Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sebuah Narasi Kuburan Tua Belanda di Kebun Raya Bogor

6 Mei 2015   13:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 139 0
Kebudayaan merupakan bagian dari masyarakat. Dengan kebudayaan masyarakat membangun identitasnya. Dan melalui identitas masyarakat mengaktualisasikan karya-karya terbaiknya yang kemudian disebut peradaban. Keberadaan peradaban bagi masyarakat menggambarkan sebuah kenyataan dinamis dari suatu kebudayaan (Kleden, 1988:xix). Sehingga bercermin dari peradaban akan menunjukkan kualitas suatu dinamika masyarakat.

Salah satu bentuk aktualisasi peradaban dalam kebudayaan ini adalah kesenian. Dan satu produk kesenian ini adalah desain. Secara umum desain dijabarkan sebagai gambar, diambil dari kata Itali "designo" yang artinya gambar, dan kata Latin "designare" yang kemudian menjadi unsure serapan dalam bahasa Inggris menjadi "design" yang berarti merencanakan atau merancang.

Desain dalam kesenian memegang peranan penting. Melalui desain sebuah karya seni dapat berwujud maksimal, karena karya seni tidak selesai sebagai karya saja, dibaliknya menjadi akumulasi dari beragam pola imajinasi, konsep, maupun ekspresi penciptanya. Karya dalam proses kreatifnya bukan sesuatu yang asing tetapi melekat dengan unsur-unsur nilai, personal, dan social. Karya dalam unsur nilai berarti disetiap karya seni, dalam proses penciptaannya tergantung dengan nilai-nilai yang dekat dan dipilih penciptanya, dapat berupa nilai spritual, adat-istiadat, maupun nilai-nilai ideology tertentu. Dalam hal ini karya dalam unsure nilai menggambarkan proses mentifact dari penciptanya. Karya dalam unsure personal merupakan substansi dari aktualisasi penciptanya dalam proses kreatifnya. Dalam hal ini karya menjadi monument eksistensial pencipta dalam menawarkan ide, gagasan, maupun konsep-konsep kepada audiens. Karya tidak tercipta diruang hampa tetapi melekat pada dasar penciptaan yaitu ekspresi dan pengakuan (akomodasi atau resistensi). Sedangkan karya dalam unsure social adalah pendekatan yang memposisikan karya sebagai subjek dan objek dari relasi-relasi yang terbentuk, yaitu antara pencipta dan masyarakat maupun masyarakat dan pencipta. Terjalin hubungan intersubjektifitas yang saling mendekatkan antara pencipta dan masyarakat melalui karya seni hingga keberadaan suatu masyarakat dapat diukur dari seberapa besar apresiasi terhadap karya seninya itu sendiri. Karya dalam unsure sosial menggambarkan proses sociofact dari penciptanya.

Dalam mata kuliah Kajian Desain, hal penting yang mesti dicapai dari mata kuliah ini adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan desain sebagai ilmu dalam meninjau secara kritis, rasional, dan ilmiah terhadap beragamnya produk desain sebagai hasil cipta masyarakat, industri maupun organisasi. Dengan demikian pengetahuan desain sebagai ilmu, telah melampui pengertian desain itu sendiri sebagai cara, metode, atau sekedar teknik-teknik dalam proses penciptaan karya tetapi dapat diposisikan menjadi alat analisa terhadap produk desain dalam proses kreatifnya. Landasan ilmu dalam pengetahuan desain telah mengarahkan desain sebagai konsep kreatif untuk berelasi dengan ilmu-ilmu lain, sehingga akan memberikan khazanah baru, tidak saja akan menambah perbendaharaan konsep-konsep desain, yang lebih penting memperluas otoritas desain untuk membentuk karya desain yang tidak saja berkualitas bermutu dan sarat dengan konsep-konsep yang dapat diterjemahkan secara logis, dan rasional tetapi dapat mengevaluasinya secara kritis, ilmiah, dan rasional. Rasionalisasi dalam proses evaluasi serta peninjauan terhadap karya desain akan memberikan gambaran tingkat pengkualitasan karya cipta desain terhadap proses pemikiran yang terbentuk didalamnya.

