Jejak Sokrates ini pun tidak kemudian ajek tapi semakin lama semakin lenyap seiring perkembangan sains dan penemuan-penemuan teknis yang mempengaruhi cara pikir manusia. Pemikiran pun kemudian diabstraksikan dengan melepaskan diri dari refleksi. Berbekal metode kuantitatif-empiris, sains mereduksi realitas pada dunia sebagaimana adanya. Sains tidak bertendensi apa-apa kecuali hukum sebab-akibat yang mengaturnya. Makna-makna insani pun diusir keluar dari proses pemikiran sains itu sendiri. Ini semua berpuncak pada penghujung abad 19 saat positivisme lahir dan mengumumkan doktrin kesatuan ilmu pengetahuian (unified science). Bahwasanya semua ilmu pengetahuan harus tunduk dan patuh pada batas-batas epistemologis, ontologis dan metodologis pada ilmu alam.
Namun sejarah selalu dapat menunjukkan jalannya sendiri untuk perubahan bahwa ditengah kesadaran mayoritas yang didominasi positivisme, muncullah kemudian melalui Institut Sosial Universitas Frankfurt, sekelompok intelektual Jerman yang dipelopori Max Horkheimer dan Theodore Adorno yang membangkitkan kembali semangat Sokrates-Marxian ini, dan merintis apa yang nantinya dikenal dengan sebutan Teori Kritis, yakni sebuah rumusan teoritis dari pelbagai disiplin ilmu (Multidisipliner dan multidimension) yang dimuarakan pada kritik ideologi untuk perubahan yang membebaskan (emancipation). Dengan Teori Kritis, positivisme pun dicibir sebagai pendukung setia konservatisme. Komitmen bebas nilai yang merupakan pembenar positivisme dituduh sebagai politik cuci tangan para ilmuwan terhadap perubahan. Realitas tidaklah seajek sebagaimana yang dipikirkan kaum positivis. Selanjutnya pemikiran-pemikiran Teori Kritis dari Horkheimer dan Adorno ini menjadi aliran tersendiri dalam ranah pemikiran barat, dan dikenal sebagai aliran Mahzab Frankfurt sebagai penyeimbang dari pemikiran-pemikiran positivisme yang ternyata dalam konteks prakteknya telah dimanfaatkan untuk membentuk dan menjaga stabilitas social dibawah hukum produksi Kapitalisme.
Jürgen Habermas sebagai penerus Max Horkheimer dan Adorno kemudian melanjutkan tradisi pemikiran Mahzab Frankfurt ini. Sebagai generasi kedua Teori Kritis, Jürgen Habermas lalu mengembangkan teori ini tidak saja bersifat praktis juga programmatis. Melalui programmatis Teori Kritis, Habermas telah merekonstruksi teori ini menjadi teori yang berpihak, berpijak, dan terlibat. Teori tidak saja menjadi teori yang kritis dan reflektif saja, atau hanya memberi arahan yang lepas dari basis material realitas konkretnya tapi merupakan panduan konkret bagi munculnya realitas yang emansipatif. Panduan konkret dari Teori Kritis ini terlihat misalnya pada Teori Tindakan Komunikasi (salah satu penajaman/turunan Teori Kritis), dimana Habermas menggagas mengenai syarat-syarat yang memungkinkan sebuah komunikasi bebas distorsi. Pelbagai syarat yang beralas pada komitmen kesaling-pemahaman dan bukan sebatas efisiensi atau efektifitas. Selain itu, Habermas juga menawarkan sebuah alternatif metodologi bagi ilmu-ilmu sosial. Metodologi yang ditempatkan tidak hanya melukiskan, menerangkan, maupun menjelaskan realitas sosial secara prilaku/tindakan-tindakan social (behavioural) saja melainkan menangkap distorsi ideologis di balik itu, membongkarnya, mengatasinya serta mengkonstruksikan kembali pada perubahan yang emansipatif. Berbekal khazanah sosiologi, filsafat analitik dan hermeneutik yang cukup kaya, Habermas pun merumuskan sebuah cara pandang baru yang tidak saja kritis juga praktis. Cara pandang baru bagi metodologi yang kritis terhadap pendekatan positivis maupun pendekatan hermeneutis itu sendiri. Bagi Habermas kedua pendekatan tersebut terbukti sukar untuk melepaskan diri dari belenggu konservatisme. Belenggu yang menjadi musuh utama semangat Pencerahan Barat yang bertopang pada rasionalitas dan keberpihakan sains pada perubahan yang membebaskan. Upaya pembebasan ini merupakan tindakan rasional terlibat untuk menciptakan tatanan social kemasyarakatan dibawah hukum kebebasan yang menjamin keadilan.
Tulisan berikut ini akan lebih mengeksplorasi gagasan Jürgen Habermas yang akan difokuskan pada pemikiran-pemikiran dasar Teori Kritis, bahwa keberadaan teori dalam hal ini teori-teori social, teori-teori budaya, dan teori-teori pendidikan tetap ditempatkan pada basic teori itu sendiri yaitu praktek-prakteknya dalam dinamika social. Teori dirumuskan manusia untuk membangun tatanan ideal yang menjamin keberadaan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri dan bukan lantas mereduksi nilai-nilai tersebut dalam rumusan yang matematis serta standart-standart tertentu yang dilepaskan dari praktek-prakteknya. Teori yang telah mengasingkan nilai-nilai social/nilai-nilai kemanusiaan dalam identitasnya sebagai teori akan sarat dengan dimensi penguasaan dan dapat dijadikan pembenar terhadap upaya dominasi yang mencoba ditutupi oleh keilmiahan teori tersebut. Ilmiah akhirnya menjadi ilusi karena telah menyelubungi praktek penindasan dalam dinamika kemasyarakatan. Masyarakat teralihkan kesadarannya menjadi kesadaran palsu. Dengan sendirinya masyarakat tidak akan memiliki eksistensi dalam dirinya, karena eksistensi seperti dikatakan J.P. Sartre harus berangkat dari kesadaran kritis. Masyarakat tidak ditopang oleh kesadaran kritis masyarakat itu sendiri melainkan oleh logika dominant tertentu yang mencari keuntungan dalam praktek-praktek social, budaya, dan kemasyarakatan.
BUKAN REGULARITAS MELAINKAN MAKNA-MAKNA
Realitas sosial bukan realitas fisik! demikian para ilmuwan sosial mengkritik kesadaran pengetahuan kemasyarakatan yang telah dikonstruksi oleh positivisme. Weber menjadi salah satu pemikir social yang memperjuangkan ontologi sosial tersebut. Dalam kalimat pembuka bukunya "Economy and Society" Weber telah mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya memahami secara interpretatif tindakan sosial guna mendapat penjelasan kausalistik tentangnya. Weber menggariskan bahwa regularitas sosial yang dipelajari sosiolog berbeda dengan regularitas fisik yang digarap fisikawan. Perilaku sosial memuat makna. Makna yang ditanamkan pelaku sosial secara subjektif dalam tindakannya. Dengan kata lain, tindakan sosial adalah tindakan yang bersifat intensional dan sarat nilai-nilai. Dengan demikian didalam upaya merumuskan pengetahuan tentang masyarakat perlu dipisahkan secara metodologis antara ilmu alam dan ilmu sosial. Realitas fisik yang identik dengan gejala-gejala alam didekati dengan metode kuantitatif-empiris sedang realitas social yang sarat dengan nilai dan makna menggunakan metode interpretatif. Pendekatan enklaren (menjelaskan) harus melepaskan diri dari verstehen (menafsirkan). Meskipun demikian, regularitas masih menjadi objek pencarian para sosiolog. Keyakinan bahwa regularitas mengatur seisi jagad raya masih menghinggapi filsafat sosial para sosiolog pascapositivisme.
Sebelum lebih jauh membahas persoalan itu, maka perlu dipahami dahulu apa sesungguhnya pendekatan verstehen itu. Seorang Weberian bernama Theodore Abel mendefinisikan verstehen sebagai proses yang bertolak pada penerapan pengalaman personal pada perilaku yang teramati. Pemahaman baru dapat diberlakukan sebagai pemahaman bila ada keterhubungan antar perilaku yang teramati secara parallel dengan sesuatu yang diketahui lewat introspeksi atau observasi diri. Beberapa karakter pokok verstehen adalah Pertama, tujuannya memahami tindakan berdasarkan makna subjektif yang tertanam di dalamnya, entah itu berupa motif-motif, keyakinan, nilai-nilai, dan emosi-emosi. Kedua, langkah-langkah metodologinya bergantung pada kapasitas introspektif yaitu internalisasi stimulus, internalisasi respon, dan penerapan maksim perilaku. Ketiganya bersandar pada penerapan pengalaman personal pada perilaku yang teramati. Ketiga, verstehen bukan metode verifikasi melainkan semata bantuan heuristik untuk mengkonstruk, memeriksa dan menggunakan hukum statistik sehubungan dengan sekuensi perilaku yang teramati. Sebagai contoh "seorang tetangga membelah kayu dan membuat api unggun sesudah terjadinya penurunan temperatur". Verstehen memungkinkan kita menghubungkan antara temperatur rendah dengan perasaan dingin dan perilaku yang teramati dengan upaya menghangatkan tubuh. Atau contoh lain: "penurunan angka rata-rata panen jagung di satu daerah diikuti dengan penurunan angka rata-rata pernikahan". Pendekatan verstehen memungkinkan kita menginternalisasi yang pertama sebagai "perasaan cemas" sedang kedua sebagai "takut akan komitmen baru" dan menggeneralisasinya sebagai "orang yang mengalami kecemasan akan takut menjalani komitmen baru."
Persoalan yang kemudian menjadi diskusi hangat di kalangan sosiolog pasca-positivisme adalah apakah makna yang tertanam dalam perilaku sungguh-sungguh subjektif. Â Sebagian sosiolog bertolak dari konsep Heidegger bahwa manusia adalah "ada-dalam-dunia" yang artinya menjadi manusia tak pernah sepenuhnya subjektif, ia tertanam dalam dunia intersubjektif dimana nilai, motif, makna didefinisikan bersama. Individu selalu menemukan dirinya dalam dunia yang diwariskan: nilai, pandangan dunia, peran yang terinstitusi, dan norma-norma sosial. Karenanya, verstehen harus juga menyertakan analisis latar kultural dan institusional yang memaknai satu perilaku tertentu. Di sebuah latar sosial-kultural yang berbeda, perilaku memotong kayu dan membuat perapian mungkin dapat ditafsirkan sebagai persiapan sebuah ritus sektarian tertentu. Perilaku sosial harus dipahami berdasarkan "permainan bahasa" kultur yang bersangkutan. Makna perilaku sosial sangat ditentukan signifikasi sosial yang menyelimutinya.
Pendekatan verstehen baik introspektif maupun kultural tidak dibiarkan melenggang begitu saja oleh kalangan behaviouris. Mereka pun menggugat, "Jika realitas sosial terstruktur secara maknawi, kata mereka, bagaimana bisa mengukurnya." Bukankah makna itu berada di relung terdalam batin yang tak terjangkau pengukuran kuantitatif. Bagaimana bisa ditarik sebuah kesimpulan umum sosial yang dapat digeneralisasi dari sesuatu yang subjektif sifatnya? Jawaban behaviouris atas kesulitan pengukuran itu adalah dengan mengabstraksikan perilaku sosial dalam satu konsep umum. Dan satu konsep yang sampai sekarang masih dipuja-puja para behaviouris adalah konsep pilihan rasional (rational choice). Konsep tersebut mengandaikan bahwa sebagai hewan rasional, tindak-tanduk manusia selalu beralaskan rasionalitas bertujuan. Rasionalitas dalam memilih sarana-sarana yang paling efisien dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Teori pilihan rasional yang berinspirasi pada filsafat utilitarian Bentham, kemudian digunakan untuk menjelaskan perilaku sosial manusia mulai dari politik sampai ekonomi. Teori ini berjejak pada sebuah postulat tentang manusia sebagai pengejar kepentingan diri pribadi. Sehingga melalui teori tindakan rasional bertujuan, tindak-tanduk manusia menjadi sangat mudah terprediksikan.
Abstraksi teoretis atas tindak tanduk manusia ini bukan berarti dapat bertahan dengan kebenarannya yang ajek, kaum fenomenolog-sosial kemudian mengecam keras tinjauan teoritis atas tindak-tanduk manusia ini. Abtraksi macam itu bagi fenomenolog-sosial seperti Alfred Schutz, diteruskan oleh Peter L. Berger sama saja telah meniadakan dunia kehidupan (lifeworld) para pelaku sosial. Sebuah dunia yang dihayati dalam spontanitasnya, saat segala teori atau konsep apapun belum mendefinisikannya. Habermas menegaskan sebagai dualisme antara penghayatan dan abstraksi sebagai dualisme antara dunia kehidupan dan sistem. Masing-masing memiliki logikanya sendiri-sendiri. Rasionalitas bertujuan yang mengatur system, berbeda dengan rasionalitas yang mengatur dunia kehidupan. Generalisasi rasionalitas bertujuan yang sangat ekonomis pada semua realitas sosial menjadi bentuk penjajahan. Realitas sosial nonekonomis menurut Habermas memiliki rasionalitasnya sendiri, yaitu rasionalitas yang berorientasi pada kesalingpemahaman dan bukan semata-mata efisiensi dan profit ekonomis.
Para fenomenolog-sosial membela realitas sosial yang dihayati para pelakunya dari segala macam abstraksi sosiologis yang telah menyederhanakan realitas bersama dinamikanya itu. Realitas sosial adalah buatan tangan para pelakunya, dan bukan konstruksi pengamat atau ilmuwan sosial. Tugas pokok para sosiolog bukan lagi merumuskan konsep abstrak dan mengukur perilaku social, melainkan merekonstruksi proses yang melahirkan realitas sosial yang terstruktur secara semiotis. Dan jawaban metodologis bagi tugas ini adalah sebuah pendekatan kualitatif-partisipatoris.
Keberatan pun muncul terhadap tawaran metodologi Schutz. Fenomenologi sosial Schutz memang berpandangan bahwa pelaku sosial tertanam dalam sebuah dunia intersubjektif. Namun, ia belum bisa melepaskan bias subjektivisme yang diwarisinya dari fenomenologi transendental Husserl. Schutz berpendapat bahwa tiap upaya penjelasan ilmiah sebuah realitas sosial mesti merefleksikan makna subjektif dari mana sebuah realitas sosial berasal. Perspektif fenomenologis atas sosiologi Schutz mensubordinasikan analisis struktur sosial tertentu (peran dan institusi, norma sosial dan nilai, sistem dan tradisi) pada persepsi, penafsiran orientasi pelaku individu. Misalnya, peran domestik istri melayani suami. Nilai yang tertanam pada peran sosial tersebut harus dikembalikan pada tafsir subjektif masing-masing pelaku. Istri A misalnya memahami peran itu sebagai kewajiban "kompensasi" atas nafkah yang diberikan sang suami. Istri B memahaminya sebagai konkretisasi filsafat lokal "swargo manut-neroko katut" (ke mana suami pergi-surga atau neraka- istri ikut). Atau misalnya lagi nilai takut kehilangan pasangan dalam berpacaran dapat dikembalikan pada upaya mempertahankan stabilitas perasaan dalam proses hubungan yang terjadi. Hubungan perasaan ini dapat dilihat sebagai investasi yang telah ditanamkan dapat berupa konsep material yang bernilai ekonomis, non-ekonomis, dalam mendisiplinkan hubungan. Dan dapat dilihat juga sebagai penekanan perasaan tertentu sebagai suatu sikap mensubordinasikan egoisitas yang terealisasi dalam bentuk ketertundukkan maupun sikap patuh sebagai prilaku manifest dalam menjaga hubungan tersebut.
Habermas memandang pendekatan fenomenologis yang mengikutsertakan dunia kehidupan dalam analisis sosial sungguh menjadi koreksi tajam terhadap sosiologi objektivis. Namun, Habermas juga menggugat bias subjektivis dalam pendekatan fenomenologi sosial, khususnya yang digagas Schustz. Schutz menurut Habermas gagal menjembatani antara yang subjektif dan yang sosial. Norma, institusi, nilai dan lain sebagainya bukan produk kesadaran subjektif melainkan komunikasi intersubjektif. Dengan kata lain, intersubjektivitas yang dibagi bersama dalam satu lingkup sosial tertentu bukan realitas yang siap jadi (ready-made) melainkan dibangun secara sosial melalui komunikasi. Personal/pribadi menurut Habermas menginternalisasi secara subjektif apa-apa yang sesungguhnya dibangun melalui komunikasi intersubjektif. Prioritas para fenomenolog sosial pada kesadaran privat digeser Habermas menjadi prioritas pada relasi komunikatif. Pengalaman dan kesadaran harus memberi jalan bagi bahasa.
HERMENEUTIKA DAN KRITIK IDEOLOGI
Mengapa bahasa menjadi sangat penting dalam analisis sosiologis? Jawabannya ialah terdapat dalam filsafat bahasa Ludwig Wittgenstein terutama pada periode pasca positivisme logis. Filsafat bahasa Wittgenstein pascapositivisme melahirkan tesis kalau makna suatu bahasa tidak bisa dibingkai berdasarkan satu logika tunggal. Sebaliknya, harus ditemptkan dalam analisis permainan bahasa yang melingkupinya. Permainan bahasa-lah yang menurut Wittgenstein menentukan makna sebuah kata. Kata "autis" yang diucapkan seorang aktivis mahasiswa pada rekannya gagal dipahami kalau tidak menghayati permainan bahasa mereka. Sang aktivis mahasiswa tidak ingin menginformasikan sesuatu pada rekannya melainkan pernyataan control juga kritik konstruktif terhadap dinamika aktivitas keorganisasian yang telah dilakukan rekannya. Bahasa, karena itu, sangat erat terkait dengan perilaku sosial.
Belajar bahasa bukan sekadar belajar tata-aturan yang gramatikal sifatnya. Belajar bahasa adalah belajar apa yang boleh dan apa yang tidak dalam satu lingkup sosial tertentu. Dengan kata lain, belajar aturan permainan bahasa yang dimainkan oleh para pelakunya. Bahasa adalah hukum-hukum social yang sangat tergantung pada dinamika social sebagai pembentuk hukum-hukum tersebut. Misalnya, bahasa yang digunakan para petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota dalam kesehariannya akan berbeda dengan bahasa yang dipakai seorang mahasiswa dalam lingkup keseharian dalam studinya di kampus. Namun seorang pemuda petani, buruh, nelayan dan sebagainya akan sama bahasanya dengan seorang pemuda mahasiswa dalam menyatakan perasaannya kepada lawan jenisnya. Dengan demikian dinamika social menjadi factor objektif dalam menyusun permainan bahasa itu sendiri. Kesuksesan pemahaman sangat tergantung pada sukses-tidaknya dalam mengikuti permainan bahasa yang bersangkutan.
Orang pertama yang menggunakan teori bahasa sebagai dasar analisis sosial adalah Peter Winch. Seperti halnya para fenomenolog sosial, Winch menekankan kebermaknaan perilaku sosial dan prioritas pemahaman tentang struktur dunia kehidupan. Hanya saja, sejalan dengan kritik Habermas, struktur yang dimaksud bukan lagi struktur kesadaran melainkan struktur permainan bahasa. Sebuah perilaku yang bermakna memang diatur oleh pola-pola struktural. Namun hukum yang mengatur perilaku tersebut bukan sesuatu yang ajek. Melainkan, hukum yang dirajut oleh perilaku yang bersangkutan dan hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan perilaku yang melahirkannya. Karenanya, seorang sosiolog tidak dapat sampai pada pemahaman reflektif atas realitas sosial tertentu tanpa pertama-tama menghayati pemahaman nonreflektif para pelaku sosial. Misalnya, saat seorang sosiolog hendak menentukan apakah dua ujaran penutur asli adalah bagian dari sebuah aktivitas religius. Kriteria yang dipakai tidak bisa diambil dari sosiologi sendiri melainkan agama yang bersangkutan. Atau dengan kata lain, sosiolog harus menghayati permainan bahasa religi yang menjadi objek kajiannya. Tawaran metodologis Winch adalah metode partisipatoris. Sosiolog dalam berhadapan dengan realitas sosial yang dikajinya jangan mengambil sikap teoretis-berjarak. Melainkan melebur dengan objek kajiannya guna menghayati betul permainan bahasa yang dimainkan. Dengan itu, sang sosiolog berusaha sebisa mungkin menunda segala cemar formula-formula sosiologis abstrak. Asumsi di balik tawaran metodologis Winch adalah kemampuan sosiolog untuk menyelami tuntas permainan bahasa objek kajiannya. Dengan kata lain, seorang sosiolog mampu menjaga jarak dari permainan bahasa-nya sendiri untuk loncat mencemplungkan diri ke permainan bahasa lain.
Habermas memiliki keberatan tersendiri atas metodologi Winch. Pertama, apakah mungkin satu permainan bahasa diterjemahkan secara sempurna ke dalam permainan bahasa lain. Ini adalah persoalan universalisme bahasa. Permainan bahasa sang sosiolog mau tidak mau mesti mempengaruhi penelitiannya. Kedua, metodologi Winch memuat konservatisme tersembunyi. Eksplorasi permainan bahasa yang diwariskan secara historis pada satu realitas sosial tertentu menafikan refleksi yang sifatnya kritik-ideologi. Tugas sosiolog hanya mendeskripsikan tuntas sebuah realitas sosial dan cuci tangan terhadap anasir-anasir ideologis yang termuat dalam realitas sosial yang bersangkutan.
Kesulitan dalam pendekatan verstehen mulai dari Weber, Abel sampai Winch adalah orientasi objektivis yang mengabaikan lingkaran permainan bahasa sang pengamat dalam sebuah penelitian sosial. Kesulitan ini menurut Habermas hanya bisa dinetralisir apabila kita berpaling pada pendekatan hermeneutis. Pendekatan yang dalam perkembangan teoretisasinya meninggalkan pendekatan objektivis guna memberi tempat bagi refleksi yang lebih bersifat ontologis.
Hermeneutika sendiri berangkat dari tradisi penafsiran teks suci. Sebab itu, pada awalnya ia disesaki oleh kosakata teologis. Dalam perkembangannya, hermeneutika memperlebar sayapnya pada teks-teks nonskriptural dan mendapat tenaga teoretisasi dari filsafat. Tapi dalam perkembangannya, hermeneutika tetap tidak bisa melepaskan diri dari asumsi-asumsi hermeneutika teologis. Hermeneutika yang bersifat normatif-dogmatis karena berorientasi pada otoritas teks dan mencari makna normatifnya untuk masa sekarang. Tujuannya adalah transmisi keyakinan dan norma tradisional untuk diterapkan pada persoalan kekinian. Tradisi hermeneutika ini kemudian menyusup pada hermeneutika filosofis yang ditawarkan oleh Wilhelm Dilthey. Dilthey menggelar pendekatan hermeneutika yang bersifat psikologistik. Psikologistik di sini artinya menyelami konteks biografis sang pengarang guna menyingkap maksud sesungguhnya dari teks. Author di sini memegang the ultimate authority.
Kritik tajam terhadap pendekatan hermeneutika psikologistik Dilthey datang dari Heidegger. Bahasa menurut Heidegger berubah seiring bergeraknya sejarah. Setiap epos memiliki permainan bahasanya sendiri. Karena itu, sungguh mustahil menempatkan pengarang pada otoritas tertinggi penentu makna teks. Kita tak pernah lepas dari prejudis dan prasangka sejarah saat menghadapi sebuah teks. Heidegger dalam hal ini memandang penafsiran adalah modus eksistensi manusia. Manusia selalu sudah menemukan dirinya dalam dunia yang bermakna. Mereproduksi secara akurat bahasa dari masa lalu adalah mimpi siang bolong. Gadamer melanjutkan hermeneutika filosofis Heidegger dengan mengajukan sanggahan pada metodologi bahasa yang dianut Wittgenstein. Ketertanamanan pengertian pada epos sejarah dengan permainan bahasanya masing-masing tidak lantas menutup pengertian tersebut dari permainan bahasa lain. Gadamer menggugat relativisme bahasa. Permainan bahasa bukan sebuah sistem tertutup, tegasnya. Gadamer yakin pada universalitas rasio yang meliputi pelbagai permainan bahasa itu sendiri.
Penafsir menurut Gadamer tidak menghadapi objek tafsirannya dalam posisi seorang pengamat yang bebas nilai. Penafsiran selalu membawa horison ekspetasi-keyakinan dan praktek, konsep dan norma-yang berasal dari dunia kehidupannya. Dia selalu melihat objek tafsirannya dari perspektif yang dibuka oleh horison yang menyelimutinya. Seorang penafsir feminis-liberal dengan ulama ortodoks pasti memiliki pemaknaan yang berbeda atas satu ayat suci tentang hubungan lelaki-perempuan. Namun, apakah lalu Gadamer terjebak dalam relativisme yang dikritisinya sendiri? Tentu saja tidak. Penafsir, setelah menyelami secara lebih mendalam teks yang dikajinya, mengalami gegar semiotis. Semakin jelas baginya bahwa sebagian konsepsi dan keyakinannya tidak bisa serta-merta diterapkan pada teks yang berasal dari permainan bahasa berbeda. Sebuah penafsiran yang baik harus selalu terbuka pada perbedaan kultural dan tidak memaksakan konsepsi, keyakinan, atau ideologinya pada makna teks.
Keterbukaan penafsir pada teks yang dikajinya lambat laun menyibakkan horison yang menyelimuti diri penafsir. Dengan kata lain, penafsiran berakhir pada eksplitasi ontologism (permainan bahasa). Struktur prejudis-prasangka yang tadinya tersembunyi semakin lama semakin jelas setelah penafsir terbentur dengan keasingan teks yang dihadapinya. Hermeneutika Gadamer, sebab itu, pertama-tama bukan persoalan epistemologis (bagaimana memahami makna teks) melainkan ontologis (ketersingkapan horison yang merupakan cara berada penafsir). Gadamer kemudian memperkenalkan konsep "fusi horison" dalam tradisi hermeneutika filosofis. "Fusi horison" adalah peleburan horison penafsir dan teks guna melahirkan makna baru. Hermeneutika bukan mereproduksi makna historis sebuah teks melainkan sebuah aktivitas produksi. Dalam "fusi horison" penafsir mengkonseptualisasi teks sedemikian rupa sehingga keasingan tetap terjaga sekaligus dibawa ke dalam relasi keterpahaman dengan dunia kehidupannya sendiri.
Penafsiran, sebab itu, bergerak secara melingkar. Bertolak dari teks sebagaimana tertangkap oleh struktur prejudis penafsir. Kemudian, teks yang bersangkutan lambat laun resisten dan menghasilkan eksplitasi ontologis (permainan bahasa) sang penafsir. Nah, bertolak dari kesadaran itulah fusi horison berlangsung. Hasil dari peleburan dua permainan bahasa adalah rentang pemaknaan baru.
Makna teks tidak terlepas dari peristiwa dan interpretasi yang mengikutinya. Kita tidak pernah berhadapan dengan makna asali. Makna teks adalah agregat sedimentasi pemaknaan yang terus muncul dari retrospektif baru. Makna teks pada prinsipnya tak selesai, ia terbuka bagi interpretasi-interpretasi dari perspektif yang akan datang. Pergerakan sejarah dan situasi sang penafsir menghasilkan aspek maknawi baru dan pembacaan baru warisan klasik.
Habermas memandang kritik Gadamer sebagai gugatan keras bagi historisisme. Historisisme adalah keimanan pada perkembangan sejarah kesadaran yang mematahkan kuasa tradisi sekali untuk selamanya. Lahirnya masyarakat industri adalah konfirmasi empiris terhadap klaim historisisme. Industrialisasi menunjukkan bahwa masyarakat modern bukan lagi kelanjutan masa lalu. Masa depan masyarakat modern sekarang dapat direkayasa dan dirancang secara teknis. Sebagaimana realitas fisik, realitas sosial sekarang terbuka bagi kendali rasionalitas-bertujuan yang berbasis pada sains.
Sebagaimana dikemukakan Gadamer, Habermas juga menganggap ilusif gagasan tentang masyarakat yang sepenuhnya terlepas dari sejarah. Dalam tataran teoretis, ia juga menolak klaim a-historis ilmu-ilmu sosial. Bahwasannya ilmu sosial bisa bebas dari kebertalian dengan konteks atau situasi historis. Konsep-konsep seperti urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, peran, dan reference group, misalnya, harus dipahami dalam konteks kesejarahan masyarakat industri sekarang.
Kepentingan di balik hermeneutika adalah kepentingan dialogis antar-budaya baik dalam lempeng sejarah yang sama maupun berbeda. Orientasi pendekatan hermeneutis bukan pada pengamatan berjarak melainkan partnership dalam dialog. Atau apa yang disebut Habermas sebagai kepentingan perluasan intersubjektivitas. Muaranya adalah inklusivisme.
Karena kita tidak memonopoli kebenaran dan kebaikan (merujuk pada ketertanaman kita pada permainan bahasa yang kontigen sifatnya), maka kita harus mempertahankan keterbukaan pada keyakinan dan nilai dari budaya yang berbeda. Dengan kata lain, kita harus siap belajar dari budaya yang berbeda.
Habermas mendukung garis-garis besar pemikiran Gadamer tentang pendekatan hermeneutika yang nonobjektifis. Namun, ia memiliki keberatan mendasar terhadap implikasi konservatif dari pendekatan Gadamer apalagi bila dikaitkan dengan dimensi emansipatoris ilmu-ilmu sosial. Penafsiran bagi Gadamer tidak bisa melepaskan diri dari tradisi. Penafsiran adalah preservasi tradisi guna dileburkan dengan horison teks yang bermuara pada pemaknaan baru. Gadamer menurut Habermas hanya sampai pada kesadaran tradisi tapi tidak mengajukan metodologi untuk mengkritisinya. Tradisi bagi Habermas tidak pernah netral, ia adalah konstruk sejarah yang ditopang oleh permainan kuasa dan ideologi. Di sini Habermas masih menyimpan asumsi-asumsi Marxian tentang sejarah. Gadamer hanya memikirkan bagaimana dialog antar tradisi dimungkinkan namun tidak memikirkan relasi kritis antara penafsir dan tradisi yang menyelimutinya. Dengan kata lain, logika verstehen Gadamer tidak memberi tempat bagi kritik ideologi. Refleksi kritis, menurut Habermas, harus mempertanyakan keabsahan tradisi. Refleksi menyibak otoritas yang mana gramatika suatu permainan bahasa dimutlakkan sebagai satu-satunya undang-undang untuk menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengannya. Dengan kata lain, hermeneutika harus bersikap kritis dengan membongkar distorsi-distorsi yang melandasi tradisi.
Habermas mengajukan keberatan yang mendasar terhadap pelbagai gagasan metodologis ilmu sosial yang mereduksi sebuah penelitian sosial pada eksplikasi makna. Makna baik subjektif maupun intersubjektif bagi Habermas harus selalu dilihat sebagai proses komunikasi yang rentan bagi distorsi ideologis. Makna yang tertanam dalam satu budaya tertentu ditentukan oleh ranah nonlinguistik seperti kerja sosial dan dominasi politik. Meski keduanya tak bisa dilepaskan dari bahasa, namun mereka tidak ditentukan oleh bingkai signifikasi. Justru perubahan pada modus produksi atau sistem relasi kuasa-lah yang menentukan perubahan pada pola-pola penafsiran. Kita ambil contoh perbedaan konsep tentang tanah di abad pertengahan dan modern. "Tanah" di abad pertengahan yang berporos pada sistem ekonomi feodalistis berarti simbol kehormatan dan status. Sedangkan "tanah" di periode modern yang kapitalistis berarti modal. Pergeseran itu mengandaikan adanya pergeseran modus dan relasi produksi. Modus produksi feodalistis yang statis-tradisional berganti dengan modus produksi kapitalistis yang progresif-modern. Perubahan modus produksi tersebut melahirkan relasi kuasa baru antara pemilik modal dengan buruh yang menggantikan relasi feodal antara para lord dan serf.
Habermas mau mengatakan bahwa tradisi pemaknaan yang meliputi kita ditopang oleh relasi kuasa dan modus produksi tertentu. Apabila kita tidak membongkar sistem kuasa yang menopang pemaknaan lewat sebuah kritik ideologi, kita belumlah tuntas memahami sebuah sistem makna yang diwarisi tradisi. Sebuah tradisi pemaknaan menurut Habermas tidak cukup hanya dijadikan jembatan untuk peleburan horison melainkan juga dijadikan sasaran refleksi kritis. Dengan kata lain, Habermas menuntut dimasukkannya kritik ideologi dalam proses penafsiran. Sesuatu yang menurutnya belum diadopsi sempurna dalam hermeneutika ontologi Gadamer.
Sasaran hermeneutika bukan penciptaan makna hasil pertemuan horison melainkan melacak distorsi yang menyesatkan komunikasi makna. Dengan kata lain, melacak makna sesungguhnya yang bebas dari proses-proses penyimpangan secara sistematis. Penafsir harus selalu mengambil sikap curiga terhadap permainan kuasa yang melandasi sebuah pemaknaan. Layaknya psikoanalis, penafsir tidak serta merta menerima makna tampilan guna mengalihkan perhatian pada makna laten. Makna laten adalah makna sesungguhnya yang terdistorsi secara sistematis ketika naik ke kesadaran kolektif. Kesadaran yang sudah diputarbalikkan oleh ideologi (Kesadaran palsu, Marx). Ia bekerja layaknya sistem pertahanan yang menangkal makna laten untuk tampil dalam wujudnya yang telanjang.