Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Saat Bernalar dan Berpikir Berteman Sesat

6 Mei 2015   13:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12 211 1
“Berpikir dan bernalar itu penuh resiko, apalagi tidak berpikir dan bernalar lebih beresiko lagi!!”

PENGERTIAN yang didasari kesepakatan mengandung tiga pemahaman ketika ditempatkan dalam cara pandang pendidikan. Pertama, adanya titik temu sekian pengertian-pengertian yang ditawarkan kepada satu rumusan yang mewakili pengertian-pengertian tersebut. Kedua, satu rumusan yang menjembatani pengertian-pengertian tersebut tidak lain gambaran atas logika koherensi dalam tatacara berpikir logis yang benar. Ketiga, tatacara berpikir logis yang benar adalah konstruksi berupa pola-pola serta cara didikan yang dilakukan secara benar pula. Ketiga hal tadi merupakan kerangka dari struktur bangunan kognitif seseorang sebagai output hasil didikan. Mungkin bagi sebagian orang apa yang diuraikan ini sangat membingungkan, dan bisa saja uraian ini dikatakan menggunakan bahasa imajinatif yang sangat abstraktif padahal uraian ini merupakan satu babak konklusi atas hasil bahasa pengetahuan yang biasa digunakan pada umumnya.

Tulisan ini akan mencoba memaparkan bahwa apa yang dipahami sebagai suatu keputusan dalam keseharian kita yang dianggap benar, sebetulnya menunjukkan kesesatan dari berpikir itu sendiri. Sesat berpikir menjadi satu model berpikir yang sebenarnya tidak benar tapi karena dianggap tidak menimbulkan masalah atau tidak dipermasalahkan, berpikir yang tidak benar itu menjadi “benar”. Akhirnya pernyataan-pernyataan yang muncul akan mempertanyakan benar dan tidak benar, mempertanyakan hal-hal yang menyusun atas identitas benar sehingga yang berada di luar hal-hal yang menyusun benar itu menjadi “tidak benar”. Alur dari proses logika yang membagi atas susunan yang benar dan menyatakan diluar susunan itu tidak benar disebut alur berpikir logocentris. Pola logocentris inilah yang menjadi sumber atas sumber kognitif yang membentuk, menyusun, dan menciptakan alur berpikir itu sendiri. Pada umumnya secara definitive berpikir itu disebut sebagai kerja otak, dimana otak merangkai sekian informasi-informasi yang didapatkan melalui kode-kode tertentu membentuk arti-arti tertentu. Arti-arti tertentu ini adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari stimulus dan respon. Aktualisasi stimulus dan respon ini disusun oleh dua kerja afektif yaitu belajar dan naluriah.

Para pakar sejak dahulu telah percaya kalau aktivitas manusia, yang pada akhirnya memunculkan masyarakat dan kebudayaan dibimbing oleh dua kerja afektif ini yaitu naluriah dan belajar berupa stimulus dan respon. Kerja afektif naluriah mengarahkan manusia sebagai makhluk yang berprilaku (behavior). Dinamika prilaku manusia kemudian menentukan apa yang disebut kebutuhan dasar manusia yaitu emosional (marah, sedih, benci, nyaman), fisiologis (makan, minum, tidur), reproduksi (seks dan beranak-pinak), dan teritori (wilayah hidup).  Kebutuhan-kebutuhan dasar ini lalu terakumulasi membentuk yang disebut hasrat (teologi agama mendefinisikan hasrat sama dengan nafsu/nafsi, lengkapnya hawa nafsu. Hawa menunjuk pada dorongan/kondisi/suasana yang menggerakkan). Pada wilayah hasrat, aktualitas atas dinamika kerja naluriah menyusun satu kehendak kepada pengakuan dan penguasaan, hingga melahirkan kemampuan--sama dimiliki binatang--pemuasan dan penundukkan.