Satu hal konkret yang dapat diterapkan dalam mengkaji desain sebagai hasil cipta masyarakat, industri maupun organisasi adalah melihat salah satu situs makam tua Belanda (kerkoof) yang berada di Kebun Raya Bogor. Pilihan makam tua Belanda di Kebun Raya Bogor ini sebagai objek kajian desain didasari pertimbangan pertama, pengertian makam tidak saja dipahami dalam arti umum "pekuburan/tempat orang dikuburkan setelah kematian", tapi penggambaran sisi kebudayaan masa lalu yang terdokumentasikan. Dalam hal ini makam tua Belanda merupakan sumber sejarah yang kaya fitur desain yang dapat diterjemahkan/dievaluasi/dipelajari bagi konteks kekinian. Kedua, melihat keterkaitan makam tua tersebut dalam sisi arsitekturnya serta ragam hias berupa desain dengan ornamen-ornamen tertentu yang melekat didalamnya maka akan memberi gambaran peran serta posisi makam yang merefleksikan pola-pola tertentu sebagai manifestasi arus pemikiran utama yang dominan hingga dapat dipelajari/diterjemahkan/dievaluasi dalam konteks kekinian. Dan ketiga, mempelajari makam tua Belanda dalam sisi pandang yang berbeda diharapkan akan menambah pengertian serta konsep-konsep baru yaitu disatu sisi dapat mempertajam perbendaharaan konsep bagi proses kreatif penciptaan karya desain, dan disisi lain memperkuat pemahaman mata kuliah kajian desain berupa pengayaan wawasan secara practical.

SELINTAS KERKOOF (MAKAM TUA BELANDA) DI KEBUN RAYA BOGOR

Secara umum pemakaman tua Belanda di Kebun Raya Bogor ini tampak phisik tidak jauh berbeda dengan makam-makam pada umumnya. Dibangun sebagai pemakaman khusus bersamaan dengan pembangunan Istana Bogor dibawah perintah Gubernur Jendral VOC Baron van Imhoof (1705-1750). Sehingga keberadaan makam ini jauh lebih tua dari Kebun Raya Bogor yang didirikan tahun 1817 0leh C.G.C. Reinwardt. Bentuk nisan, ornament, dan tulisan yang terdapat ditiap nisan makam sangat menarik untuk diamati dan dipelajari.

Di kompleks pemakamam tua ini terdapat 42 makam, 38 diantaranya mempunyai identitas sedangkan sisanya tak dikenal lagi (rusak dimakan zaman). Kebanyakan yang dimakamkan merupakan keluarga dekat Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ada makam D.J. de ee Erens, seorang Gubernur Jendral yang menjabat tahun 1836 - 1840. Juga makam Mr. Ary Prins seorang ahli hukum yang pernah dua kali menjadi pejabat sementara Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ada pula dua orang ahli biologi yang meninggal tahun 1820-an dalam usia muda dan dikuburkan dalam satu makam. Mereka adalah Heinrich Kuhl dan J.C. Van Hasselt, anggota "The Netherlands Commissions for Natural Sciences" yang dikirim ke Indonesia (dulu disebut Nederlandsche Indie) untuk bekerja di Kebun Raya Bogor.

Makam tertua di komplek pemakaman ini adalah makam seorang administrator toko obat berkebangsaan Belanda yang bernama Cornelis Potmans, wafat 2 Mei 1784. Sedangkan yang paling baru adalah makam Prof. Dr. A.J.G.H. Kostermans yang meninggal tahun 1994. Ia seorang ahli Botani terkenal dari Belanda yang menjadi warga Negara Indonesia sejak tahun 1958. Kostermans dimakamkan dekat lingkungan tumbuhan yang ia cintai sesuai keinginanya. Hingga akhir hayatnya ia bekerja di kantor Herbarium Bogoriense yang terletak di seberang Kebun Raya Bogor.

TINJAUAN UMUM KERKOOF DALAM KONSEP

Fortuin (1988) dalam Lilie Suratminto (2007) menyatakan batu-batu nisan adalah arsip rakyat sebagai warga masyarakat karena memuat data tentang pelaku-pelaku sejarah kehidupan manusia, apa pun peran mereka semasa hidupnya. Batu Nisan dapat dipandang sebagai kenangan (festschrift) seperti halnya buku kenang-kenangan (liber decorum), yang berisi tulisan dari teman-teman dekat pada saat seseorang mencapai usia tertentu atau mulai nonaktif dari jabatannya. Dengan demikian didalam batu nisan terdapat pesan-pesan baik verbal maupun nonverbal. Karena ditiap batu nisan mengandung pesan maka batu nisan pun menyimpan wacana yang dapat diterjemahkan. Wacana yang dimaksudkan disini adalah serangkaian tanda bahasa yang dapat dipandang juga sebagai tanda dalam semiotika berupa semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya (Garret dan Bell, 1998:3). Sedangkan untuk pesan nonverbal adalah lambang-lambang, yang mempunyai makna tertentu sesuai dengan sistem nilai, dan kepercayaan komunitasnya.

Untuk lambang-lambang yang tertera dalam nisan makam, dikenal dengan konsep Heraldik. Heraldic merupakan cara masyarakat Eropa, khususnya pada abad XII dalam memberikan identitas berbentuk lambang dengan icon-icon tertentu. Di Inggris tanda identitas ini menjadi ciri keluarga bangsawan, tapi tidak pada kebanyakan masyarakat Eropa lainnya di luar Inggris. Di Belanda, heraldic dikenakan oleh setiap orang atau kelompok-kelompok tertentu, mulai dari para bangsawan, aristocrat, hingga kaum terpelajar. Penandaan heraldic ini menjadi trend atau mode di Eropa pada Abad Pertengahan yang difungsikan selain sebagai tanda pembeda antar kelompok dan simbol prestise bagi para bangsawan, heraldic juga difungsikan sebagai penunjuk terhadap profesi tertentu. Penggunaan heraldic mulai surut saat revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 yang menganggap lambang ini sebagai lambang kebangsawanan meskipun anggapan ini tidak seluruhnya benar. Namun demikian bukan berarti penggunaan heraldic hilang dalam tradisi masyarakat Eropa, pemakaiannya digeser dari wilayah social kepada wilayah privat yaitu penanda pada nisan-nisan makam sebagai pemberi identitas terhadap yang dimakamkan. Pastoureau yang dikutip Lilie Suratminto (2007) menyatakan, secara khusus lambang heraldic mengungkapkan dua hal dari penggunanya yaitu identitas penggunanya dan lingkungan budaya tempat mereka tinggal. Heraldic mengabarkan pesan, atau pengumuman, pembawa berita atau penanda dari suatu dinamika kebudayaan bersama pengaruh-pengaruhnya.

Pesan maupun lambang-lambang heraldic yang terdapat pada batu nisan tersebut lantas menyatu dalam satuan komposisi tertentu dengan membentuk satu pola tertentu, rancang bangun tertentu bersama tema-tema tertentu yang mendasari pembuatan makam beserta letak dan posisi makam. Sehingga dalam melihat makam tua Belanda di Kebun Raya Bogor maka sudut pandang yang diterapkan sebagai kajian desainnya, berdimensi ganda. Yaitu disatu sisi melihat keberadaan makam itu bersama pesan-pesan, dan sekian bentuk ornamen-ornamen yang menyertainya, dan disisi lain melihat letak dan posisi makam terhadap wilayah sosial tempat makam itu berada. Dalam hal ini pengertian tersebut masuk dalam konsep lanskap sosial.

Pengertian lanskap sosial merupakan pengembangan dari konsep field Pierre Bourdieu yaitu suatu jaringan sosial atau konfigurasi atau relasi-relasi objektif diantara posisi-posisi. Field menunjuk pada ruang sosial yang terstruktur, terorganisisr secara hierarkis dan menciptakan ketidaksetaraan objektif dalam pendistribusian modal, tidak terkecuali modal simbolik. Field juga situs untuk resistensi dan dominasi terkait secara relasional dengan yang lain (Bourdieu, 1992:97).

Dengan memakai konsep lanskap sosial maka penjabaran terhadap keberadaan makam tua itu menjadi satu ruang yang diberikan kepada posisi dan kedudukan yang dimakamkan disitu terhadap struktur sosial yang terbentuk baik dalam hubungan hierarkis diantara sesama warga Belanda sendiri sebagai penguasa atau pejabat saat itu, maupun terhadap struktur masyarakat pribumi. Dengan demikian nama sebagai identitas menjadi nisbi, diganti oleh nama sebagai peran, nama sebagai kedudukan, dan nama sebagai prestasi-prestasi yang diberikan selama yang bersangkutan hidup. Lingkaran peran sosial yang telah diabsahkan semasa hidup telah menentukan corak desain yang tergambar dalam bentuk-bentuk nisan makamnya. Sebagai contoh makam Mr. Ary Prins, seorang yang pernah menjabat dua kali secara sementara sebagai Gubernur Jendral, batu nisannya tersusun atas bentuk obelsik/menhir yang menjulang tinggi, atau lebih tinggi dibandingkan makam-makam lain. Obelsik/menhir sendiri berbentuk lingga, yaitu satu icon dari tradisi Hindu Nusantara sebagai lambang kekuatan dan kesucian, hampir mirip dengan nisan DR. Brandes (ahli purbakala) yang berada di taman prasasti Jakarta Pusat.

Selain itu makam tua Belanda mengungkapkan suatu proses periodisasi melalui tampilan ornamen dari nisan-nisan tersebut yang mewakili arus pemikiran utama yang mendominasi ranah sosial saat itu, yaitu masa VOC (1620-1799) yang dicirikan dengan penggunaan huruf Roman tegak dan miring; masa Kolonial Belanda (1800-1942) yang dicirikan dengan penggunaan huruf Gotik dan Roman, huruf Armenia, Ibrani, dan huruf Cina-Jepang. Masa Romantis (Eropa Klasik) yang dicirikan dengan relief bidadari pada salah satu makam, dan bergaya modern pada makam Kostermans.

PENUTUP

Menelusuri kembali makam tua Belanda di Kebun Raya Bogor melalui ragam hias serta ornamen pada batu-batu nisannya serta melihat letak dan posisi makam tersebut dalam seluruh area sosial yang terdapat disekitar makam, maka dapat memberi pengertian terhadap desain itu sendiri. Bahwa desain pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek yaitu aspek sosial, budaya, politik dan nilai-nilai dominan tertentu sebagai arus utama yang berkembang saat itu. Makam tidak saja menjadi tempat terakhir bagi yang "mati" tetapi merupakan artefak budaya yang menyimpan tidak saja memory kolektif suatu komunitas tapi merupakan dokumentasi budaya berupa wacana-wacana tertentu yang menarik untuk diungkap.

Melalui kajian desain, entitas dari area sosial, area budaya, politik, dan nilai-nilai yang termanifestasikan pada suatu produk desain dapat dievaluasi, dikritisi, ditinjau, dibongkar dan disusun kembali. Sehingga pengertian tentang desain bersama produk-produknya bukan sekedar hal teknis serta metodis tetapi alat analisis yang efektifitasnya tergantung pada relasinya dengan ilmu-ilmu lain. Untuk itu penempatan kajian desain bersama produk-produknya dapat mencerminkan suatu usaha kreatif dalam merekontruksikan suatu karya yang bermutu sekaligus membuka ruang baru untuk mengkritisi karya tersebut, hingga menghasilkan suatu dinamisasi proses berkarya yang semakin berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
--Suratminto, Lilie. "Teks dalam Batu Nisan Baron Van Imhoof Dilihat melalui Analisis Semiosis Model Pierce dan Danessi", dalam Jurnal Makara Humaniora Vol. II No. 1, Juni 2007. pp. 1-12

Buku
--Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana.
--Bourdieu, Pierre dan Wacquant Loic JD. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology
Chicago: Chicago University Press
--Garret, Peter dan Allan Bell. 1998. "Media and Discourse: A Critical Overview",
dalam Peter Garret dan Allan Bell (ed), Approaches to Media Discourse. Oxford: Blackwell Publishers.
--Kleden, Ignas. 1988. "Sutan Takdir Alisjahbana; Sebuah Perhitungan Budaya", dalam Kata Pengantar Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan Sebagai Perjuangan; Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana. Jakarta: Dian Rakyat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun