Bukankah kau mengetahuinya? Berapa banyak surat telah kukirim padamu. Berbagai macam cara telah kulakukan agar surat tersebut sampai di uluhatimu. Seperti tujuan utama kumenulis surat itu padamu. Aku tak pernah mengharap surat itu sampai di tanganmu atau hanya berbekas di matamu. Sebab, aku benar-benar tahu tabiatmu sebagai seorang wanita.—Jika surat tersebut sampai di tanganmu, pasti kau akan bergegas untuk merobek surat tersebut. Namun, bila surat tersebut sampai di matamu, aku yakini pula surat tersebut akan kau baca sepintas lalu.
Maka, aku berharap agar surat itu sampai pada uluhatimu. Agar kau bisa merasakan, kepedihan yang ada pada setiap gores pulpen dalam surat tersebut.
Aku masih di sini, Ai. Setiap sore aku selalu menanti, untuk sekedar menikmati keindahan senja di pelabuhan Kenangan. Kau dan aku yang memberi nama pelabuhan tersebut. Sebuah pelabuhan tak berpenghuni.
Dalam batinku, aku selalu bertanya padamu: masihkah kau mengingatnya? Saat kita duduk berdua di atas bebatuan pinggir pelabuhan tersebut. Kau tersenyum manis memandangku dan aku pun begitu. Aku mengusap keringat yang ada di keningmu dan kau masih memberiku senyum. Lagi-lagi aku bertanya, dalam surat yang kukirimkan padamu; masihkah kau ingat kejadian itu, Ai?
Meski senja terus berlalu dan hari terus berganti. Aku tak pernah bosan menatap senja yang ada di pelabuhan tersebut. Senja yang mengisyaratkan sebuah bingkisan—bingkisan manis yang kuberi nama kenangan. Aku selalu melihat kenangan di situ, juga di matamu yang menyelip seberkas cahaya bernama rindu.
Di penghujung tahun ini seharusnya kau hadir bersamaku, Ai. Aku tak lagi bisa berkata-kata dengan kata-kataku. Untuk sekedar menggambarkan sebuah gejolak rasa padamu, Ai. Entahlah.. aku begitu bingung memilih kata-kata untuk secarik surat yang kan kukirim padamu. Kerna setiap goresan tinta yang membentuk kata juga kalimat, begitu menyayat titik kepedihanku. Air mataku perlahan menetes, juga bingkisan itu kembali hadir.—Sebuah bingkisan bernama kenangan!. Aku ingin kau merasakan hal yang sama, Ai.
Jika aku mengucap rindu, mungkin kata tersebut belum cukup mewakili rasa rinduku padamu. Begitupula dengan kata kangen, itu pun sepadan dengan kata rindu. Ah, Entahlah..
***