Berbeda dengan pengertian kerja naluriah, pengertian kerja belajar telah memposisikan manusia sebagai makhluk yang bertindak (action) yaitu makhluk yang sepenuhnya tidak tunduk pada hukum-hukum alam (Quraish Shihab menterjemahkan hukum-hukum alam sebagai hukum-hukum Tuhan). Dalam aktivitas afektif belajar keberadaan berpikir manusia dituntun untuk mengetahui dan mengenali segala sesuatu yang ada disekitarnya. Belajar menjadi usaha manusia untuk memberi jawaban atas beragam fenomena yang mengitari kehidupannya. Dalam hal ini manusia memiliki kapasitas untuk menjaga jarak terhadap segala sesuatu yang belum dikenalnya untuk diketahui dan dipelajari. Melalui kerja belajar, proses aktivitas otak manusia mengalami peningkatan menjadi penalaran sehingga melalui penalaran, manusia menjadi makhluk yang jauh berbeda dengan binatang. Alur proses berpikir manusia ini yaitu dari kerja afektif naluriah menjadi kerja afektif belajar membentuk dan menyusun manusia dalam satu wadah yang disebut kepribadian. Melalui kepribadian inilah manusia mengakumulasi (mengumpulkan dan memusatkan) system kognitifnya dengan mempertemukan antara sisi naluriah kebinatangannya dengan sisi penalaran sebagai hasil belajar manusia itu sendiri. Didalamnya mengandung watak, karakter, sifat, mental sebagai unsur-unsur dasar penyusun kepribadian; dan pengetahuan, agama, adat-istiadat, norma-etika sebagai unsur-unsur dasar pembentuk kepribadian. William Dilthey mempertajam penyusunan penalaran--kepribadian ini dalam tiga ranah afektif yaitu erlebnis, audstruck, dan verstehence. Erlebnis adalah konsep Dilthey untuk menyebut proses berpikir sebagai suatu tahap penyusunan/perumusan konsep-konsep atas seluruh aktivitas kehidupan manusia yang lalu dinilai, dievaluasi, dipelajari dan menjadi panduan manusia dalam aktivitasnya, menghasilkan bukti-bukti empiris yang disebut pengalaman. Aktualitas pengalaman yang didapatkan ini lalu diendapkan menjadi memori kolektif sebagai unsur basic membentuk kepribadian seseorang disebut audstruck. Struktur akumulasi audstruck sebagai produk berpikir yang inherent dalam penyusunan kepribadian ini lalu digunakan untuk menilai, memahami “the others” (yang lain) disebut verstehence. Sehingga alur atas relasi trilogika Dilthey ini memunculkan bahasa sebagai penyambung komunikasi manusia bahwa manusia selain sebagai pribadi yang berkehendak atas dirinya sendiri terhadap hukum-hukum alam, manusia juga merupakan makhluk yang tidak sendirian hidup di dunia ini.

Dalam kehidupan sehari-hari aktualitas atas perwujudan kepribadian ini akan sangat tampak dari prilaku maupun tindakan yang dilakukan baik oleh perseorangan maupun kolektif, baik melalui perkataan, perbuatan, ataupun ide gagasan yang dikemukakan. Dengan prilaku atau tindakan yang dilakukan maka akan dapat dipelajari bahwa dinamika berpikir dan sekian pengalaman empiris yang dituntun oleh aspek naluriah maupun belajar manusia dapat mencerminkan kualitas besar kecilnya aspek itu sendiri mempengaruhi atau berkuasa atas dinamika perseorangan maupun kolektif.

Dimuka telah ditunjukkan bahwa penalaran merupakan konstruksi atas kerja belajar manusia dalam memahami segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kerja belajar menjadi entitas dalam diri manusia yang mengimbangi kerja naluriah yang identik dengan pemuasan diri dan penundukkan massif sebagai hasil dorongan hasrat dalam diri manusia itu sendiri. Tidak bisa tidak secara utuh manusia melepaskankan diri dari kuasa hasrat yang senantiasa menuntut untuk dipuaskan. Karena itu tidak bisa pula manusia meninggalkan kerja belajarnya karena bila itu ditinggalkan, manusia tidak lebih seperti bintang besar dengan kemampuan otak yang sederajat dengan otak binatang itu sendiri. Melalui penalaran seperti dikatakan Ausebel (dalam Abimanyu, 1987:90) manusia merangkaikan konsep-konsep lama dengan konsep-konsep baru, mengimbangi konsep-konsep beraspek naluriah dengan konsep-konsep sebagai hasil belajar manusia berwujud konteks-konteks entitas berupa perbuatan menjadi kegiatan-kegiatan/aktivitas dan dinamika; perkataan menjadi wacana-wacana; dan ide gagasan menjadi konsep—teori atau system kepercayaan sebagai cikal bakal agama/religi dan pengetahuan sebagai cikal bakal science.

Konteks-konteks entitas inilah yang akan dijadikan alur tulisan ini bahwa tidak sepenuhnya pula hasil kerja belajar dapat dikatakan memenuhi persyaratan benar bila apa yang dipahami sebagai suatu keputusan dalam keseharian yang dianggap benar, sebetulnya menunjukkan kesesatan dari berpikir itu sendiri. Sesat berpikir menjadi satu model berpikir yang sebenarnya tidak benar tapi karena dianggap tidak menimbulkan masalah atau tidak dipermasalahkan, berpikir yang tidak benar itu menjadi “benar”. Untuk itu penjabaran berikut ini akan menelusuri beberapa formasi penalaran yang didalamnya berpeluang terjadi kesesatan dalam berpikir itu sendiri. Diantara formasi penalaran itu adalah :

1)   Penalaran Proporsional

Bentuk penalaran ini yang sering muncul dalam keseharian kita bersama berbagai bentuk dan wujudnya berupa pernyataan atau pendapat yang tak lain cermin dari logika penalaran ini. Penalaran proporsional didefinisikan sebagai suatu struktur kualitatif yang memungkinkan pemahaman sistem-sistem logis kompleks yang mengandung banyak factor sesuai proporsinya, contoh orang makan karena lapar namun makan dilakukan tidak selalu dalam kondisi lapar, atau mencapai tujuan dalam aktivitas belajar merupakan ketentuan wajar meskipun tujuan yang diperoleh tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dari penalaran proporsional ini banyak hal yang menunjukkan kualitas proporsionalnya tapi faktanya justru tidak proporsional, contoh sering dinyatakan sebagai pendapat/opini dikalangan mahasiswa, yaitu menjadi mahasiswa identik dengan pengembangan pengetahuan dan pengolahan diri untuk menjadi dewasa tapi banyak mahasiswa justru tidak selalu mengerti atau paham dengan pengetahuan yang mesti dikembangkannya dan tidak sedikit mahasiswa yang masih berkepribadian anak-anak. Menjadi mahasiswa malah dekat dengan aktivitas gaya hidup dan model berpikir yang kadangkala jauh dari kewajiban berpikir seorang mahasiswa. Penalaran terakhir ini yang malah berkembang kuat menjadi penalaran yang sewajarnya padahal jelas tidak wajar alias sesat secara penalaran proporsional. Atau menjalankan suatu kegiatan tertentu semestinya dapat memahami makna dari kegiatan tersebut karena ada proses pembelajaran didalamnya sehingga saat melaksanakan kegiatan serupa dikemudian hari akan diperoleh hasil kegiatan yang makin berkualitas, tapi realitasnya justru bukan pemaknaan atau pembelajaran atas kegiatan yang dilakukan melainkan aktivitas-aktivitas praktis dengan banyak membuang waktu untuk berdebat soal-soal teknis ketimbang perkara strategis yang akan dicapai dari kegiatan tersebut. Penalaran-penalaran seperti ini yang berkembang kuat padahal penalaran ini jelas tidak wajar alias sesat secara penalaran proporsional. Dan masih banyak contoh-contoh lain dalam kehidupan sekitar kita yang menggambarkan kesesatan berpikir dari penalaran proporsional, diantaranya “teori tidak sama dengan prakteknya”, “teori lebih mudah dari praktek atau mempraktekkan teori tidak semudah teorinya”, “Laki-laki mesti superior dari perempuan”, “Naik gratis turun bayar”, “Mencintai lebih baik daripada dicintai atau dicintai tidak lebih buruk daripada mencintai”, dan masih banyak lagi.

2)   Penalaran Probabilistic

Penalaran serupa dengan penalaran proporsional adalah penalaran probabilistic. Penalaran jenis ini menentukan tingkat kesimpulan yang diambil memberi kemungkinan benar atau memberi kemungkinan tidak benar. Penalaran model ini menggambarkan penempatan kualitas informasi yang diperoleh memiliki sifat peluang terhadap akurasi content dari informasi tersebut. Penalaran probabilistic ini dapat tercermin dari pernyataan perbandingan atau pernyataan yang mempertimbangkan sesuatu, contoh menjelang hari raya setiap jalur darat yang dilewati pemudik berpotensi macet, sehubungan dengan penerapan kurikulum 2013 maka evaluasi atas kurikulum sebelumnya masih menunjukkan relevansinya untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Namun dalam kenyataannya penalaran probabilistic-pun tidak lepas dari peluang kesesatan disetiap pernyataan keseharian yang muncul yakni digunakannya kata “mungkin” untuk menggambarkan satu pemusatan kesimpulan atas suatu objek pendapat, contoh mungkin karena puasa jadi tidak bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaannya, sebentar lagi akan hujan mungkin pertunjukan wayang kulit malam ini akan dibatalkan, dan masih banyak lagi. Kata “mungkin” menjadi penanda probabilitas yang sebenarnya tidak menunjukkan peluang tapi ketidakpastian atas alur logika yang diambil dalam menyusun kesimpulan, “mungkin” lebih didorong oleh soal-soal psikis seperti takut salah, takut pernyataannya dievaluasi dan ditempatkan sebagai pesakitan karena berpendapat tidak benar atau pernyataan “mungkin” itu sebagai aktualitas verbal dalam mengambil posisi resisten terhadap audiens yang dianggap memiliki otoritas tertentu. Jadi “mungkin” penalaran probabilitas dapat menjadi model berpikir yang perlu dilatih agar kata “mungkin” benar-benar tidak ditempatkan lagi sebagai wakil/representasi atas logika probabilitas peluang.

3)   Penalaran Korelasional

Untuk penalaran korelasional merupakan pola pikir yang berkisar pada hubungan timbal-balik atau hubungan terbalik antar unsur dari sekian informasi yang telah diyakini memiliki akurasi content dalam informasi tersebut. Penalaran korelasional mencerminkan penentuan atas kuat tidaknya suatu hubungan timbal-balik, baik secara linier maupun dialektik. Contoh penalaran korelasional ini banyak ditemukan dalam model berpikir matematik, maupun model berpikir deduktif dan induktif. Model berpikir matematik ini biasanya disebut proposisi. Ada 20 jenis proposisi dalam model berpikir matematik, diantaranya misal Proposisi Kategorik : Plato nama seekor anjing peliharaan Mickey Mouse; Proposisi Negative : meja bukan kursi; Proposisi Universal : setiap sarjana lulusan IKIP adalah pendidik; Proposisi Particular : sebagian manusia tidaklah bodoh hanya khilaf menjadi bodoh; Proposisi Apodiktik (kemestian/keharusan) : lima adalah sepuluh dibagi dua; Proposisi Empiric : jari tangan kiri manusia ada lima; Proposisi Majemuk (mengandung lebih dari satu pernyataan) : Abduh orang yang bijaksana dan rajin. Pernyataan itu memiliki dua pernyataan yaitu Abduh orang yang bijaksana. Abduh sangat rajin; Proposisi Kondisional/Implikatif : Jika Abduh murid yang rajin maka Abduh akan lulus ujian; Proposisi Ekseptif : Selain Abduh tidak ada lagi siswa yang mampu menyelesaikan soal matematika yang rumit itu; Proposisi Disjungtif (salah satu pernyataan salah) : Abduh atau Asyari adalah pemimpin sejati, dan lain sebagainya. Secara umum penalaran korelasional ini banyak ditemukan disetiap argument atau pernyataan-pernyataan komunikatif yang justru menunjukkan ketidaktepatan korelasional dalam alur logika yang dikemukakan, yang sering muncul diantaranya sekedar contoh : kalau ingin kejujuran ditegakkan dalam UN maka sangat tergantung pada siswa sebagai peserta UN, semua tergantung pada pemahaman anggota organisasi mau serius belajar atau sekedar main-main cari pacar, bukan pada berani atau tidak untuk merealisasikan agenda besar itu tapi siapa yang mau berkorban untuk merealisasikannya, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang berhubungan dengan sesatnya penalaran korelasional ini. Kata “tergantung” menjadi tanda kalau terjadi hubungan kuat antara satu pernyataan dengan pernyataan lain yang sebenarnya tidak menggambarkan hubungan timbal-balik justru menafikan hubungan timbal-balik itu menghasilkan klaim-klaim yaitu sejenis logika penundukkan dan penguasaan dengan tujuan kepuasan karena telah berhasil melakukan tekanan logis atas otoritas tertentu yang dikandung dari suatu pernyataan. Dalam hal ini kerja-kerja afektif naluriah menampakkan diri melalui topeng rasionalitasnya. “Bukan pada berani atau tidak untuk merealisasikan agenda besar itu” sama dengan pernyataan diatas kalau pernyataan ini juga mengandung kesesatan penalaran korelasional yaitu pembiasan atau distorsi logika atas hubungan timbal-balik yang terkandung dalam pernyataan itu. Dan masih banyak contoh dalam keseharian kita yang bisa kita temukan, yang menunjukkan telah terjadi kesesatan penalaran korelasional.

4)   Penalaran Kombinatorial

Sedangkan penalaran kombinatorial merupakan formasi penalaran yang bertumpu pada proses berpikir dalam pemecahan masalah. Penalaran kombinatorial ini menuntut suatu kompetensi didalam mempertimbangkan seluruh alternative pada situasi tertentu sehingga masalah dapat dipecahkan. Kekuatan kombinasi dari penalaran ini adalah kemampuan kognitif dalam memilih, memilah, dan mengisolasi factor-faktor yang berhubungan ataupun tidak berkaitan tapi memiliki kecendrungan menjadi alternative pemecahan masalah. Upaya untuk menghubungkan dan mengisolasi sekian factor-faktor ini hingga menjadi solusi yang efektif sekaligus efesien menjadi watak dasar penalaran jenis ini. Contoh dari penalaran kombinatorial ini dapat kita temukan diantaranya tidak sedikit mahasiswa yang membaca buku suka mengoleksi buku-buku yang dibacanya. Kombinasi yang muncul dari pernyatan ini adalah “mahasiswa”, “membaca buku”, “koleksi buku yang dibaca”, masalah yang berpeluang muncul adalah mahasiswa sosok belajar yang dekat dengan pengetahuan dimana mahasiswa dapat muncul menjadi sosok pemalas yang jarang belajar tapi pacaran atau sibuk mengoleksi dan mencari pacar. Masalah eksistensialis ini akhirnya menjadi penalaran yang benar karena dalam kenyataan, aktualitas mahasiswa malas belajar tapi rajin pacaran mengalami pembenaran hingga mewujud menjadi pola umum yang identik dengan mahasiswa. Jelas secara penalaran kombinatorial ini merupakan kesesatan berpikir. Demikian pula Tridharma Perguruan Tinggi lebih mempersiapkan dosen untuk tidak sekedar mengajar tapi melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Identitas dosen dikombinasikan dalam arena tanggungjawab akademik berwujud Tridharma Perguruan Tinggi. Masalah yang berpeluang muncul adalah tidak sedikit dosen lebih mengutamakan mengajar daripada penelitian dan pengabdian masyarakat. Jelas memang seperti itu kenyataannya karena tidak jarang pula dosen melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat lebih dilandasi karena paksaan atau tuntutan dari atas ketimbang inisiatif dan kesukarelaan akademik dari dosen itu sendiri. Pelaksanaan silahturahmi berbentuk buka puasa bersama dari suatu komunitas belajar tentu lebih mempersiapkan kegiatan penalaran ketimbang persiapan makanan untuk berbuka, namun peluang masalah yang kemudian muncul adalah inisiatif lebih mengedepankan urusan makan-minum daripada mempersiapkan model penalaran apa yang akan dikemukakan, apakah diskusi, apakah sharing actual dalam memaknai bulan suci, atau sumbangan tulisan yang dapat dijadikan bahan rembug saran untuk mengisi acara buka bersama itu. Hal ini dapat terjadi karena penekanan subjek penalaran ada pada “buka puasa” yang identik dengan makan-minum padahal “buka puasa” tidak sekedar “sudah sah untuk” makan-minum. Jelas ini merupakan distorsi atas penalaran kombinatorial, yang telah mewarnai pola pikir pada umumnya yang telah dianggap sebagai suatu kewajaran semata. Agar tercapai tujuan yang sesuai dengan aspirasi maka sangat ditentukan dari cara pandang yang didasari cara pikir yang diambil. Pernyataan inipun sering muncul dan tidak jauh berbeda dengan pernyataan diatas sangat bias penalaran kombinatorial yaitu menempatkan subjek penalaran pada “cara pandang” dan “cara pikir”. Bias-nya adalah apa yang menentukan “cara” itu hingga dapat dikenakan untuk konteks berpikir dan berpandangan, serta bagaimana tahu kalau itu adalah “cara” sehingga pernyataan itu (Agar tercapai tujuan yang sesuai dengan aspirasi maka sangat ditentukan dari cara pandang yang didasari cara pikir yang diambil) mengandung penalaran kombinatorial yang sahih secara alur logisnya. Dan masih banyak contoh-contoh lain dalam keseharian kita yang berkaitan dengan kesesatan berpikir dalam penalaran kombinatorial ini.

Demikianlah beberapa formasi penalaran yang secara tidak sadar telah kita gunakan ditiap pentas komunikatif yang dilakukan baik secara perseorangan maupun kolektif. Formasi penalaran itu sendiri merupakan alur dari system pengetahuan realitas yang perlu diuji empiriskan kembali agar lebih terumuskan hingga dapat dijadikan pedoman pembelajaran bagi cara untuk berpikir kita masing-masing. Meskipun disadari pemaparan ini-pun tak luput dari bias subjektif namun setidaknya melalui uraian tulisan ini dapat diperoleh penjajagan awal atas tingkat kualitas dari penalaran yang telah dilakukan.

Mohon dimaklumi kalau bernalar itu sendiri sangat dipengaruhi oleh model serta pola pendidikan dan cara pembelajaran yang dilakukan khususnya bagi kita sebagai bangsa timur yang sarat dengan nilai-nilai religio-magis, sangat penuh dengan hal-hal agamis tapi jauh dari hal-hal yang rasionalis hingga secara agama berusaha untuk tetap benar dan tidak sesat tapi secara berpikir dan bernalar sesat dimana-mana, itulah identitas kita sehakekat-hakekatnya. Berupaya untuk mematuhi perintah Tuhan sampai darah penghabisan tapi tidak mengerti dibalik perintah itu menuntut kualitas untuk bernalar dan berpikir, karena Tuhan-pun tidak menginginkan umatNya bodoh apalagi jahil, itulah dasar universal dari tiap ajaran Tuhan yang dibahasakan oleh masing-masing agama, yang ditakdirkan berbeda-beda ini agar saling mengenal dan berlomba-lomba mewujudkan kebaikan di atas mayapada ini. Karena menjadi pemeluk agama telah mengandung resikonya sendiri-sendiri. Jadi sekali lagi berpikir dan bernalar itu sangat penuh resiko, apalagi tidak berpikir dan bernalar lebih beresiko lagi, meskipun tahu agama beserta hukum-hukumnya.

Pustaka Tulisan

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 075, November 2008 Tahun ke-14, Jakarta: Balitbang Diknas, hlm. 1054-1057.

Abimanyu, S. 1987. Teori Belajar dan Implikasinya dalam Proses Belajar Mengajar. Ujung Pandang: P3T IKIP Ujung Pandang (sekarang Universitas Negeri Makassar)

Hidayah, Siti. 2004. Konsumerisme Religius : Etika Agama dalam Etos Konsumsi, Skripsi Jurusan Antropologi FIB UGM, tidak diterbitkan.

Mills, Sarah. 1997. Discourse. New York: Routledge

Rianty, Almira. 1998. Sekolah : Ritus Menjadi Dewasa, Skripsi Jurusan Antropologi FIB UGM, tidak diterbitkan.

Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta: Kanisius

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun