibandingkan dengan Pemilu 2024 yang mencatatkan partisipasi 81,78 persen pada Pilpres dan sekitar 81 persen untuk pemilu legislatif. Lebih ekstrim, Bawaslu Jakarta Barat mencatat tingkat partisipasi di wilayahnya hanya sekitar 52-58 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1,9 juta orang.

Bingham Powell (2000) mengatakan, mekanisme elektoral merupakan salah satu instrumen sangat penting dalam demokrasi. Alat untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap calon yang akan dipilih dalam bentuk membubuhkan suara di TPS. Dengan demikian, jika partisipasi rendah, dapat dikatakan bahwa kontestasi elektoral sedang mengalami permasalahan krusial terkait dengan mandat legitimasi rakyat.

Banyak pihak beranggapan, kejenuhan masyarakat menjadi faktor penyebab turunnya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Sementara itu beberapa pihak lain menyebut partisipasi pemilih turun dikarenakan kurangnya sosialisasi dari KPU untuk merangkul pemilih pemula yang merupakan generasi muda. Atas dasar itu, solusi yang ditawarkan adalah dengan mengevaluasi efektivitas penyelenggaraan pilkada serentak yang dilaksanakan berbarengan dengan tahun Pemilu 2024.

Dari aspek regulasi, tidak ada yang salah dari anggapan tersebut. Namun dari aspek sosial, anggapan tersebut masih mengesankan bahwa pemilih sebagai objek politik, bukan subjek politik. Solusi yang ditawarkan masih berbicara tentang "keuntungan" bagi kandidat dalam mendapatkan legitimasi publik. Sehingga, selama orientasi pemangku kebijakan masih menempatkan pemilih sebagai objek, maka persoalan tidak akan pernah berakhir dan hanya berputar bak lingkaran setan saja.

Jika kita mau sedikit menyelami pikiran publik, permasalahan regresi partisipasi pemilih ini tidak sesederhana masalah teknis waktu penyelenggaraan. Jangan-jangan, angka kemiskinan yang hanya turun satu digit dalam sepuluh tahun terakhir, perlambatan ekonomi, dan hal-hal lain yang menjadi turunannya ikut menjadi penyumbang yang membuat pemilih tidak merasa bahwa ketika hadir di TPS lalu memilih calon maka akan mendapatkan perubahan kesejahteraan daerah yang signifikan.

Jadi tak salah Presiden Prabowo menetapkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Bahkan seolah visioner, berhasil membaca situasi jauh sebelum masalahnya muncul ke permukaan. Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan prioritas kerja di awal pemerintahan adalah perbaikan ekonomi. Dia menyampaikan pernyataan tersebut dalam keterangan pers di Rio de Janeiro, Brasil, pada Ahad, 17 November 2024, usai pertemuan dengan bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Antnio Guterres. Adapun rumus Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor yang terbukti ampuh mengerek ekonomi hingga 8,2 persen pada 1995.

Hal ini sejalan dengan pandangan seorang filsuf politik JJ Rosseau yang mengatakan peradaban demokrasi bisa tercapai jika masyakaratnya setara, baik itu pendidikan maupun ekonomi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun