Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bulan Duka Bencana

15 Desember 2010   02:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 149 0
Al-Husain dan rombongan keluarganya bergerak melintasi gerbang kota suci Mekkah. Perlahan-lahan menara Masjid Al-Haram terlihat kian kecil dan akhirnya lenyap.

Dusun demi dusun telah disinggahi. Kota demi kota pun dilalui. Kini samudera fatamorgana menganga lebar terhampar di hadapan mereka. Kafilah syahadah berarak menjejakkan kaki merajut sahara. Irama syahadah mengalun lirih iringi derak sekedup wanita-wanita Ahlul-Bait.

Dewi-dewi berbusana serba hitam tampil memperagakan busana Duka Bencana!

Di tengah perjalanan, Al-Husain menyuruh rombongan yang terdiri dari keluarga dan para pengikutnya yang setia itu berhenti untuk melepas letih. Di situ Al-Husain berpidato: “Amma ba’du. Jalan terjal dan bukit-bukit pasir telah kita lalui, demi seteguk kebenaran dan sekerat keadilan. Kini, setelah mendengar berita tentang kematian Hani dan Muslim, aku tawarkan kepada kalian semua dua pilihan, yaitu tetap menyertaiku atau meninggalkanku melanjutkan perjalanan. Ketahuilah, aku tidak akan pernah menyalahkan kalian bila kalian memilih berpisah dariku. Namun aku juga menerima, bila kalian tetap bersamaku, megarungi perjalanan istimewa ini.”

Al-Husain tak kuasa membendung air hangat kesedihan tatkala satu per satu dari barisan pengikutnya mulai memisahkan diri. Kini cucunda Rasul termulia itu hanya dikelilingi oleh para wanita, anak-anak, sepasang suami isteri budak, beberapa lelaki tak dikenal. Al-Husain mengajak sisa rombongannya melanjutkan perjalanan lalu berhenti di dusun Ats-Tsa'labiyah.  Dari arah utara lamat-lamat terdengar derap kawanan kaki kuda berlarian mendekati mereka. Pasukan berkuda berjumlah besar menyeruak dari balik bukit. "Siapakah anda? Dan mengapa anda datang dengan membawa pasukan yang banyak?" tanya salah seorang peserta rombongan Al-Husain. "Namaku Al-Hur bin Yazid Ar-Riyahi. Kami ditugaskan oleh Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Kufah, untuk mengawal kafilah anda menuju Kufah," jawabnya sopan.

Esok hari, tatkala rombongan Al-Husain dan pasukan Al-Hur bersiap untuk melanjutkan perjalanan, dari arah Kufah seorang penunggang kuda datang lalu menyerahkan surat kepada Al-Hur. Isi surat berbunyi:

"Dari Ubaidillah bin Ziyad untuk Al-Hur bin Yazid. Sesampainya surat ini ke tanganmu, desaklah Al-Husain dan kafilahnya menuju Kufah. Aku sengaja memerintahkan pembawa surat ini untuk tetap bersamamu guna memastikan perintah ini dilaksanakan."

Telapak kaki Al-Husain dan karavannya kembali memahat padang pasir dan menangkal sinar surya, melintasi dusun demi dusun. Tiba-tiba kuda Al-Husain berhenti, enggan bergerak. Al-Husain berusaha memacunya, namun tak juga bergeming. Setelah gagal mencoba beberapa kuda lain, Al-Husain menyapu dusun itu dengan tatapan penuh makna. "Apa nama dusun ini?" tanyanya memecah kesunyian.

"Al-Ghadhiriyah," sahut beberapa pengikutnya."Adakah nama lain untuk dusun ini?," tanya Al-Husain seakan tak percaya. "Syathi'ul Furat," sahut mereka. "Adakah nama lain?"  "Nainawa,"  "Adakah nama lain?" "Karb (Duka) dan Bala (Bencana) Karbala.." jawab mereka serentak. Al-Husain menarik nafasnya dalam-dalam lalu berkata dengan nada tinggi: "Inilah Karb dan Bala…Di bumi tandus inilah tangisan gadis-gadis Ali akan terdengar! Di dusun inilah yatim-yatim Muhammad akan dianiaya!! Di sinilah wanita-wanita Ahlul-Bait akan dikejar-kejar!! Di sinilah aku dan para pengikutku dicincang dan dibantai Di sinilah aku akan dikunjungi!!

Sambil melompat dari atas punggung kudanya, al-Husain bersyair:

Hai zaman! Celaka kau!

Kau saksi bisu

Kala saksikan kekasih merana karena janji palsu

Kala pangeran didaulat lalu terhenyak lesu

Kala tamu dipaksa meneguk racun bercampur madu

Hanya Tuhan-lah tempat mengeluh dan mengadu

Dialah sumber cinta dan muara rindu

Mendengar syair pilu itu, Zainab lari menghampirinya seraya memekik sedih,  "Saudaraku, oh seandainya kematian datang menyambarku.. Biarlah maut merenggutku agar tak kusaksikan bencana ini!! Angin kencang menerpa wajah Zainab yang sembab. Al-Husain dengan lembut mengelus kepala adiknya sambil menghiburnya, "Adikku, jangan biarkan setan melenyapkan ketabahanmu! Seluruh penghuni dunia pasti akan berhenti pada titik terakhir kehidupan. Kakek dan ayahmu, meski manusia-manusia sempurna, juga mengalaminya. jangan mangoyak-oyak baju dan menarik-narik rambut karena kematianku." Al-Husain menuntun Zainab menuju kemahnya. Para peserta kafilah sibuk menyalakan api unggun dan mendirikan tenda-tenda dalam jarak yang berdekatan.

Sementara itu, di Kufah, Ubadillah menunjuk Umar bin Sa'd bin Abi Waqqash sebagai panglima pasukan terdiri atas lima ribu tentara yang dikerahkan untuk mengepung dan memaksa Al-Husain dan kafilahnya untuk mengakui Yazid sebagai pemimpin. Debu-debu mengepul menutupi udara. Umar bin Sa'd  dan pasukannya meninggalkan halaman istana Ubaidillah bin Ziyad menuju Nainawa. Pesta perburuan segera dimulai!!

Sejarah menggelar drama nyata…

“Pesta darah” di penghujung Dzil Hijjah…

Bumi tandus tampilkan konvoi “Duka Bencana”…

Hujan matahari guyur paras-paras tak berdosa…

Musafir-musafir dahaga ratakan bukit tandus Nainawa…

Kafilah kesucian berarak tinggalkan dunia fana…

Nafas-nafas tersengal iringi desau angin gurun di sana…

Tubuh lunglai Sukainah

Wajah pasi Shafiyyah

Mata sembab Atikah

Suara parau Ummu Kultsum

Langkah-langkah gontai Zainab

Karavan gembel-gembel nan tampan

Menggoyang genangan fatamorgana…

Bumi Duka Bencana, Karbala…

Selamat datang di Karbala!!!

by; muhsin labib

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun